~Andrea~
Hari ini aku terbangun dengan tubuh yang sedikit pegal. Kemarin hampir seharian penuh kak Leona mengajakku berkeliling mall. Kakiku rasanya sangat sakit, bahkan hal ini lebih parah daripada berbelanja dengan Kyla. Setelah berkeliling mall, akhirnya kak Leona menemukan baju yang cocok untuk hari ini. Bahkan sampai saat ini, aku sama sekali tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada hari ini.
Aku masih berbaring dengan malas sambil menatap atap kamar saat handphone berbunyi. Id Rafa tertera di layar handphoneku. Dengan malasnya aku mengangkat telphone darinya.
"Halo." Kataku dengan suara serak akibat bangun tidur. Aku tidak mendengar jawaban apa-apa dari dirinya. Aku menunggu cukup lama sampai dirinya berkata sesuatu kepadaku.
"Hanya mau mengingatkanmu jika hari ini kita akan pergi. Bersiaplah jam sembilan nanti aku akan menjemputmu. Oh dan jangan menggunakan kaki palsumu." Perintahnya dengan nada gugup dan langsung mematikan sambungan tanpa sempat aku membalas perkataannya.
Aku menatap layar handphoneku untuk melihat jam. Saat ini waktu menunjukan pukul tujuh tepat. Dengan malasnya aku memejamkan mata dan menghela nafasku sebelum aku bangun dari kasur dan bersiap untuk pergi. Aku sedikit bertanya-tanya mengenai keanehan tingkahnya dan permintaannya agar aku tidak menggunakan kaki palsu. Namun aku menepis hal itu dari pikiranku dan turun ke bawah untuk sarapan.
Ke dua orangtuaku seperti biasa sudah berada di bawah dengan sarapannya masing-masing. Walaupun hari ini weekend namun tetap saja mereka bangun lebih awal dari kami. Aku mendorong kursi rodaku menuju meja makan. Kedua orangtuaku tersenyum menyapaku dan begitu sebaliknya. Kali ini telur kecap goreng kesukaanku tersedia di piring dengan kentang goreng. Aku tersenyum melihatnya dan langsung memasukkan kentang goreng ke dalam mulutku.
"Kemarin pagi kami tidak melihat kalian." Kataku. Membuat papa menaikan sebelah alisnya karena bingung dengan pertanyaanku.
"Kakak tidak memberitahumu?" Tanyanya dan dijawab dengan gelengan kepala dariku.
"Anak itu. Padahal mama sudah berpesan kepadanya untuk memberitahumu. Kemarin salah satu teman mama berulang tahun dan dia merayakan pesta kecil-kecillan sekaligus acara reuni SMA." Tutur mama dan aku hanya menganggukan kepalaku sambil menghabiskan sarapanku. Aku tidak begitu peduli dan tertarik akan hal itu.
Aku sedang mengisi gelas kosongku dengan susu dingin saat kakak turun. Dirinya datang dengan senyum besar di wajahnya, membuatku mengkerutkan keningku melihat tingkahnya. Dia datang ke arahku dan mengambil susu kotak dari tanganku sambil mengelus puncak kepalaku. Aku melihatnya dengan tatapan mata menyelidik sambil menghabiskan susu di gelasku.
"Ada apa denganmu pagi ini?" Tanya papa mewakiliku.
"Tidak ada. Tidak boleh jika aku berada di dalam mood yang bagus pagi ini." Jawabnya membuat papa mengarahkan pandangannya kepadaku seolah bertanya. Aku hanya mengedikkan bahu sambil menegak habis susuku.
"Kau tidak siap-siap Dre?" Tanya kakak.
"Sejak kapan kau mengetahui semua jadwal kegiatanku." Tanyaku kesal. Aku mengabaikan pertanyaannya dan menaruh gelas kotorku ke dalam bak cuci piring. Aku berbalik untuk mengabarkan kepergianku kepada kedua orang tuaku. Setelah itu aku langsung pergi ke kamar tanpa bertatapan muka dengan kakak.
Seperti yang Rafa minta, kali ini sehabis mengganti baju aku tidak mengenakan kaki palsuku. Aku mencoba bercermin di depan kaca. Aku menggunakan baju tanpa lengan. Bagian kiri baju ini menunjukan bahuku dengan sepenuhnya. Terdapat kain yang melilit leherku seperti coker. Warna baju yang berwarna pink jambu berhasil membuatku terlihat cantik. Tak dapat kupungkiri jika selera kak Leona memang hebat dalam hal fashion. Namun ini bukan gayaku.
Melengkapi bajuku yang lucu ini, kak Leona memilih sebuah rok putih berenda. Ujung rok ini tidak menutupi seluruh kakiku dan bersebaran di kursi rodaku. Terdapat pita yang cukup besar di ujung kanan yang membuatnya terlihat lucu. Hari ini aku berdandan layaknya bukan diriku sehari-hari. Aku sedikit takut dengan pandangan orang-orang mengenai baju yang dapat kukatakan terlalu terbuka untukku. Namun aku sudah berjanji akan mengenakannya, jadi aku terpaksa menggunakan baju feminim ini.
Aku mencoba untuk memakai sedikit make up. Lip tint berwarna peach kuoleskan di bibirku. Aku menambahkan sedikit blush on di pipiku dan juga maskara di bulu mataku. Ini pertama kalinya aku mengenakan make up ku sendiri, dan aku cukup puas akan hasilnya. Aku memilih untuk tidak melakukan apapun terhadap rambutku. Kubiarkan rambut panjang hitamku tergerai dengan bebasnya. Walau tidak memakai kaki palsu, namun aku tetap memasangkan sendal berwarna pink dengan tali-talinya yang membalut kakiku. Setelah yakin penampilanku siap, aku segera turun ke bawah.
"Kau tidak menggunakan kaki palsumu?" Tanya papa begitu melihatku.
"Rafa yang memintanya." Jawabku.
"Kau terlihat cantik sweet heart. Namun kau yakin tidak mau menggunakan kaki palsumu?" Tanya mama khawatir. Keluargaku mengetahui jika aku tidak menyukai memakai kursi roda di luar rumah. Apalagi jika orang-orang melihat ke arahku.
"Entahlah ma, aku ingin mencobanya kali ini saja. Aku yakin jika aku kewalahan dengan semuanya, aku akan langsung meminta Rafa untuk membawaku pulang." Jawabku. Aku ingin mencobanya untuk sekali saja. Papa datang ke arahku dan mengacak-ngacak rambutku. Dia tersenyum ke arahku dan melihatku dengan tatapan bangga.
"Jika ada apa-apa langsung menghubungi kami, oke?" Perintah papa yang kujawab dengan anggukan kepala.
"Dre, jemputanmu sudah datang!" Teriak kakak dari halaman depan.
Kegugupan langsung menyerangku. Sedari tadi aku merasa yakin untuk mengenakan kursi roda keluar rumah, namun sekarang aku berubah pikiran. Bagaimana jika tiba-tiba sesuatu terjadi di sana? Atau, orang-orang menertawaiku akibat kursi roda ini. Lebih parah lagi, teman-teman tidak bisa bermain denganku dan meninggalkanku. Semua pikiran negatif langsung menyerangku. Aku tahu bahwa aku sudah berjanji kepada Rafa agar aku dapat menang dari pikiran negatif ini, namun saat ini aku sama sekali tidak dapat mengontrolnya.
Aku menghela nafas panjang sebelum menggerakan roda-rodaku keluar rumah. Semakin diriku mendekat menuju pintu, aku semakin menyesal dan ingin berbalik ke kamar untuk mengambil kaki palsuku. Aku berhenti di tengah jalan untuk memikirkan ulang keputusanku. Saat aku hendak berbalik ke arah kamar, tiba-tiba saja seseorang memegang kursi rodaku.
"Ayolah Dre. Kasihan Rafa menunggu." Kata kakak sambil mendorongku keluar.
"Tapi kak. Aku tidak yakin. Aku takut." Ucapku dengan panik saat aku sudah berada di teras rumah.
"Hei, aku yakin jika kamu bisa. Kakak yakin jika Rafa akan menjagamu dan jika tidak kamu langsung menelphoneku. Akan kuhajar anak itu." Seru kakak sambil menatap mataku, memastikan kepadaku jika dirinya tidak main-main dengan perkataannya.
Tak lama, Rafa menghampiri kami. Dirinya tersenyum dengan lebar melihat diriku menuruti perkataannya. Senyum itu hilang saat dirinya melihat ekspresi ketakutan di wajahku. Kakak langsung menggendong sebelum aku sempat melihat reaksi yang diberikannya. Dengan sigapnya Rafa membukakan pintu mobil. Aku langsung menyembunyikan wajahku di dada kakak akibat seluruh perhatian ini. Rasanya ingin menangis karena aku merasa tidak berdaya saat ini.
Setelah membukakan pintu untuku, Rafa langsung beranjak untuk melipat kursi rodaku dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Dirinya dan kakak bercakap-cakap terlebih dahulu sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Aku dapat merasakan dengan sangat jelas jika Rafa menatapku. Namun aku menghindari tatapannya, aku sama sekali tidak berani untuk menatap wajahnya.
"Drea... tatap wajahku." Pintanya namun aku tidak berkutik sama sekali.
"Andrea.... Kumohon tatap wajahku." Pintanya sekali lagi dan kali ini aku menjawabnya dengan gelengan kepala tanpa melirik sedikitpun ke arahnya. Dia sepertinya menyerah dengan diriku karena dalam beberapa menit kesunyian terjadi. Hal itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja Rafa mengangkat tubuhku sehingga aku berada di pangkuannya. Aku menatap mukanya sambil membelalakkan mataku.
"Apa yang kau lakukan Raf?!" Protesku dan hanya di balasnya dengan sebuah senyuman lembut.
"Memindahkanmu sehingga kau mau menatap wajahku." Jawabnya dengan santai. Aku memberikannya tatapan menyeramkanku dan berusaha keluar dari dekapannya. Aku mendengar dirinya menghela nafas panjang sebelum aku merasakan ke dua tangannya menangkup wajahku.
"Hei... Kau tahu kan bahwa aku akan menjagamu?" Tanyanya dengan penuh perhatian. Aku mengalihkan pandanganku dari matanya dan mengabaikan pertanyaannya. Perasaanku semakin memburuk sekarang.
"A..Aku takut." Bisikku.
"Bagaimana jika nanti semua orang menertawaiku? Aku akan membuat kalian malu. Dan aku sangat yakin jika aku akan menyusahkan kalian lagi. Aku tidak berguna Raf. Aku hanya akan membuat kalian menjadi tidak menyuk...." Kataku dengan keras dan terisak. Air mata mulai turun menelusuri wajahku.
"Hei!" Teriaknya dengan keras memotong perkataanku.
"Drea kau sudah berjanji kepadaku untuk tidak memikirkan hal-hal negatif. Dengarkan ini oke. Aku tidak akan pernah malu bersama denganmu. B*llsh*t dengan pikiran orang lain. Mereka tidak mengenal dirimu sebaik aku. Seharusnya kau tidak membiarkan pandangan orang lain merusak dirimu. Mereka tidak mengetahui apapun tentang dirimu. Kau adalah seorang gadis yang hebat, pemberani dan seorang pejuang. Kau lebih berharga dari orang-orang itu. Kau berharga di mataku Dre." Ucapnya dengan tegas dan penuh keberanian.
Perkataannya saat ini benar-benar menyentuh hatiku. Setidaknya aku memiliki seseorang yang mengenal diriku dengan baik di luar keluargaku. Aku membutuhkan ini. Aku membutuhkan perkataannya lebih dari apa yang aku pikirkan. Rafa tidak melihatku dengan tatapan itu. Tatapan kasihan yang orang lain berikan. Dia melihatku sampai ke dasarnya. Dirinya melihat seluruh diriku. Tanpa bisa menahan perasaan ini, aku segera memeluk dirinya dengan erat. Aku menyembunyikan kepalaku di dada bidangnya dan menangis di sana. Aku dapat merasakan Rafa meletakan dagunya di kepalaku dan mengelus punggungku dengan lembut. Bibirnya tertarik di kedua sisinya, aku dapat merasakan hal itu.
Rafa membiarkanku menikmati posisi ini selama beberapa menit. Setelah aku merasa tenang dan seluruh sisa tangisanku hilang, aku mendongakkan kepalaku dari dadanya yang nyaman itu. Aku dapat merasakan darah mengalir naik ke pipiku menyebabkan ke dua pipiku memerah. Saat aku menatap matanya, ke duanya tengah memandangku dengan pandangan yang lembut. Aku menurunkan pandanganku untuk menghindari tatapan intense-nya itu. Pandangan mataku teralihkan dengan noda tangisanku yang memenuhi T-shirtnya itu.
"Ma..Maaf atas bajumu." Ucapku terbata akibat perasaan malu ini. Pipiku kembali terasa panas akibat hal itu. Aku merasakan tubuh Rafa bergetar akibat dirinya yang tertawa.
"Kau bisa merusak semua bajuku dengan air matamu. Aku tidak keberatan." Katanya sambil mengacak-ngacak rambutku. Dia kembali memelukku selama beberapa menit sebelum meletakanku ke kursiku.
"Baiklah sudah cukup acara menangisnya. Mari kita bersenang-senang!" Teriaknya sambil mulai menjalankan mobilnya. Aku tertawa melihat ekspresinya yang sangat bersemangat itu.
"Sebenarnya kita mau ke mana?" Tanyaku ketika baru menyadari hal itu. Terlebih parahnya lagi, aku sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai kegiatan hari ini.
"Kau lihat saja nanti." Jawabnya dengan sebuah senyum jahil terpampang di wajahnya. Aku hanya mendengus kesal menjawabnya. Semoga mereka tidak merencanakan yang aneh-aneh.
"Ngomong-ngomong Kyla dan yang lainnya ke mana?" Tanyaku penasaran karena sedari tadi aku tidak mendengar mengenai mereka.
"Mereka tidak ikut." Jawabnya dan aku hanya mengangguk.
"Apa?!" Tanyaku kaget ketika aku mencerna perkataannya.
"Ba...Bagaimana bisa? Maksudku mereka tidak ikut? Hanya kita berdua?" Tanyaku dengan otak yang masih berusaha mengerti situasi ini. Aku menatap muka Rafa menuntut sebuah penjelasan dari dirinya, namun ia hanya menjawab dengan sebuah anggukan singkat.
Aku mencoba memikirkan hal ini. Sejak awal aku mengira jika kita berenam akan bermain bersama entah ke mana. Aku mencoba mengingat-ngingat undangan Rafa saat itu. Aku baru menyadari jika sedari awal dirinya tidak pernah mencantumkan bahwa mereka semua akan ikut. Diriku sendiri yang menspekulasi semuanya.
Aku menghela nafas panjang. Jadi sekarang hanya ada kita berdua. But wait, is this a date? Hanya ada aku dan Rafa. Dia mengajakku pergi ke suatu tempat. Dan saat ini aku mengenakan sebuah pakaian yang tidak biasa aku kenakan. Aku segera merasakan mukaku memerah karena pikiranku ini. Dengan cepat tanganku berkeringat gugup dan jantungku bekerja di luar kebiasaannya. Aku tidak yakin jika aku akan selamat sepulang dari sini.
Aku menarik nafas panjang mencoba untuk menghilangkan rasa gugup dan rasa senang yang berlebihan ini. Semua pertanyaanku mengenai keanehan kakak dan Rafa sudah terjawab dengan sendirinya. Pantas saja jika kakak menyuruh kak Leona untuk membantuku membelikan baju. Dirinya mengetahui semua rencana ini. Hanya satu yang masih membuatku bertanya-tanya. Apa yang di lakukan Rafa sampai bisa membuat kakak menyetujui rencananya dan membantunya? Apapun itu, aku memiliki masalah yang lebih besar.
"Is this a date?" Tanyaku kepada Rafa dengan berbisik.
"Yup." Jawabnya dengan singkat. Mendengar jawabannya aku semakin gugup. Oh my gosh, I'm going to a date! Sepertinya Rafa merasa bahwa situasiku saat ini lucu untuk dirinya membuat dia tertawa dengan keras.
"Hei! Kau tidak usah panik begitu. Ini cuman aku." Ucapnya dengan kegelian yang terselip di nada bicaranya.
"Tetap saja! Ini pertama kalinya aku berkencan." Desisku kesal sambil menatap dirinya dengan tatapan menjengkelkan. Aku malah melihat dirinya tersenyum puas dengan perkataanku.
"Tenang saja. Aku akan menjamin jika kita akan bersenang-senang hari ini." Ucapnya seperti sebuah janji. Aku menghela nafas panjang untuk menghilangkan semua kegugupanku.
"Baiklah. Aku percaya." Jawabku singkat. Aku menyenderkan kepalaku ke kaca jendela setelah menyalakan musik. Setidaknya aku harus menikmati perjalanan ini dengan pemandangan yang ada dan juga musik-musik yang mengalun.
Tidak lama kemudian mobil pun berhenti. Aku melihat ke sekeliling mencoba untuk mencari tahu tempat apa ini, namun aku sama sekali tidak mendapatkan clue apapun. Tempat ini begitu sepi, aku dapat melihat bukit-bukit yang menjulang tinggi di sertai dengan pohon-pohon yang mengisinya. Tempat ini begitu asri dan sejuk. Sepertinya tempat ini adalah sebuah kebun, entah kebun apa.
Aku begitu asik menikmati pemandangan ini sampai tidak menyadari jika Rafa sudah keluar dari mobil. Aku mencar-cari dirinya dan menemukan jika dirinya sedang kesulitan ketika merakit ulang kursi rodaku. Pikiran usil terlintas dipikiranku. Daripada menolongnya, saat ini aku lebih memilih untuk menyaksikannya kebingungan. Aku tertawa pelan melihatnya yang benar-benar tidak tahu harus berbuat apa dengan kursi rodaku. Puas melihatnya kesulitan akhirnya aku memutuskan untuk membantunya. Aku membuka kaca mobil dan mencondongkan kepalaku keluar.
"Kesulitan Raf?" Godaku kepadanya sambil tertawa. Dirinya hanya melihatku dengan tatapan pasrah. Aku semakin tertawa dengan ekspresi mukanya itu.
Setelah sekian lama aku memberinya instruksi, akhirnya Rafa bersorak riang setelah berhasil merakitnya. Saat ini dirinya benar-benar terlihat seperti seorang anak-anak yang sangat mudah untuk disenangkan. Dirinya terus memandangi hasil kerjanya dengan muka berbinar dan setelah puas dia mulai beranjak. Aku merasa sangat malu saat Rafa mulai berjalan ke arahku untuk memindahkanku ke atas kursi roda. Rasanya ingin hilang dari dunia ini ketika Rafa menyelipkan tangannya diantara kakiku. Sentuhan dari kulit bertemu dengan kulit terlalu ekstrim bagiku. Mukaku pasti sangat merah saat ini. Dirinya menaruh diriku di kursi roda dan mulai mendorongku sementara aku masih sibuk untuk menghilangkan pipi memerahku.
Aku mencoba memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Aku masih tidak mengerti setelah kencan hari ini kita menjadi apa? Sebuah kekasih kah? Sahabat? Atau yang lainnya? Apapun itu aku hanya ingin bersama dengan Rafa. Mungkin untuk saat ini bersama dengannya sudah cukup bagiku. Entah untuk berapa lama perasaan ini akan bertahan. Namun dapat kuyakinkan jika perasaan ini akan terus berkembang.
Aku mendongakkan kepalaku ke atas untuk melihat wajahnya. Dirinya menyadari kelakuanku dan mengalihkan pandangnya dari depan menuju mukaku. Senyum manis tertera di wajahnya saat melihatku. Dia mengacak-ngacak rambutku tanpa tujuan yang jelas membuatku mengerucutkan bibirku kesal. Tawa Rafa dapat kudengar, dirinya tertawa akibat tingkahku.
"Tebak kita ada di mana?" Tanyanya. Aku mengedarkan pandangku untuk meyakinkan teoriku.
"Kebun." Jawabku dengan yakin. Dirinya tersenyum puas dengan jawabanku. Sepertinya jawabanku benar.
"Apakah kita akan piknik?" Tanyaku setelah berpikir aktifitas apa yang akan di lakukan di sebuah kebun.
"Mengapa kau pintar sekali Dre? Awalnya aku pikir kau akan menebak lebih lama lagi." Serunya. Entah itu berupa sarkasme ataupun bukan. Namun aku tidak begitu peduli sekarang. Aku terlalu bergembira saat ini untuk memikirkan hal itu. Sejak dulu, aku sangat ingin pergi piknik seperti di cerita-cerita yang kubaca saat kecil. Hari ini impianku terwujud. Aku akan dengan senang hati menikmati setiap detiknya.