~Andrea ~
Suara televisi melatar belakangi aktifitasku saat ini. Aku sedang mencoba memasak salah satu resep kue yang aku temukan di instagram. Karena rumah menjadi milikku seorang untuk hari ini, aku memutuskan untuk memasak kue.
Aku sedang menuangkan tepung ke dalam mangkuk saat handphoneku bergetar menandakan seseorang menelponku. Senyum besar terpampang di wajahku saat aku melihat id sang penelpon.
"Hai..." Seruku dengan suara yang bergembira. Aku sangat yakin jika dirinya bisa mengetahui bahwa aku sedang tersenyum saat ini.
"Hai bubblegum, keluarlah, aku mempunyai kejutan untukmu." Serunya secara tiba-tiba membuatku menaikan sebelah alisku kebingungan.
Aku hendak bertanya lebih lanjut mengenai pernyataannya, namun Rafa menutup telpon secara sepihak.
Dengan kepala penuh pertanyaan aku menggerakan roda-roda dari kursiku menuju pintu depan. Saat sampai di sana aku semakin bingung karena tidak mendapati apa-apa.
Setelah mencari kejutan dari Rafa selama beberapa menit, aku memutuskan untuk melanjutkan kegiatanku. Namun sebelum aku hendak menggerakan roda-rodaku, seseorang menarik kursi rodaku dan memutarnya.
Saat ini aku sedang berhadapan dengan pacarku sendiri. Ekspresi terkejutku berubah menjadi ekspresi gembira. Dirinya langsung membawa tubuhku ke dekat tubuhnya, sehingga aku dapat memeluk tubuh bagian bawahnya.
"Terkejut?" Tanyanya dengan gembira, melihat rencananya yang berhasil.
"Bagaimana kau bisa masuk ke mari? Pintu gerbang terkunci Raf." Seruku bertanyatanya. Dirinya hanya memamerkan senyumannya.
"Aku memanjat pagar." Jawabnya seperti bukan sesuatu yang berarti. Aku membelalakkan mataku mengetahuinya.
"Apa kau gila? Kalau tetangga tahu, kau bisa dikira pencuri!" Seruku memarahinya. Dia hanya tersenyum meladeniku.
"Jika tidak begitu, aku tidak dapat mengejutkanmu." Elaknya, yang hanya bisa aku tanggapi dengan helaan nafas.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku saat dirinya sedang mendorongku ke dalam rumah.
"Hanya ingin bertemu dengan bubblegumku yang cantik." Godanya kepadaku.
"Aku serius Raf." Seruku.
"Aku juga serius." Jawabnya sambil menoleh ke depan seperti menghindari diriku.
"Kau tidak mungkin datang kemari secara tiba-tiba seperti ini jika tidak ada sesuatu." Ujarku yang membuat dirinya semakin enggan untuk menatapku.
"Bawa aku ke dapur. Aku sedang membuat kue. Apakah kau mau ikut membantu?" Tanyaku mencoba memperbaiki moodnya yang sepertinya sedang jelek.
Dirinya mengangguk dan tersenyum kepadaku. Aku langsung kembali ke belakang meja dan mengerjakan kueku. Aku menyuruh Rafa untuk memisahkan antara kuning telur dan putihnya, sementara aku sibuk melelehkan mentega dan juga cokelat batangan.
Aku bisa mendengar umpatan yang keluar dari mulutnya saat kuning telur yang sedang ia pisahkan masuk ke dalam mangkuk putih telur. Aku tertawa melihat dirinya yang kesulitan seperti ini.
"Drea ini susah. Mengapa kau memberikan pekerjaan ini kepadaku? Dan jangan berani-berani kau tertawa!" Serunya merengek seperti bayi besar. Aku tertawa keras atas reaksi konyolnya itu.
"Mau bertukar pekerjaan denganku?" Tawarku yang langsung di setujuinya dengan anggukan cepat.
Aku tertawa kecil saat melihat beberapa cangkang telur ikut terbawa masuk ke dalam mangkuk. Rafa memang tidak memiliki bakat dalam hal memasak. Dengan terpaksa aku menyingkirkan hasil pekerjaan Rafa dan membuat ulang.
"Apa kau mau mulai bercerita sekarang?" Tanyaku setelah terlalut dalam aktifitas masing-masing.
Dirinya menjawab dengan berdeham pelan sambil melanjutkan mengaduk cokelat yang hampir meleleh sepenuhnya.
"Baiklah, sepertinya aku tidak bisa membuatmu berhenti bertanya." Serunya membuat ku terkekeh karena kebenaran perkataannya.
"Aku bertemu dengan ayahku. Baru saja. Seperti saranmu, aku mendengarkannya."
"Aku merasa bersalah. Tapi entah mengapa, rasa kesal terhadap dirinya masih ada. Semua ini membingungkanku."
"Dia meminta maaf karena selama ini dia mengaku jika dirinya mengabaikan kami. Aku bisa mengerti sudut pandangnya, tapi tetap saja aku tidak bisa memaafkannya begitu saja." Ucapnya sambil mengaduk-ngaduk cokelat dengan lambat.
Aku meninggalkan pekerjaanku, mendekatinya dengan perlahan dan memeluknya dari belakang. Dia benar-benar melalukan apa yang aku katakan. Aku tersenyum sambil memeluknya lebih erat.
"I'm proud of you." Bisikku bahagia, yang di tanggapinya dengan berbalik ke belakang dan memelukku.
"Thanks Bubblegum." Serunya, sambil mencolek hidungku.
Aku terkesiap kaget saat baru menyadari jika dirinya mencolekan cokelat ke hidungku. Dia tertawa dengan kencang melihat reaksiku.
"Awas kau!" Seruku sambil mencolekan jariku ke cokelat dan mengejar dirinya yang sudah berlari menjauh dariku.
Aku berhasil mengenai wajahnya dan tanpa sengaja menamparnya. Aku tertawa dengan keras setelah mengetahui hal tersebut. Menyadari tatapan garang dari dirinya, dengan cepat aku menggerakkan kedua rodaku menjauhi dirinya.
Namun dengan cepat Rafa mengejarku dan menggendongku dengan posisi tubuh yang berada di bahunya seperti seonggok karung. Aku tertawa sambil memukul-mukul punggungnya untuk melepaskan diri.
Dia langsung menjatuhkan dirinya di sofa dan membawaku ke dalam pelukannya. Dengan gerakan tak terduga di meraih tanganku yang dilumuri cokelat dan menaruhnya di mukaku.
Aku berteriak kesal dan berusaha untuk menjauhkan tanganku dari muka. Tentu saja usahaku sia-sia. Rafa malah mentertawakan usahaku itu.
"Kau curang! Sekarang aku dipenuhi dengan cokelat." Gerutuku kepadanya yang hanya ditanggapinya dengan tawa. Aku menggembukan pipiku kesal sambil memukul tangannya kencang-kencang.
"Maafkan aku bubblegum. Aku akan bantu bersihkan. Setelah itu aku akan membantumu menyelesaikan kuenya." Serunya minta maaf, namun tak mendapat respon apapun dari diriku yang kesal.
Dia lantas menaruh tubuhku di sofa dan beranjak pergi. Setelah tahu dia meninggalkanku begitu saja, perasaanku semakin kesal padanya. Aku mencoba untuk menghilangkan cokelat di wajahku dengan menggunakan tangan, namun sepertinya itu sia-sia.
Tanpa aku sadari Rafa sudah ada di sampingku dan memegang kedua tanganku dengan erat sementara tangan kanannya mengelap mukaku dengan lap basah. Aku yang masih kesal padanya memutuskan untuk menutup mataku agar tak melihat pandangannya.
Dia mencubit ke dua pipiku, membuatku membuka mata dan memanyunkan bibirku kesal. Dia hanya tertawa sementara aku menatapnya dengan garang. Aku mencoba untuk melepaskan ke dua tanganku dari pegangannya yang kuat.
"Maaf. Habis mukamu lucu. Maaf ya, nanti habis ini aku traktir buku gimana?" Bujuknya dengan menyogok kelemahanku, buku.
Aku memalingkan mukaku untuk menahan senyum dan menganggukan kepalaku lemah. Rafa kembali menarikku ke dalam pelukannya.
"Jangan pura-pura marah lagi. Jelek kalau kamu cemberut." Bisiknya di telingaku membuatku memukul lengannya.
"Mau traktir buku kapan?" Tanyaku membuat dirinya tertawa puas.
"Sekarang?" Jawabnya yang lebih ke arah pertanyaan.
"Kau menjawab atau bertanya?" Seruku kesal.
"Setidak sabaran itukah kau." Serunya dengan seringai puas.
"Baiklah, selesai kau membuat kue kita pergi." Serunya membuatku berteriak senang.
"Tapi..." Potongnya membuatku melihat ke arahnya dengan tatapan menyelidik.
"Kau harus menggunakan kursi rodamu." Tanyanya secara hati-hati.
Aku berpikir sejenak. Mungkin memang sudah saatnya aku untuk mencoba. Lagian aku sudah janji kepadanya untuk mencoba hal ini saat ulang tahunnya. Aku akan melakukannya, sekalian memberikan hal ini sebagai balasanku karena Rafa sudah menuruti saranku dengan berbicara dengan ayahnya.
"Baiklah." Seruku dengan senyum tulus. Membuatnya tersenyum dengan lebar. Dirinya segera berdiri dan mengangkatku kembali ke kursi roda.
"Baiklah, sebaiknya kita cepat-cepat menyelesaikan kue." Serunya sambil mendorongku kembali menuju dapur. Aku hanya menggeleng pelan melihat antusiasnya.
Setelah kami menyelesaikan membuat kue dengan di penuh aksi lempar melempar tepung ke satu sama lain, kami pun segera membersihkan dapur yang kotor. Setelah itu Rafa meninggalkanku sendiri untuk mengambil mobil ayahnya lalu menjemputku kembali. Saat ini aku sedang menunggu Rafa di depan pintu sambil memainkan handphoneku.
Kue-kue yang tadi kami masak, sudah matang dan sudah kubungkus dengan rapih. Aku juga membawa beberapa toples untuk kedua orang tua Rafa.
Sebuah klakson mobil menyadarkanku. Aku melihat ke arah gerbang, Rafa sedang mendorong gerbang untuk memasukan mobilnya. Setelah dia berhasil memasukan mobilnya dia segera menghampiriku.
"Sudah siap?" Tanyanya yang aku jawab dengan anggukkan.
Dia menggendongku dan masuk ke dalam mobil. Walau Rafa sudah beberapa kali melakukan hal ini, tetap saja aku masih belum terbiasa dengan ini semua. Rasanya gatal sekali ingin kembali masuk ke kamar dan mengambil kaki palsuku.
Setelah selesai melipat kursi rodaku dan memasukannya ke dalam mobil, Rafa pun mulai menjalankan mobilnya dan berangkat.
Beberapa menit terjadi kesunyian diantara kami, bosan dengan kesunyian yang ada aku memutuskan untuk menyalakan radio. Aku ikut menyanyikan lagu Lauv ft Troye Sivan 'I'm so tired' yang diputar secara perlahan.
Sepertinya Rafa mendengar dan ikut menggumamkan nadanya sambil mengetuk-ngetukkan ibu jarinya mengikuti ketukan lagu. Lama kelamaan kami melakukan mini karaoke di dalam mobil. Aku mengeluarkan semua suaraku, begitu juga dengan dirinya. Perjalanan kami ini diwarnai dengan tawa dan juga nyanyian. Aku bahkan sampai melupakan perasaan gugupku.
Sesampainya di parkiran mall, kegugupanku kembali. Rafa keluar dari mobil untuk merakit kursi rodaku, selama dia merakit aku mencoba untuk menenangkan pikiranku. Pada akhirnya Rafa menggendongku ke atas kursi roda dengan pikiranku yang masih berantakan.
Rafa mencium keningku ketika melihat mukaku yang berantakan dan kusut. Setidaknya aku memiliki pacar yang suportif dan mendukungku.
Aku tersenyum lemah membalasnya dan mencoba melawan ketakutanku. Rafa mendorong kursi rodaku menuju pintu barat dari mall. Beberapa orang melihat ke arahku, mungkin karena hal ini bukanlah hal yang biasa mereka lihat sehari-hari. Kebanyakan dari mereka tidak peduli dan tetap melakukan kegiatan mereka.
Hal itu tidak begitu buruk, sampai kami masuk ke dalam lift yang penuh dengan orang-orang. Jika hari ini aku memakai kaki palsuku mungkin sudah sedari tadi kami sampai di lantai 4. Namun karena kursi rodaku yang memakan tempat, kami harus menunggu sampai lift benar-benar kosong.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya kami bisa memasuki lift. Rafa mendorongku masuk dan tentu saja hal ini menarik perhatian orang-orang di dalam lift. Aku menundukan kepalaku karena tidak mau menatap mereka. Kami menempati bagian ujung kanan lift, karena sudah banyak orang yang berada belakang.
Selama di dalam lift Rafa menenangkanku dengan memainkan rambutku. Dia mengetahui jika aku sangat senang jika ada orang yang memainkan rambutku. Aku menyandarkan kepalaku ke tubuh bagian bawah Rafa. Memejamkan mataku sambil memainkan serat-serat kain yang ada di ripped jeans ku.
Baru saja sampai di lantai 2 pintu terbuka dan beberapa orang di dalam lift hendak keluar. Karena kami berada di depan dan menghalangi pintu keluar, kami terpaksa mengalah dengan keluar dari lift.
Kami terpaksa menunggu di luar karena banyak orang yang berdesakan keluar. Saat hendak masuk ke dalam, pintu lift telah tertutup. Tak satupun dari orang di dalam yang mau membukakan pintu untuk kami. Dengan umpatan, Rafa mengata-ngatai orang yang di dalam sambil mendorong aku pergi.
Aku hanya bisa tertawa melihat reaksinya dan kondisi kami yang sepertinya sial dari tadi.
"Sudahlah Raf, setidaknya kita bisa melihat-lihat lantai dua. Lagi pula aku lapar. Kita bisa membeli makanan di sekitar sini." Kataku mencoba menghiburnya.
"Baiklah..." Serunya sambil menghela nafas panjang.
Rafa kembali mendorong kursi rodaku mengintari lantai dua. Kami melewati beberapa penjual makanan dan setiap Rafa mengusulkan makanan yang manis, aku langsung menolaknya dengan alasan konyol. Aku sudah muak dengan makanan manis.
"Raf kalau kamu mau makanan manis beli saja sendiri." Seruku kesal karena sejak tadi dirinya selalu menawariku makanan manis.
"Ya udah. Padahal tadi rencananya mau romantisan makan berdua." Gerutunya.
Aku kembali tertawa mendengarnya.
Pada akhirnya Rafa membeli sebuah wafel dengan toping es krim vanila, sementara aku membeli kebab. Kami pun memakannya sambil tetap berjalan kembali ke arah lift. Entah bagaimana Rafa bisa mendorongku sambil memakan wafelnya.
Sesampainya di sana kami kembali menunggu lift yang kosong dengan waktu yang cukup lama. Karena hal ini aku menjadi merasa bersalah. Aku yang meminta ke sini hari ini, dan aku juga yang membuat kita dari tadi menunggu lift dengan lama. Aku terkadang membenci situasi seperti ini. Mengingatkanku kepada diriku yang cacat dan tak bisa apa-apa. Karena diriku juga Rafa sempat marah. Kalau bukan karena aku, mungkin dari tadi kita sudah sampai lantai 4 sejak tadi.
"Stop it. I know what you think Dre, so stop it." Seru Rafa dengan tegas.
Aku tahu jika maksud dirinya baik, tapi entah mengapa aku ingin sekali membentaknya. Dia sama sekali tidak mengerti perasaanku. Dia tak punya hak untuk mengatur apa yang aku pikirkan. Dia tidak pernah ada di posisiku. Semua kata-kata negatif itu mengalir di kepalaku membuat aku semakin kesal dengannya.
"Dre, I say stop it." Serunya lagi dengan tegas.
"Apa? Berhentiin apa? Memang kau tahu apa yang aku pikirkan?" Desisku kesal.
Aku tidak mendengar apa-apa darinya, tiba-tiba dia memutar kursi rodaku, sehingga aku berhadapan dengannya sekarang. Dia mensejajarkan tingginya denganku, dan mencubit batang hidungnya. Sepertinya dirinya terlihat stres sekarang.
"Dre, ini bukan salahmu, okay. Maaf tadi aku sempat marah saat keluar dari lift, dan tegas kepadamu tadi. Hari ini hari yang panjang buatku, tapi sekarang aku sudah lebih baik karena bubblegum ku ada di sini. Jadi kalau bubblegum ku cemberut, nanti hari aku jadi semakin buruk karena melihat bubblegumku sedih." Tuturnya membuatku tersenyum menyesal.
"Maaf karena egois dan gak bisa jadi pacar yang pengertian." Bisikku.
"Hei, bukan salahmu. Aku yang salah, ini salah satu langkah besar buatmu, dan emosiku sedang tidak terkontrol. Seharusnya aku yang minta maaf."
Tanpa pikir panjang aku memajukan tubuhku dan memeluk lehernya yang jenjang itu. Entah apa yang telah aku lakukan untuk mendapatkan pacar seperti dirinya.
"Thank you. I love you." Bisiku di telinganya. Dia melepas pelukanku dan mengacak-ngacak rambutku.
"I love you too." Ucapnya tanpa suara.
Dia kembali mengacak-ngacak rambut membuatku memanyunkan mulut. Dia membalasnya dengan gelengan kepala sebelum mencium puncak kepalaku. Aku hanya bisa menunjukan muka memerahku atas semua perhatian kecil yang dia berikan.
Akhirnya tak menunggu waktu lama, kami bisa mencapai lantai 4. Aku langsung menyuruh Rafa untuk membawaku ke toko buku. Rafa hanya terkekeh ringan melihat ketidak sabaranku.
"Ayolah Raf, dorong lebih cepat!" Rengekku saat aku mengetahui jika dirinya sengaja mendorong kursi rodaku dengan lambat.
"Kau harus belajar untuk bersabar." Ucapnya dengan nada kepuasan. Aku hanya bisa melipat tanganku kesal dan menggembungkan kedua pipiku. Reaksi yang diberikannya hanyalah mencubit ke dua pipiku.
Sesampainya di depan toko buku, aku melepaskan kedua tangan Rafa dari kursi rodaku dan menggerakan roda-roda kursiku dengan cepat meninggalkan Rafa di belakang. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan mengejarku.
"Kamu tuh tidak sabaran banget." Komentarnya sambil kembali mendorong kursi rodaku. Aku tidak menanggapinya sama sekali.
"Mau ke mana?" Ucapnya di selingi nada gemas. Aku langsung melihatnya dengan otomatis, dan menunjukan area novel.
Setelah memilih beberapa novel, aku memutuskan untuk membeli salah satu novel lokal. Setelah yakin dengan pilihanku, aku mencari Rafa yang ternyata sedari tadi memperhatikanku dari ujung rak. Dia tersenyum ketika menyadari diriku yang melihat ke arahnya.
"Sudah selesai?" Tanyanya yang kujawab dengan gelengan kepala jahil. Dia menghembuskan nafas panjang menanggapinya.
"Baiklah, mau ke mana lagi?" Tanyanya yang sudah siap berada di belakangku siap mendorongku kembali.
"Komik, aku mau membaca beberapa komik yang ada." Seruku girang. Dia hanya menganggukan kepala dan mendorongku ke arah rak komik.
Aku langsung memilih beberapa cover komik yang menarik. Setelah yakin jika ceritanya bagus, aku menggerakan kursi rodaku ke ujung dengan beberapa komik yang tidak tersegel di pangkuanku.
Setelah beberapa menit menghabiskan waktu membaca dan bahkan melupakan keberadaan Rafa, kegiatan membacaku terhenti akibat kepala Rafa yang tiba-tiba berada di pangkuanku. Aku hanya tersenyum kecil melihatnya dan memainkan rambutnya.
"Bagaimana rasanya memiliki saudara?" Tanya Rafa secara tiba-tiba.
"Kakakku, menyebalkan. Dia terlalu over protective kepadaku. Namun dia yang selalu ada untukku. Saat kecil kita selalu bermain bersama. Dari dulu kita selalu membantu satu sama lain. Untuk jawabanmu, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Mengapa kau bertanya?" Tanyaku yang tidak langsung dijawab olehnya.
"Kau tahu jika sedari kecil aku sudah terbiasa hidup mandiri. Terkadang aku merasa kesepian. Sekarang keluargaku seperti terpecah belah. Ayah kandungku hidup seorang diri di Sidney. Ibuku menikah lagi dengan papah dan sekarang mereka tinggal di Jerman. Sementara aku berada sendirian di sini." Tuturnya.
Aku sama sekali tidak pernah berpikir Rafa akan mengatakan hal seperti itu. Jika dipikir-pikir, dirinya belum pernah merasakan yang namanya keluarga. Ku rasa masa kecilnya lebih buruk dariku. Dia terlihat sangat kesepian.
"Dan sekarang, mom akan mengadopsi seorang anak. Aku merasa seperti benar-benar terlempar dari keluargaku sendiri. Hubunganku dengan ayah masih dalam sebuah proses yang rumit. Sekarang aku benar-benar merasa sendiri." Serunya sedih.
Aku memberhentikan gerakan tanganku yang membelai kepalanya. Kedua tanganku memangkup kepalanya yang besar dan membawanya untuk menatapku. Aku menatapnya dengan sangat serius.
"Kau tidak pernah sendiri Raf. Tidak peduli di mana pun kau berada, hubungan keluarga tidak dapat dipisahkan. Kau tahu aku selalu berpikir, kenapa Tuhan membuat sebuah keluarga. Kau tahu? Dia membuat sebuah keluarga untuk mengajarkan kita bagaimana caranya mengasihi dengan sebuah hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dia mau kita mengasihi keluarga kita apa adanya. Jadi bagaimanapun kau akan selalu mempunyai keluarga." Seruku.
Dia menampakan senyum kecil, namun aku masih melihat matanya yang masih memancarkan kesedihan. Dengan sebuah keberanian, dan entah apa yang merasukiku, aku menarik kepalanya mendekat kepalaku. Dengan cepat bibirku bertemu dengan bibirnya secara sekilas.
Setelah sadar apa yang kulakukan aku kembali menarik kepalaku dengan cepat dan menyembunyikan mukaku di tanganku.
"Kau selalu memilikiku." Bisikku sambil tetap menyembunyikan mukaku di kedua tanganku.
Setelah sekian lama aku mendengar sebuah suara tawa yang besar. Sebuah kehangatan besar tiba-tiba menyelimutiku. Tangan-tangannya yang besar memelukku. Menarikku paksa ke dekapannya yang hangat.
"Aku mencintaimu, selalu." Bisiknya di telingaku.
~The End~