Chereads / Awal dari Kenangan / Chapter 43 - Epilog

Chapter 43 - Epilog

~Andrea~

1 Tahun kemudian

Hari ini kami berenam akan berlibur di salah satu villa milik orang tua Tio. Mengingat kami akan berpisah setelah ini. Masa-masa indah kami di SMA sudah berakhir satu minggu yang lalu. Di akhiri dengan tangis bahagia para murid dan juga guru. Aku tidak heran saat Rafa dipanggil menjadi murid berpestrasi bersama dengan Aldo.

Setelah lulus, rencananya aku akan melanjutkan kuliahku di sini. Sebuah langkah besar untukku ketika aku memilih di salah satu kuliah yang menerima orang berkekurangan sepertiku. Berkat Rafa, aku bisa menerima kekuranganku dengan berlapang dada. Oleh karena itu aku memilih untuk menggunakan kursi rodaku sepanjang waktu.

Kyla, anak itu akan masuk sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dia ingin melanjutkan kuliahnya di manenjemen bisnis. Sama sepertiku dia mencari kuliah di sini. Dia tidak mau berpisah denganku. Aku sangat lega saat mengetahui bahwa setidaknya ada satu sahabatku yang tidak pergi.

Alex, dia memutuskan untuk berdamai dengan ayahnya. Tidak ada lagi kedinginan dan kekakuan yang terjadi di keluarga mereka. Walaupun terlihat masih canggung, hubungan dengan ayahnya sudah membaik. Dia mengikuti keinginannya untuk menjadi seorang musisi. Bersama ayahnya, Alex pindah ke korea, ke tempat asal ibunya.

Sementara Aldo, dia mendapat beasiswa di Inggris dengan jurusan kedokteran. Dia berteriak kegirangan dan mencucurkan air mata saat dirinya mendapatkan hal itu. Kami semua bangga mendengar jika teman kami yang satu itu dapat mewujudkan impiannya.

Untuk Tio, dia memilih untuk tinggal di luar kota bersama dengan Sira. Hubungan kedua pasangan itu setiap hari semakin serius. Tio mengambil jurusan interior design di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jakarta. Sementara Sira melanjutkan karirnya. Mereka sangat kompak, aku tidak akan heran jika suatu saat aku mendapat undangan pernikahan dari mereka.

Rafa, aku sedih mengingatnya. Saat dirinya memberitahuku bahwa dia akan pulang ke Australia bersama ayahnya, aku memberikannya sebuah senyuman palsu. Dia langsung menyadari hal itu dan memelukku. Seharian itu aku menangis di pelukannya. Kami berdua memutuskan untuk tetap melanjutkan hubungan kami walau itu sulit. Sejujurnya aku merasa tidak bisa hidup tanpa dirinya. Akhirnya kami bersepakat untuk mengunjungi salah seorang disetiap kesempatan.

Suara klakson mobil menyadarkanku dari lamunan. Sebuah mobil mini van terpakir tepat di depanku. Dengan jendela mobil yang terbuka lebar aku dapat mendengar kehebohan yang terjadi di dalam.

"Yo, suaramu tidak sebagus istrimu jadi diam!" Keluh Alex dengan suara kencang.

Aku yang sedari tadi menunggu di teras tertawa mendengar kedatangan mobil mereka yang diiringi dengan keributan yang luar biasa.

Rafa dengan sigap keluar dari mobil dan langsung memelukku mengabaikan keributan di dalam mobil. Aku meletakan kepalaku di dadanya dan menghirup dalam-dalam bau tubuh yang akan kurindukan.

Rafa mencium puncak kepalaku dan menjauhkan dadanya dariku membuatku menggeram kesal. Rafa tertawa akan sikap manjaku.

"Sudah siap?" Tanyanya sambil mengusap-ngusap kepalaku.

"Kalian jangan pacaran mulu! Kau bantu aku!" Seru kakak kesal. Dia keluar dari pintu dengan membawa barang bawaanku dan juga dirinya.

Rafa hanya tersenyum meringis sambil bergegas membantu kakak memasukan tas ke dalam mobil.

Kakak memaksa untuk ikut. Dia beralasan bahwa dirinya harus mengawasiku. Dia bersekongkol dengan papa untuk memaksaku menyetujuinya. Pada akhirnya dengan terpaksa aku membiarkannya meganggu liburanku.

Setelah semua barang selesai ditaruh, Rafa menggendongku masuk ke dalam mobil dan mendudukanku di sebelahnya. Meninggalkan kakak yang menggerutu melipat kursi rodaku.

Perjalanan yang panjang pun di mulai. Kira-kira di perlukan waktu sekitar 5 jam untuk mencapai vila yang berada di dekat pantai. Selama di perjalanan aku meringkuk di dalam pelukan Rafa dan mengabaikan omelan kakak dan juga keadaan sekitar. Aku akan merindukan tubuh tinggi dan besar ini.

"Bubblegum, hey.... Wake up baby.." Bisik Rafa pelan di dekat telingaku. Aku menguap dan menggosok mataku.

"Apa kita sudah sampai?" Tanyaku dan kembali berbaring di kasur besarku.

"Belum." Jawab Rafa dengan polosnya membuatku membuka mataku lebar dan memukul dadanya keras-keras. Rafa mengambil ke dua tanganku menciumnya dan tersenyum. Dia terkekeh pelan dan menyeringai ke arahku.

"Tentu saja sudah. Kau tertidur begitu nyenyak hampir 3 jam penuh." Serunya sambil mengacak-ngacak rambutku gemas.

Aku memanyunkan bibirku kesal dan melihat ke sekelilingku. Memang benar mobil sudah terpakir di sebuah villa yang cukup besar. Teman-teman yang lain sudah keluar melihat sekitar, mereka berlari menuju pantai. Melihat hal itu sejujurnya aku sangat iri.

Rafa mencium keningku yang berkerut akibat berpikir. Aku tersenyum melihat dirinya yang begitu memperhatikan diriku. Setelah sekian menit kami saling bertatapan, akhirnya Rafa memutuskan untuk menggendongku keluar menyusul yang lain.

Jika dipikir-pikir kursi rodaku sama sekali tidak berfungsi di sini. Aku duga kita akan banyak bermain di pantai, dan kursi rodaku tidak akan bisa berjalan di pasir-pasir pantai ini. Itu artinya aku akan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam villa. Rasanya seperti tidak berguna aku datang ke sini jika hanya berdiam di dalam villa.

"Ada apa dengan mukamu. Bubblegum stop overthinking, okay?" Seru Rafa sambil menggendongku. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

"What's wrong?" Tanya Rafa lembut. Aku menggelengkan kepalaku. "Hanya pikiran konyolku."

"Itu tidak mungkin konyol jika sampai membuat keningmu berkerut seperti nenek-nenek untuk kedua kalinya." Serunya membuatku memukul kepalanya kesal. Dia tertawa untuk sesaat dan kembali menatapku agar diriku mulai untuk berbicara.

"Baiklah! Aku hanya iri dengan kalian yang bebas bisa pergi ke pantai dan bermain dengan air. Sementara aku harus mendekam di villa. Bahkan kursi rodaku tidak dapat berjalan di atas pasir dengan baik." Gumamku pelan.

"Kau pikir untuk apa kau punya pacar yang tinggi dan mempunyai badan bagus seperti ini?" Tanyanya membuatku bingung. Dia terkekeh pelan melihat reaksiku.

"Sejak awal aku sebenarnya sudah berencana untuk meninggalkan kursi rodamu. Jadi aku bisa modus untuk menggendongmu ke mana-mana. Dengan tegas kakakmu menolaknya. Dia khawatir jika terjadi apa-apa denganmu. Tapi tetap saja kau terjebak denganku dan tubuh indahku ini." Serunya dengan senyum khasnya yang kali ini membuat jantungku berdetak lebih keras. Aku akan amat sangat merindukan senyum khas spesial itu.

"Aku tahu kita belum benar-benar membicarakan soal ini, tapi biarkan kita menikmati liburan dan kebersamaan ini. Setelah ini aku janji akan membicarakan tentang keberangkatanku. Oke...?" Serunya dengan sorot penyesalan dan kesedihan di matanya. Aku mengangguk pelan dan tersenyum ringan ke padanya.

"Kau benar-benar tidak keberatan membawaku seharian seperti ini? Aku hanya takut pinggangmu encok." Seruku.

"Memangnya aku apa? Kakek-kakek? Aku akan baik-baik saja. Lagian tempatmu itu adanya dalam pelukanku. Aku sangat tidak keberatan membawamu seperti ini seumur hidupku." Serunya membuatku tersipu malu. Sudah keberapa kalinya untuk hari ini wajahku memerah akibat perkataannya.

"Drea lihat air di sini jernih!" Teriak Kyla yang sudah berada di dalam air dengan celana panjangnya yang dilipat sampai paha.

"Kita bisa main air nanti. Lebih baik menaruh barang-barang dulu." Usul Aldo.

"Kau punya dendam denganku. Kami baru sampai dan kau sudah menyuruh kami berbalik!" Protes Rafa yang hanya ditanggapi dengan senyuman tanpa dosa.

Pada akhirnya semua orang pergi meninggalkan aku dan Rafa berdua di pantai. Entah karena mereka memang baik mau membiarkan kami berdua di sini, mengingat Rafa yang sebentar lagi akan pergi. Atau mereka memang sengaja meninggalkan kami berdua di sini. Apapun itu aku senang bisa menghabiskan waktu banyak dengan Rafa.

Melihat ombak yang beralun dengan tenang di sekitar kami membuatku ingin merasakan hangatnya air laut. Aku memutuskan untuk ikut yang lain ke dalam untuk makan dan juga berganti baju berenang. Kami hanya memakan mie instant karena terlalu malas untuk memasak. Lagian rencananya malam ini kita akan mengadakan barbeque.

Setelah makan aku kembali memakai kursi rodaku. Dengan segera aku mengambil tasku dari tumpukan tas yang di taruh di dekat pintu masuk. Ternyata sedari tadi tidak ada satu pun yang berinisiatif untuk meng-unpact barang-barang.

Sementara aku bersemangat untuk menjelajahi pantai, hampir semua temanku bermalas-malasan di atas sofa besar di depan televisi. Hanya Sira yang ikut mengganti baju denganku. Kyla dan para lelaki malah mencari film yang bagus untuk ditonton. Sepertinya mereka kelelahan akibat perjalanan yang panjang. Aku kasihan dengan kakak dan Alex yang menyetir sejak tadi. Aku tidak dapat menyangka kakak dapat bergaul akrab dengan teman-teman yang lainnya, apalagi dengan Aldo. Biasanya selama ini teman-temanku ketakutan dengan keberadaan kakak.

"Raf.... Temenin ke pantai." Rengekku kepadanya, sementara dirinya sibuk berdebat dengan Tio mengenai film.

"Raf!" Teriakku sambil memukul pahanya keras-keras. Dia masih berdebat dengan Tio dan baru menanggapiku setelah dirinya mengaku kalah dari Tio.

"Ya bubblegum?" Tanyanya tanpa merasa bersalah.

"Temani aku ke pantai. Aku ingin merasakan air laut." Seruku sambil memukul pahanya kesal. Dia mencubit ke dua belah pipiku gemas.

"Baiklah apa yang tuan putri mau, akan aku lakukan." Jawabnya sambil tersenyum dan mendorong kursi rodaku menuju pintu.

"Kau tidak mengganti baju? Bagaimana aku bisa masuk ke dalam air? Kalau tenggelam bagaimana? Kalau terbawa ombak?" Tanyaku khawatir. Aku tidak pernah berada di air.

"Tenang, tenang. Aku sudah memakai celana berenang saat kau mengganti bajumu." Jawabnya sambil berjalan ke depanku untuk menggendongku.

"Sudah siap tuan putri?" Tanyanya yang di jawab dengan anggukanku. Rafa mengangkat tubuhku dengan cepat dan refleks aku mengalungkan tanganku kuat-kuat di lehernya.

Kami pun berjalan ke arah pantai meninggalkan yang lainnya tergeletak di atas sofa. Rafa bertelanjang kaki untuk menikmati hangatnya pasir pantai. Hangatnya matahari sore dan angin yang bertiup lembut membuatku menutup mataku menikmatinya. Saat aku merasa Rafa berhenti, aku membuka mataku dan menyadari sepasang mata itu telah memperhatikanku sejak tadi. Kedua pipiku kembali menghangat.

Aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pantatku dan saat menyadarinya Rafa telah membawaku ke dalam air. Aku yang terkejut dan takut berteriak keras di dekat telinga Rafa dan mengencangkan pelukanku di lehernya.

"Kenapa kau membawaku ke tengah laut!" Seruku panik.

"Drea kau berteriak di dekat telingaku dengan sangat keras. Lagian kau kan yang meminta untuk membawamu ke dalam air." Ujarnya membuatku merasa bersalah. Aku mencium ke dua telinganya dan membisikan maaf. Dia tersenyum dengan lebar melihat tingkahku.

"Nah, karena kau sudah di sini haruskah aku merendahkan tubuhku agar kau merasakan sejuknya air laut?" Serunya. Aku mengangguk enggan.

Dirinya berjalan semakin jauh dari bibir pantai, membuat setengah badanku berada di dalam air. Ombak yang menyapu dengan lembut menimbulkan sensasi unik yang tidak pernah ku rasakan. Sepertinya aku jatuh cinta dengan pantai.

Aku merenggangkan tangan kananku jauh-jauh untuk merasakan air dan bermain denga arus ombak yang ada, sementara tangan kiriku terkunci kuat di sekitar leher Rafa. Aku terkejut saat Rafa melepaskan salah satu tangannya dari tubuhku, membuatku mengalungkan ke dua tanganku erat di lehernya. Dia tertawa melihat ketakutanku, hal itu bahkan tidak pantas untuk menjadi bahan tertawaan.

"Tenang saja bubblegum aku tidak akan menjatuhkanmu." Tanpa ku duga Rafa mencipratkan air ke arah mukaku. Membuat mulutku merasakan asinnya air laut. Aku tidak pernah tau bahwa air laut seasin ini.

"Awas kau ya!" Teriakku dengan iringan tawa besar. Aku mencipratkan air dengan cepat ke arah mukanya. Dia tertawa melihat aksiku yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap dirinya. Aku hanya bisa menggembukan pipiku kesal.

"Dre, tutup mata dan tahan nafasmu." Bisik Rafa pelan di telingaku. Aku tidak bertanya lebih lanjut dan memilih untuk mempercayainya.

Dirinya menurunkan tubuhnya dengan perlahan ke bawah laut. Membuatku merasakan air yang semakin lama semakin dekat dengan kepalaku. Aku langsung menahan nafas dan munutup mataku saat menyadari jika air akan menutupi kepalaku.

Sejuknya air laut dapat kurasakan di seluruh bagian badanku. Gerakan air laut yang berlawanan dengan arah Rafa berenang, membuat efek menggelikan di sekujur tubuhku. Saat nafasku hampir habis aku menepuk pundak Rafa, menyuruhnya untuk keluar dari air.

"Kereeen...." Ujarku dengan senyum yang lebar. Rafa membalasnya dengan kecupan singkat dan kekehan pelan.

Seharian ini aku menghabiskan waktu menempel di punggung Rafa sementara dirinya berenang ke sanah ke mari. Kami bahkan mengadakan beberapa lomba bersama teman yang lain dan bermain bersama sampai malam di dalam air. Kami baru selesai setelah kakak memarahiku untuk tidak berlama-lama di air.

Setelah selesai mandi dan berganti baju, para lelaki menyiapkan api unggun dan juga alat pembakaran untuk berbeque. Sementara kami, para wanita, sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dipanggang. Setelah semua selesai, kami mengeliligi api unggun dan duduk bersama. Kami para perempuan bergelayut manja dengan para cowoknya, sementara Aldo dan kakak duduk bersebelahan. Canda tawa dan cerita mengenai masa-masa kami di SMA menjadi topik pembicaraan kami.

"Aku akan kangen base camp kita." Seru Tio.

"Base camp, maksudmu apartmentku yang selalu kalian invansi!" Geram Rafa kesal.

"Sudahlah Raf, lagian pada akhirnya kau tidak pernah protes dengan kedatangan kami." Kekeh Aldo.

"Aku masih inget muka melongo ke dua cewek bodoh saat melihat base camp." Celetuk Alex.

"Siapa yang kau bilang bodoh!" Protes Kyla yang ada di sebelahnya dan langsung menarik ke dua telinganya dengan keras. Kami semua tertawa melihat muka Alex yang meringis ke sakitan.

Aku menyenderkan badanku ke arah Rafa, dirinya semakin mempererat pelukan. Sementara yang lain sibuk mengobrol, aku mengamati teman-temanku satu persatu. Aku akan sangat merindukan saat-saat ini. Entah kapan kita akan berkumpul bersama lagi seperti ini.

"Mau membicarakan soal keberangkatanku?" Bisik Rafa di telingaku dengan enggan. Aku tahu pembicaran ini tidak bisa ditunda lebih lama, tapi tetap saja masih sangat menyakitkan ketika mengingat kepergiannya.

Aku tersenyum lemah dan menganggukan kepalaku. Ingin sebenarnya berpura-pura dirinya akan tetap di sini. Aku menyembunyikan kepalaku di dada bidangnya. Aku memeluknya semakin keras, menyatakan ketidak inginanku.

"Aku tidak ingin kau pergi." Bisikku pelan. Aku dapat mendengar helaan nafas panjang dan merasa dirinya memelukku semakin erat.

"Begitu juga dengan diriku, Dre. Tapi aku bisa apa? Semua orang tuaku mendukung untuk berkuliah di Sidney sambil memperlajari bisnis ayah. Bahkan papah pun setuju untuk hal ini. Aku yakin kita akan baik-baik saja bukan?" Bisiknya pelan. Aku mengangguk pelan di dalam dekapannya.

"Kau benar-benar ingin pergi? Karena aku yakin jika kau tidak ingin pergi, kamu akan bersikeras untuk tetap di sini." Gumamku pelan.

"Aku sudah mempertimbangkan semuanya, Dre. Kau tahu aku tidak akan pernah memilih untuk meninggalkanmu seperti ini hanya untuk hal sepele. Percaya padaku untuk hal ini, karena bukan hanya aku saja yang butuh untuk pergi, tapi ayah dan mom sangat berharap jika aku bisa pergi."

"Kau tahukan jarang sekali mereka bersepakat untuk suatu hal. Namun untuk kasus ini mereka berdua berkeras kepala untuk hal ini." Ucap Rafa sambil terkekeh pelan. Aku tidak menanggapi leluconnya, menyadari itu dirinya mengecup keningku dan membawa mukaku untuk menatap mata indahnya.

"Andrea.... Aku mencintaimu, sangat-sangat mencintaimu. Mungkin kau belum memikirkan mengenai kita terlalu jauh dan hanya menikmati momen yang ada, namun bubblegum, kau tahu jika kita benar-benar serius mengenai ini semua, bukankah lebih baik jika aku pergi?" Serunya berbisik dengan keseriusan di matanya. Aku bisa melihat matanya yang penuh dengan cinta dan kebulatan tekad.

"Aku akan merindukanmu. Ini akan berat untukku Raf." Bisikku dan melepaskan pandanganku dari matanya. Dirinya menarik kepalaku kedalam ceruk lehernya. Menghirup aromaku dalam-dalam, dan berbisik di telingaku.

"So do I, bubblegum, so do I. Namun kita akan baik- baik saja, seperti yang kau bilang."

"Janji kita akan selalu berhubungan setiap saat?" Ucapku sambil mengeluarkan jari kelingkingku. Dirinya terkekeh pelan sambil mengaitkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum dan kembali mendekap tubuh hangatnya. Menghirup aroma maskulin yang akan selalu aku rindukan, sambil kembali bercengkrama dengan yang lain.

Waktu semakin larut, satu persatu dari teman kami masuk ke dalam villa untuk tidur. Menyisakan aku dan Rafa yang menikmati indahnya bintang. Aku menahan kantukku untuk tetap dapat bersama dengannya.

"Kapan kau akan berangkat?" Tanyaku pelan sambil mengalihkan pandanganku menatapnya.

"24 Agustus, itu berarti 44 hari, 1056 jam, 63360 menit, dan 3801600 detik lagi. Aku selalu menghitung setiap detik kebersamaan kita."

"Setiap detik akan terasa cepat berlalu dan saat kau pergi aku yakin waktu akan serasa berhenti untukku." Bisikku sambil memeluk leher jenjangnya itu.

"Bersabarlah untukku. Setelah kuliahku selesai kita akan bersama lagi. Entah aku akan membawamu ke sanah atau aku akan tetap di sini bersama mu. Aku berjanji akan menuntaskan kuliahku secepat mungkin." Ucapnya dan mendekapku semakin dalam.

"3 tahun.... Berjanjilah untuk bisa menyelesaikannya dalam 3 tahun. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa menahan lebih dari itu." Bisikku membuat dirinya terkekeh dan mencium pundakku.

"Baiklah, 3 tahun. Aku akan menyelesaikannya dalam 3 tahun. Asalkan kau berjanji untuk tidak marah atau menangis saat aku mengecewakanmu dalam segala hal. Aku tidak akan bisa berjanji untuk bisa selalu kembali di setiap liburan maupun ulang tahun. Aku akan sangat disibukkan dengan urusan bisnis ayah dan juga kuliahku. Oleh karena itu bubblegum aku mohon dengan sangat jangan meneteskan air mata untukku, aku ingin kau selalu bahagia. Selalu tersenyum untukku dengan hati yang bergembira." Aku menarik diriku dari dekapannya.

"Tidak satu tetes air mata pun?" Dirinya menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana jika aku sangat-sangat sedih dan merindukanmu hingga aku tidak bisa lagi membendung air mataku?" Seruku dengan suara bergetar. Mengingat dirinya yang tidak ada lagi di sampingku setiap saat yang selalu dapat kuandalkan. Selalu memarahiku demi kebaikanku. Mendorongku untuk maju. Selalu ada di belakang untuk menjaga dan membackup diriku. Seorang yang selalu membuatku tersenyum. Seseorang yang selalu menempatkan dirinya diatas diriku. Seseorang yang datang mendekatiku dan mengajariku untuk mempercai seseorang lagi. Seseorang yang memberikan sepenuh hatinya kepadaku. Seseorang yang mengajarkanku berbagai macam hal dan sekarang seseorang itu akan pergi dari hadapanku.

Aku sama sekali tidak dapat membayangkannya. Siapa yang akan mengalihkan perhatianku saat aku terlalu takut dengan pandangan orang sekitar. Siapa yang akan memelukku dengan erat ketika air mata menetes dengan deras dipipiku. Siapa yang akan menjadi kakiku ketika aku takut untuk melangkah.

Saat ini aku dapat melihat mata indahnya berkaca-kaca, namun tetap saja dia menahan semua itu dan menghapus air mata yang terjatuh dengan deras dari mataku. Dirinya mendekapku kembali kedalam pelukannya dan mengusap rambutku pelan.

"Bubblegum.... Ssssh.... It's okay baby. It's okay...." Bisiknya dengan suara bergetar.

"Kita akan baik-baik saja sayang. Kau tahu jika hati ini sudah tersegel dan hanya kau yang bisa membukanya. Tidak peduli dimanapun aku berada hati ini akan selalu menjadi milikmu, merindukanmu dan memikirkanmu setiap saat." Ucapnya sambil membuatku melihat kedalam matanya yang di penuhi dengan cinta dan kejujuran terhadapku.

"I love you...." Bisikku kepadanya. Dirinya menatap dalam mataku dan membawa kepalanya mendekat dengan perlahan ke arahku. Kami melakukannya lagi untuk yang ke dua kalinya. Namun yang kali ini berbeda. Ciuman kami di penuhi dengan keputusasaan, cinta yang mendalam dan rasa possesive akan satu sama lain. Ciuman ini lebih dalam dan intense. Sebuah ciuman perpisahan yang akan aku ingat selama 3 tahun ke depan.