~Rafael ~
Sesampainya di apatermenku Aldo langsung mengambil kotak P3K dan mengobati lukaku dan Alex. Alex sudah beberapa kali meringis kesakitan akibat obat yang dioleskan Aldo. Sementara menunggu giliranku, aku berbaring di atas sofa untuk mengembalikan tenagaku. Tidak terasa mataku terpejam akibat aku memaksakan tubuhku untuk bekerja di luar batasku. Aku masih sempat mendengar beberapa percakapan
"Do Revan tertidur." Seru Tio.
"Biarkan saja. Dia sudah melebihi batas kemampuannya." Kata Aldo sebelum aku benar-benar kehilangan ke sadaranku dan masuk ke dunia mimpi.
Aku terbangun ketika matahari mulai menyembunyikan dirinya. Seketika aku memikirkan tentang Drea. Aku kembali menutup mataku dengan lenganku dan tersenyum kecil. Aku tahu aku telah memecahkan kaca itu berkeping-keping, namun dia masih tetap memperhatikanku. Dia tetap seseorang yang peduli terhadap orang di sekitarnya.
"Hari ini benar-benar melelahkan bukan?" Tanya Aldo yang duduk di depan sofa.
"Sangat." Seruku sambil menghela nafas panjang.
"Kau benar-benar melampaui batas kemampuan fisikmu Rev. Jika begini kau akan melukai dirimu sendiri." Serunya membuatku tersenyum pelan.
"Thanks for being there man." Seruku sambil memukulnya pelan.
"Kau masih berhutang penjelasan kepada kami." Katanya mengingatkan.
"Biarkan aku mandi dulu." Seruku sambil berjalan ke arah kamar.
Aku memilih menggunakan air dingin karena badanku sangat kepanasan dan sangat lengket sekarang ini. Sesudah memuaskan diri membasuh diriku, aku segera keluar dan berganti pakaian. Ketika aku kembali ke teman-temanku, aku melihat mereka semua sudah ada di meja makan dan menyiapkan makanan dan juga minuman untukku. Jarang sekali mereka berbaik hati seperti ini.
"Setidaknya sekarang kau tidak bau keringat lagi!" Ledek Tio sambil menutup hidungnya membuat yang lainnya terkekeh pelan. Aku tidak menjawab dan langsung menuju kursiku.
"Tumben sekali kalian berbaik hati padaku seperti ini." Kataku menggoda mereka.
"Kau pantas mendapatkannya. Hari ini aku terlalu keras kepadamu." Seru Alex membuatku berdecak kesal.
"Hei itu terjadi karena seluruh tenagaku sudah habis karena basket." Seruku membela diri.
"What ever!" Serunya sambil memutar matanya. Aku hanya terkekeh pelan melihatnya.
"Oh God! I'm starving!" Seruku kelaparan.
Aku pun mengalihkan perhatian dari ketiga temanku kepada makanan yang sangat menggiurkan di depan. Aku langsung menyikat habis karena aku benar-benar lapar. Seluruh kegiatan hari ini membuat cacing-cacing di perutku berteriak minta makan.
Setelah selesai menyikat habis seluruh makanan, bahkan sampai menambah beberapa kali, kami pun berbincang sebentar di dapur. Seperti biasa kami langsung menuju sofa dan mulai membicarakan mengenai kejadian ini.
Mereka memberitahuku bagaimana Drea menceritakan rahasianya. Mereka tidak menyangka jika Drea lumpuh dan teka-teki yang selama ini berusaha kita pecahkan, terpecahkan dengan sendirinya. Aku pun mulai menceritakan kepada mereka bagaimana aku mengetahuinya dan mengenai masa lalu dirinya dan juga phobianya.
"Wow.. Kau sangat pintar menyembunyikan rahasia Rev. Kau mengetahui semuanya ini namun kami sama sekali tidak mengetahuinya." Kata Tio memujiku.
"Sebenarnya Aldo dan Alex mengetahui sebagian kecil dari ini semua." Elakku.
"Tapi tetap saja kau hanya memberitahu kami secuil informasi yang tidak terlalu berarti." Keluh Alex kesal.
"Kau menganggapnya tidak berarti tapi sebenarnya kau sudah memberiku sebuah saran agar menjauh dari Drea dan menyebabkanku mengetahui semuanya ini." Jawabku.
"Kau tidak bisa mengeluh lagi Lex." Ledek Aldo sambil tersenyum puas.
"Baiklah kami sudah mengerti semuanya tentang Drea sekarang. Namun satu hal yang tak kumengerti mengapa kamu tidak mau mendengarkan penjelasannya dan pergi begitu saja?" Tanya Aldo sambil menatapku tajam. Mendengar pertanyaannya membuatku menghela nafas panjang.
"Mungkin kalian belum tahu, namun aku memiliki rahasia kecil yang belum pernah kubuka kepada siapapun." Kataku sambil menegakkan badanku memperhatikan mereka.
"Apalagi ini?! Tadi Drea sekarang kau!" Seru Tio sambil berdecak kesal.
"Aku benar-benar tidak percaya kau juga merahasiakan sesuatu dari kami." Seru Aldo kecewa. Sementara Alex diam tidak berkomentar dan melihatku dengan tatapan sinisnya kepadaku.
"Baiklah kalian mau mengejekku terus atau mendengarkannya?" Tanyaku serius. Semuanya pun terdiam mendengar kata-kata dingin keluar dari mulutku. Mereka sama sekali belum pernah melihatku berkata dingin seperti itu dan kupikir aku berhasil membuat mereka terkejut.
"Aku punya masalah dengan ayah kandungku. Jika kalian berpikir suami ibuku adalah ayahku. Bukan. Aku memiliki dua ayah." Seruku mulai menceritakannya.
"Aku mengerti perasaanmu Lex. Ayahku juga tidak pernah ada untukku. Kau masih beruntung setidaknya dia pernah peduli padamu saat kau kecil. Ayahku tidak pernah peduli padaku dan mom sama sekali." Aku dapat melihat pandangan Alex yang terluka ketika aku kembali menyebutkan ayahnya. Namun setidaknya dia mengetahui dirinya tidak sendirian.
"Masa kecilku selalu dihabiskan dengan pertengkaran kedua orang tuaku. Hingga suatu saat ibuku menemukan pria yang dicintainya. Akhirnya dia selingkuh dengan pria tersebut, ayahku yang mengetahuinya sama sekali tidak berbuat apa-apa. Aku tidak dapat menyalahkan mom, dad adalah orang yang bisa membuatnya tersenyum lagi. Selama ini aku selalu tersiksa mendengar mom menangis di tengah malam karena pria tua menyebalkan itu. Pertengkaran mereka semakin menjadi-jadi saat mom menemukan dad dan akhirnya mereka bercerai. Dan itulah kenapa aku membencinya. The end." Seruku sambil tersenyum kepada mereka.
Ketiga temanku terdiam mendengar penjelasanku yang sangat singkat itu. Aku tidak mau berlama-lama mengingat kenangan yang menyakitkan itu. Tio menatapku dengan tatapan simpati dan kasihan, sementara Aldo hanya menganggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan Alex menundukan kepalanya dan sama sekali tidak berani menatapku.
"Dan hubungannya dengan Drea?" Tanya Tio memecah kesunyian.
"Dia muncul di depanku saat aku keluar dari mall. Entah apa yang pria tua itu pikirkan untuk menemuiku. Emosiku menjadi tidak terkendali saat itu, namun aku masih tetap peduli pada Drea saat mengingat dirinya sedang menghadapi ketakutan terbesarnya sendirian." Tuturku.
"Dan saat dirinya yang tiba-tiba ingin mengungkapkan semuanya membuatku menjadi panik. Dengan emosiku saat itu aku pikir aku tidak bisa mempercayai diriku sendiri untuk menolongnya dan bisa menenangkan dirinya saat memori-memorinya mulai bermunculan. Aku memilih lari dari itu semua layaknya seorang pengecut dan hasilnya aku melakukan perbuatan yang selama ini selalu aku takutkan." Seruku mengakhiri kata-kataku.
"Such an idiot person!" Makiku kepada diriku sendiri.
Setelah penjelasanku keadaan menjadi sangat-sangat sunyi. Aku langsung menyenderkan tubuhku ke sofa dan memejamkan mataku. Aku tahu teman-teman mengerti keadaanku, namun tetap saja aku masih tidak bisa mempercayai diriku melakukan hal bodoh.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan sekarang. Bukan hanya kau yang menyalahkan dirimu sendiri aku juga menyalahkanmu atas semua yang terjadi." Seru Alex dingin membuatku tersenyum kecut.
"Alex benar Rev. Apa yang kau harapkan dari kami saat kau menyalahkan dirimu sendiri? Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri idiot!" Seru Aldo sambil menekankan setiap katanya.
Mendengar hal itu aku tersenyum. Kali ini dengan senyum tulus yang terukir dimulutku. Aku tahu jika teman-temanku tidak akan mengecewakanku. Namun tetap saja aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku tahu aku harus berhenti, tapi setelah itu apa? Aku masih tidak dapat mempercayakan diriku sendiri untuk bersama Drea.
"Rev kalau kau benar-benar menyukai Drea, kau harus tunjukan padanya. Tunjukan kalau kau layak, dan jangan menghindar karena kau meragukan dirimu sendiri." Kata Tio menasihatiku. Nasihat Tio menyadarkanku.
"Dengar ini Rev. Jika seseorang yang sepeduli kamu terhadap Andrea tidak dapat melindunginya bagaimana dengan orang lain? Aku tidak yakin jika ada orang yang lebih baik dari dirimu dalam masalah Drea. Dan kau tahu sendiri jika Drea memilih orang yang salah dan tidak mencintainya, dia akan berakhir seperti ke dua orang tuamu." Tutur Aldo dingin.
Seketika aku terdiam di tempat akibat perkataannya. Membayangkan Drea bersama seseorang di sampingnya benar-benar membuatku marah apalagi membayangkan dirinya menangis seperti ibuku karena seorang pria bodoh. Aku langsung menggeram kesal dan meremas rambut dengan kedua tanganku kesal.
"Walaupun kalian bicara seperti itu aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa pada dirinya." Seruku frusasi.
"Setidaknya dirinya masih peduli padamu." Seru Alex sambil menatapku dengan tatapan kesal membuatku tersenyum kecil ke arahnya.
"Walaupun begitu kau tetap harus mendapatkan kepercayaannya kembali." Timpalnya membuat senyumanku menghilang dari wajahku.
"Jangan menakutinya seperti itu Lex." Kata Aldo menasihati Alex.
"Aku hanya menyatakan faktanya saja." Elaknya sambil mengedikkan kedua bahunya.
"Alex benar. Selain itu jika aku berhasil mendapatkan kepercayaannya lagi dan menghancurkannya tanpa disengaja. Aku yakin aku akan sangat menghancurkannya." Bisikku kepada mereka. Aku benar-benar takut dengan diriku sendiri sekarang.
"Kau itu benar-benar idiot!" Seru Alex kesal.
"Hei Rev bahkan dalam hubunganku yang sempurna dengan Sira, kami masih sering bertengkar dan terkadang aku melukainya. Namun aku tahu dia pasti akan memaafkanku." Kata Tio yang selama ini memainkan handphonenya.
"Kau seharusnya menjalaninya saja bodoh! Ya ampun aku mempunyai teman yang lebih bodoh daripada Tio!" Seru Alex frustasi. Tio yang mendengar itu menatapnya garang dan kembali menatap handphonenya setelah mendapat senyum kuda dari Alex.
"Kau tahu Rev, secara tidak langsung kau meragukan Drea." Kata Aldo sambil menatapku dengan tatapan serius.
"Kau selalu menganggapnya lemah dan sensitif. Tapi aku tahu jauh di dalam sana kau mengetahui jika Drea adalah orang yang kuat dan aku yakin dia telah berubah berkat dirimu juga." Tutur Aldo.
"Berhenti menaruh beban kepada dirimu sendiri." Seru Alex menatapku frustasi.
"Baiklah-baiklah aku mengerti. Bisakah kalian memberi aku waktu untuk membalikkan situasi menjadi seperti semula? Aku masih harus berurusan dengan ayahku dan juga diriku sendiri." Pintaku dan mereka menanggukkan kepalanya.
"Selesaikan masalahnya? Bagaimana kita bermain. Aku lelah dengan semua masalah ini." Keluh Tio membuat aku terkekeh. Tio memang tidak menyukai pembicaraan serius, dia selalu mengganggunya dengan candaan-candaannya. Untung saja kali ini dia dapat menahan mulutnya karena dia tahu betapa aku membutuhkan perbincangan ini.
"Baiklah mari kita bermain bocah besar." Ledek Alex membuat Tio melepaskan handphonenya dan menyerangnya. Mereka berdua sangat kekanak-kanakan.
"Kau sudah tidak apa-apa sekarang?" Tanya Aldo sambil memukul pelan bahuku.
"Yah begitulah." Jawabku sambil tersenyum kecil.
Setidaknya sekarang aku mengerti apa yang harus kulakukan kedepannya. Walau begitu aku memerlukan waktu untuk menyerap ini semua dan menerimanya, tidak lupa untuk berhenti menyalahkan diriku sendiri. Sepertinya aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa Dreaku sudah berubah. Dia tidak akan takut untuk bersosialisasi lagi dan dapat mempercayai teman-temanku. Aku tahu akan berat untuk membuatnya percaya padaku lagi, tapi aku tidak akan menyerah. Setidaknya apa yang akan kudapat nanti diujungnya sepadan dengan perjuanganku bahkan mungkin lebih.
Sebelum memulai perjuanganku untuk mendapatkan kepercayaannya kembali, aku harus menenangkan diriku sendiri. Aku harap selama itu dia tidak kemana-mana dan tetap menjadi seperti yang kuinginkan. Aku tahu aku egois, namun aku benar-benar berharap dirinya bisa menjadi milikku.