~Rafael ~
Kemarin Andrea tidak masuk sekolah. Aku sangat khawatir akan dirinya, namun aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya berharap dirinya baik-baik saja. Tidak dapat dipungkiri jika dari kemarin seluruh hariku, aku memikirkan Andrea dan juga kesalahan terbesar yang pernah kubuat. Seharusnya aku dapat mengontrol emosiku kemarin dan bukannya lari seperti pecundang. Setidaknya hanya ada untuk mendengarkan ceritanya dapat merubah segalanya. Aku benar-benar menyesali keputusanku sekarang.
"Hei Rev!" Sapa Alex ketika melihatku di pintu gerbang sekolah. Aku hanya menjawabnya dengan menolehkan kepalaku saja.
"Sejak tadi kupanggil baru nengok sekarang. Ada apa lagi denganmu, dari kemarin kau terlihat sangat gloomy dan Andrea pun tidak masuk. Yang lain bertanya pun kau diamkan." Keluh Alex sambil berjalan bersamaku menuju kelas.
Aku menghembuskan nafas panjang mendengar Alex kembali mengungkit mengenai kemarin. Aku tidak tahu apakah Andrea hari ini akan masuk atau tidak. Namun aku benar-benar belum bisa berhadapan dengannya. Aku pun mengabaikan pertanyaan Alex dan berjalan cepat meninggalkannya menuju kelas.
Saat sampai di kelas aku terkejut saat mendapati dirinya telah duduk di kursinya, dan seperti biasa dia menggunakan headset dan juga membaca novelnya. Aku menghela nafas panjang. Kalau seperti ini jadinya aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa dengannya. Aku mengabaikannya dan langsung duduk di kursiku. Aku menyadari dirinya sempat melihat ke arahku. Namun aku bisa apa? Aku sudah terlanjut menyakitinya dan aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk mengembalikan keadaan menjadi normal.
Tak hanya Drea yang sempat menatapku, aku menyadari Aldo dan Alex pun menatapku dengan tatapan menyelidik. Aku tahu, aku mungkin orang terbodoh di dunia. Aku menyadari bahwa aku hanya tinggal minta maaf saja. Namun tetap saja hal itu tidak semudah yang diucapkan. Belum lagi kenyataan aku telah menyakitinya. Aku harus berpikir ulang untuk meminta maaf kepadanya.
Apakah aku layak untuk mendapatkannya? Itulah yang sejak kemarin aku tanyakan kepada diriku sendiri. Jika aku hanya dapat melukainya seperti itu, aku benar-benar tidak layak mendapatkannya. Dia terlalu berarti daripada keegoisanku sendiri.
Sepanjang pelajaran aku hanya bisa diam memikirkan segalanya tentang Drea. Saat istirahat aku mencoba menjalani hari seperti biasa dan pergi ke kantin bersama teman-temanku, namun tetap saja aku takut jika dirinya datang dan menemuiku di sini.
"Rev... Sejak kemarin kamu seperti ini. Ada apa denganmu?" Tanya Aldo khawatir.
"Tidak apa. Aku hanya ada masalah dengan diriku sendiri. Kalian tidak perlu mencemaskanku." Jawabku membuat ketiga temanku membuang nafas panjang. Aku tahu mereka telah menduga jika aku menjawab seperti ini. Sebelum mereka sempat bertanya lebih lanjut aku langsung mencegah hal itu terjadi.
"Bisakah kalian tidak bertanya untuk sementara? Aku akan menghargainya." Pintaku. Mereka pun hanya menganggukan kepalanya untuk menjawabku. Mereka pasti sangat penasaran, namun mereka tetap menghargai keputusanku. Kami pun makan dalam diam tidak seperti biasanya.
Saat kami sedang makan bersama seperti biasa, tiba-tiba Kyla datang dengan mata yang berkaca-kaca. Sontak Alex yang melihatnya langsung memeluknya dan menaruh tubuhnya di pangkuannya. Tentu saja hal ini mendapat perhatian dari orang-orang di sekitar kami. Seperti biasa Aldo mencegah sesuatu yang akan kami sesali, dia pun memerintahkan kami untuk ke lantai tiga agar Kyla dapat menceritakannya dengan leluasa tanpa perlu menarik perhatian banyak orang.
"Ada apa Kil...?" Tanya Alex lembut. Kyla pun mencoba menarik nafas panjang mencoba untuk menetralkan nafasnya.
"A..Aku tidak tahu apa yang salah dengan diriku tapi sepertinya Andrea marah kepadaku. Sepanjang hari ini dia mendiamkanku dan memintaku pergi menjauhinya. Aku mencoba menanyakan apa yang salah dengan diriku namun dirinya hanya diam dan kembali mengabaikan diriku. Sepertinya aku telah melakukan sesuatu yang jahat kepadanya tanpa aku sadari." Serunya ditengah-tengah isakan tangisnya.
Perkataan Kyla benar-benar berhasil menampar diriku. Aku langsung terdiam mendengarnya. Aku pikir tindakanku hanya akan merusak hubungan aku dan dia, namun ternyata itu berimbas kepada hubungannya dengan teman-teman yang lain juga. Secara tidak langsung aku telah memutuskan hubungan persahabatan kami.
"Oke baiklah karena masalahnya lebih parah daripada yang aku kira, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Revan sebenarnya ada apa dengan kalian berdua?" Tanya Aldo frustasi. Pertanyaanya berhasil membuat semua mata tertuju padaku.
"Dan jangan mencoba untuk mengelak. Jika seperti ini terus semua persahabatan yang kita bangun selama ini akan menjadi sia-sia." Seru Aldo. Aku menghela nafas panjang. Haruskah aku memberitahukannya? Kurasa tidak, sekarang aku sama sekali tidak berhak untuk angkat bicara mengenai rahasia yang selama ini disembunyikannya.
"Lex, Do, kalian tahu rahasia yang selama ini disimpan Drea kan?" Tanyaku dan mereka berdua langsung menganggukan kepalanya secara cepat dan kompak.
"Aku mengetahuinya. Dan saat dia menjelaskannya tanpa disengaja aku menyakitinya seperti yang aku takutkan selama ini." Jelasku singkat.
"Maksudmu apa?" Tanya Kyla dengan tubuh yang lebih rileks.
"Sebaiknya kalian tanyakan sendiri kepada Andrea karena bukan hakku untuk menceritakan semuanya." Tuturku.
"Aku sama sekali tidak mengerti." Seru Tio.
"Sebaiknya kalian dengarkan dulu penjelasannya saat ini. Aku percaya kalian tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti yang aku perbuat, namun aku minta jangan terlalu mendesaknya." Aku pun mengulang perkataanku.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Rev." Seru Aldo.
"Aku telah merusak kepercayaannya, oleh karena itu tidak akan mudah menuntut penjelasan darinya. Bilang kepada Drea untuk menjelaskan semuanya karena itu bukan hakku untuk membicarakannya. Dan bilang kepadanya bahwa dirinya bisa mempercayai kalian. Kalian akan menerima semuanya dan apapun yang keluar dari mulutnya jangan mengasihani atau pun memandang rendah dirinya. Pikirkanlah perasaannya, kumohon." Seruku.
"Wow tunggu! Maksudmu kau menyakitinya sampai seperti ini? Aku benar-benar tidak bisa mempercayainya Rev. Kau sedang bercanda kan?" Tanya Alex kepadaku membuatku frustasi.
"Bisakah kalian diam dan hanya menuntut penjelasan darinya. Setelah dirinya menjelaskan semua itu kalian akan mengerti betapa brengseknya diriku." Seruku dan langsung pergi meninggalkan mereka.
Bahkan untuk mengakui kesalahanku kepada teman-temanku sendiri aku tidak berani. Betapa pengecutnya diriku! Aku benar-benar tidak tahan dengan diriku sendiri.
Tanpa pikir panjang aku langsung pergi ke ruang basket dan bermain di sana. Saat ini aku tidak peduli apapun. Ingin rasanya memukuli diri sendiri, namun aku bisa apa. Yang bisa kulakukan saat ini adalah menumpahkan seluruh emosiku dalam bermain basket. Aku sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada mereka sekarang. Aku hanya berharap mereka bisa memperbaiki kerusakan yang telah kuperbuat. Menyatukan kepingan kaca yang dengan bodohnya aku pecahkan.
Aku terus bermain basket tanpa henti. Aku tidak tahu berapa lama aku bermain karena selama bermain aku hanya berfokus kepada seluruh penyesalan yang ada di kepalaku. Untung saja hari ini lapangan basket indoor tidak dipakai sama sekali. Jadi setidaknya aku bisa memakainya dengan leluasa untuk diriku sendiri. Beberapa kali bel berbunyi dan baru saja aku mendengar bel pulang berbunyi.
Aku tahu aku mengabaikan tugasku sebagai seorang murid dan ketua kelas, tapi apa daya, hari ini aku benar-benar memerlukan suatu hal untuk melampiaskan segala yang ada dipikiranku. Walaupun aku memaksakan untuk memenuhi kewajibanku aku yakin aku hanya akan menghancurkannya saja. Terlebih lagi aku tidak sanggup berhadapan dengan teman-temanku terlebih dirinya.
Sampai saat ini aku baru mengistirahatkan diriku selama beberapa menit. Mungkin hari ini akan menjadi rekor terlama aku bermain basket. Seragamku sudah sepenuhnya basah dengan keringat. Aku tahu memakai seragam saat bermain hanya akan membuatku tidak nyaman. Tapi aku benar-benar tidak peduli, yang ada di pikiranku hanyalah melampiaskan semuanya ini.
Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam lapangan basket indoor. Aku tidak tahu sudah berapa lama semenjak bel pulang sekolah itu berbunyi. Aku mengabaikannya karena aku berpikir salah satu murid datang ke sini karena memerlukan sesuatu.
Saat aku sedang mendribell bolaku tiba-tiba saja sebuah tangan menarikku dan sebuah pukulan telak mendarat di pipiku. Aku tersungkur kebelakang karena serangan mendadak ini. Saat aku melihat pelakunya ternyata dia adalah Alex. Sekarang aku tahu jika mereka berhasil membuat Andrea percaya kepada mereka dan menceritakan semuanya. Aku hanya bisa tersenyum lega sekarang.
"Kau brengsek!" Seru Alex sambil menarik kerah bajuku dan memukulku lagi. Aku tidak melawan dan menerima semua pukulan darinya karena ini yang aku perlukan.
"Apa yang kau pikirkan saat meninggalkannya sendirian hah!" Serunya marah sambil menghempaskan satu pukulan lagi di wajahku.
"Kau telah menyia-nyiakan semua kepercayaan yang telah dia berikan." Katanya sambil memukulku. Aku tahu jika mukaku sudah penuh dengan luka sekarang.
"Setidaknya lawan aku brengsek!" Serunya lagi sambil menendangku tepat di perut.
"Dasar pengecut." Serunya.
"Selama ini kau tidak pantas buat dirinya. Kau tidak ada apa-apanya. Menjauhlah darinya kau sampah!" Lanjutnya dan dirinya benar-benar berhasil memancing emosiku. Aku berdiri dari tempatku dan langsung membalasnya dengan meninjunya. Tubuhnya tersungkur kebelakang karena serangan mendadak dariku.
"Kau tahu! Kau tidak mengetahui cerita sepenuhnya." Seruku marah sambil memukulnya lagi. Dia pun mengelak dan membalas memukulku.
"Setidaknya kau harus menceritakannya bodoh!" Serunya kesal dan memukulku lagi.
"Kau menganggap kami apa hah!" Serunya marah dan kembali memukulku namun aku sempat mengelak dan memukulnya balik.
"Idiot!" Teriakku sambil memukulnya dengan lebih keras. Dia terjatuh ke lantai dan aku langsung menahan tubuhnya dengan tubuhku. Aku langsung menghujaninya dengan tinjuan tepat dimukanya. Dia langsung menghadangnya dengan kedua tangannya.
Dia pun menahan tanganku dan membalikanku sehingga sekarang tubuhnya ada di atasku. Aku mencoba memberontak dan berhasil. Aku terlepas dari cengkramannya dan bangkit. Sebelum dirinya sempat bangkit aku langsung menendangnya. Dia pun terdorong ke belakang dan aku langsung mendekatinya. Dia pun bangkit dan langsung meninju mukaku.
Perkelahian ini terus terjadi. Sepertinya Aldo dan Tio sedang menjaga pintu masuk lapangan basket ini, sehingga tidak ada satupun orang yang melihatnya dan melaporkannya kepada guru. Sejujurnya ini perkelahian pertamaku semenjak aku berada di sini. Aku benar-benar marah saat dirinya mengatai diriku seorang pengecut dan sampah yang harus menjauh dari Drea. Memang itu benar dan aku mengakuinya. Namun saat kata-kata itu keluar dari mulut orang lain aku tidak tahan dengannya. Siapa dirinya, dia tidak mengetahui berapa banyak usaha yang aku lakukan demi diri Andrea.
Setelah bertengkar aku dan Alex pun terbaring di lantai dengan tenaga yang benar-benar terkuras habis. Terutama diriku. Hanya ada deru nafas kami yang terdengar di seluruh penjuru ruangan. Aku pun menutup mataku dan mulai merasakan rasa sakit dari pukulan-pukulan Alex di sekujur tubuhku.
"Hei Rev! Tidak bisa kah kau sedikit terbuka dengan kami." Seru Alex sambil mencoba menetralkan nafasnya.
"Aku berhutang penjelasan terhadapmu." Seruku. Ruangan pun kembali di penuhi dengan deru nafas kami. Tak lama kemudian pintu terbuka dan aku bisa melihat Aldo dan Tio memasuki ruangan dan menutup pintu.
"Woah Lex kau sepertinya berhasil menghajarnya habis-habisan." Seru Tio yang ikut berbaring di sebelahku.
"Tentu saja!" Seru Alex bangga.
"Hey aku kalah karena tenagaku habis untuk bermain basket seharian ini." Elakku. Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel di mukaku. Aku pun merintih karena hal itu mengenai lukaku. Pelakunya adalah Aldo, dirinya menempelkan minuman isotonik di pipiku.
"Maaf." Seru Aldo singkat dan menyerahkan minuman itu. Dia mengulang hal yang sama kepada Alex.
"Kau sudah tenang sekarang?" Tanya Aldo dengan serius. Aku hanya menanggukan kepalaku menjawabnya.
"Kau tahu Drea masih mengkhawatirkanmu saat dirinya mengetahui kau bertengkar dengan Alex." Tuturnya membuatku terdiam.
"Dia sempat melihatmu dipukuli oleh Alex. Dia ingin melerai kalian untung Aldo menghentikannya, jika tidak dia akan bernasib sama seperti samsak tinju." Lanjut Tio.
Geez apa yang harus kulakukan terhadap dirinya. Sepertinya aku semakin menyukai dirinya. Kalau begini caranya aku sama sekali tidak bisa melepaskannya. Aku pun mengangkat salah satu tanganku untuk menutupi ke dua mataku. Aku tersenyum kecil mengingat dirinya masih peduli padaku.
"Rev sebenarnya apa alasanmu melakukan hal itu?" Tanya Aldo.
"Kau tahu aku masih tidak bisa mempercayainya." Seru Alex.
"Bisakah kita membicarakan itu nanti? Saat ini aku dipenuhi dengan keringat. Aku bahkan tidak tahan dengan bauku sendiri." Seruku membuat ketiga temanku ini tertawa.
"Kau harus mengobati lukamu. Sepertinya Alex berhasil menyadarkanmu kali ini." Seru Aldo.
Aku senang saat aku bisa kembali seperti ini bersama dengan mereka. Setidaknya kali ini aku tidak merusak persahabatanku dengan mereka. Dengan adanya mereka di sisiku setidaknya aku bisa bernafas lega karena aku tahu beban yang kupikul tidak akan kutanggung sendiri.
Sepertinya ini saatku untuk menceritakan sepenuhnya tentang diriku kepada mereka. Aku tahu aku salah karena tidak langsung memberitahukannya kepada mereka namun sebagai seorang lelaki aku juga memiliki harga diriku sendiri. Walaupun Alex telah membuka masalahnya kepada kami, entah mengapa aku tidak bisa menceritakannya kepada orang-orang mengenai masalahku. Masalahnya dan aku hampir mirip, kita sama-sama tidak menyukai ayah kami. Namun Alex lebih terbuka dan percaya kapada kami.
Soal Drea.. Aku sama sekali tidak tahu harus melakukan apa pada gadis itu. Nasi sudah menjadi bubur, aku terlanjut menghancurkannya berkeping-keping. Aku tidak tahu cara apa yang kupakai untuk berbaikan dengannya. Dan pertanyaan yang selama ini kutanyakan pada diriku sendiri, masih belum dapat kujawab. Apakah kulayak untuk mendapatkannya? Kurasa aku masih harus mencari jawabannya.
Namun walau bagaimanapun tidak dapat kupungkiri jika rasa suka ini telah bertambah besar. Mungkinkah aku mencintai dirinya? Sepertinya iya aku sangat mencintainya dan aku akan melakukan apapun untuknya termasuk menghindar darinya. Aku tidak mau menjadi egois dan melukainya lagi.