Chereads / Awal dari Kenangan / Chapter 25 - Chapter 28~ Hurt

Chapter 25 - Chapter 28~ Hurt

~Andrea~

Setelah mencoba menelphone salah satu nomor yang terakhir kali kutelphone, aku menunggu sambil melihat id Rafa yang keluar di sana. Sambil mencoba menenangkan diriku dan melawan setiap memori yang mulai muncul aku menunggu Rafa untuk menjawab telphonennya. Petir kembali menyambar dengan hebatnya. Kenangan masa kecilku terus mendesak masuk dan berhasil tereka kembali dalam ingatanku.

Petir menyambar dengan hebatnya ke arah pohon dan menyebabkan pohon itu tumbang. Secara otomatis papa menghindar dari pohon itu. Secara refleks aku berteriak ketika papa membanting stir untung menghindar pohon yang tumbang secara tiba-tiba. Aku kembali mengingat memori itu dengan sangat jelas. Aku melihat keluar jendela dan melihat mobil berputar-putar karena tergelincir. Akhirnya mobil berhenti ketika menabrak salah satu tembok pembatas jalan.

Badanku terlontar ke depan akibat kecepatan mobil yang tergelincir dengan cepat. Benturan dengan tembok membuat sebuah gaya yang mendorongku kembali ke belakang dengan cepat, dan aku yakin sekali hal itu melukai punggungku. Untung saja kali itu aku mendengarkan mama untuk menggunakan seat belt, sehingga saat terdorong ke depan aku tidak sepenuhnya terlontar menuju bagian depan.

Dorongan itu mengakibatkan kita kehilangan kesadaran selama beberapa menit. Aku baru saja mendapatkan penglihatanku secara normal setelah mengerjapkan mataku beberapa kali dan melihat sebuah cahaya yang datang ke arah kami dengan cepat di tengah hujan lebat. Tidak sampai sedetik sebuah truk besar menabrak kami.

Dengan cepatnya truk itu menabrak tepat di bagian belakang tempat aku berada. Mobil kami terdorong cukup jauh setelah tertabrak. Dan saat itu aku masih mengingat semuanya menjadi slow motion. Kaca-kaca yang pecah mengenai tubuh kami. Bagian mobil yang penyok menjepit tubuhku. Gerakan-gerakan yang membanting tubuhku ke depan ke belakang. Semuanya benar-benar terjadi secara lambat.

Aku dapat melihat ke dua orang tuaku yang sudah kehilangan kesadarannya. Entah mengapa aku masih dapat melihat semua adegan ini. Aku bisa bertahan tanpa kehilangan kesadaranku merupakan hal aneh yang benar-benar tidak bisa kumengerti sampai sekarang.

Pecahan kaca berserakan dan beberapa menancap pada tubuh kami. Darah mengalir dimana-mana terbawa derasnya aliran hujan. Kondisi kedua orang tuaku cukup parah saat itu namun tidak separah diriku. Hampir seluruh tubuh bagian bawahku terjepit.

Rasa sakit menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Rasanya ingin sekali mennagis dan berteriak namun tidak bisa. Semua kejadian dan rasa sakit ini membuatku lelah. Bahkan untuk membuka mulutku saja susah. Rasa sakit itu beralih menjadi sebuah rasa yang sangat dingin. Bahkan mungkin sebentar lagi aku rasa aku akan meninggal. Aku mengeluarkan banyak sekali darah. Rasa dingin yang menjalar di seluruh tubuhku membuatku menjadi tidak dapat merasakan apa-apa. Semenjak hari itu aku membenci dingin.

Kesadaranku menghilang tepat setelah aku mendengar bunyi ambulan dan beberapa orang yang berteriak di sekitar kami. Hal yang terakhir kuingat adalah aku berjalan ke arah cahaya yang sangat terang.

Kenangan-kenangan itu lama-kelamaan memudar, namun rasa sakit, kedinginan dan kesulitan bernafas masih menempel dalam tubuhku. Nafasku masih tercekat, tubuhku sama sekali tidak bisa kurasakan dan kugerakan. Entah berapa lama aku terbaring lemah di sini. Otakku benar-benar tidak berfungsi saat ini. Aku kehilangan semua panca inderaku. Yang bisa kurasakan saat ini adalah rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhku. Nafasku benar-benar tercekat saat ini.

Tak lama kemudian aku merasakan sebuah guncangan di bahuku. Namun aku masih tidak dapat membuka mata dan semua inderaku masih belum kembali sepenuhnya. Aku mencoba menggerakan tangan dan berhasil. Aku segera memegang leherku untuk membantuku bernafas sementara tangan lainnya mencoba menggapai seseorang yang ada di depanku. Aku benar-benar tidak tahu siapa itu.

Aku merasakan kehangatan di sekitar tubuhku selama beberapa saat dan tiba-tiba saja kehangatan itu menghilang. Aku mencoba untuk membuka mataku dan berhasil. Hanya saja aku tidak dapat melihat dengan baik. Semua pandangku menjadi tidak jelas dan hanya bisa melihat sebuah bayang-bayang.

Aku dapat melihat seseorang mendekatiku dan menyederkanku di tubuhnya. Dia memasukan sesuatu ke dalam mulutku dan memberikanku minum. Air hangat yang masuk ke tenggorakanku membuatku kembali tenang. Lama kelamaan seluruh inderaku membaik.

"I'm so sorry Dre.... I'm sorry." Bisik seseorang. Aku mengenali suara itu dan aku langsung mengetahui itu adalah Rafa. Setelah keadaanku cukup membaik aku mencoba untuk membuka mulutku.

"Aku takut Rafa." Kataku dengan suara serakku. Aku kembali berfokus untuk menenangkan diriku. Setelah cukup tenang aku melepaskan diriku dari pelukannya yang hangat. Aku menarik nafas panjang dan melihat ke arahnya. Sepertinya ini saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya.

Setelah mencoba memberitahunya hal yang kutakutkan terjadi. Rafa benar-benar meninggalkanku karena dirinya mengetahui bahwa aku adalah seorang gadis cacat. Bahkan dia telah mengetahuinya selama ini. Akhirnya dia pun meninggalkanku di kamar sendirian tanpa mau mendengarkan penjelasan dan ceritaku.

Aku tahu semua orang pasti akan membenciku jika mereka tahu bahwa aku adalah seorang anak cacat. Seharusnya aku tidak berharap lebih bahwa reaksinya akan berbeda. Aku tidak boleh kecewa dengan reaksinya yang meninggalkanku seperti itu. Sepertinya tak lama lagi aku akan kembali menjadi gadis penyendiri.

Aku tidak tahu apakah Rafa akan memberitahukannya kepada yang lain atau tidak tapi aku berharap agar dia memberitahukannya kepada yang lain. Aku tidak mau berhadapan dengan mereka lagi dan tidak akan sanggup menghadapi reaksi mereka jika mereka akan bereaksi seperti Rafa hari ini.

Saat ini aku tidak bisa membendung lagi kekecewaan dan rasa sedihku. Walaupun sudah kucoba mengatakannya berulang kali, kalau aku tidak boleh kecewa dengan reaksinya, tetapi tetap saja hal itu tidak berpengaruh. Aku tetap kecewa karena aku tidak akan bisa tertawa dan bermain bersama mereka lagi.

Aku mengangkat kedua kakiku sehingga mereka menekuk sejajar dengan dadaku dan memeluknya. Aku menyembunyikan wajahku yang telah dipenuhi air mata yang coba kutahan sejak aku berdebat dengannya. Aku menangis cukup keras. Aku tidak tahu hal apa lagi yang akan kulakukan. Aku benar-benar telah kehilangan dirinya untuk yang kedua kali.

"Drea!" Seru kakak kaget melihatku yang menangis seperti ini dan langsung menarikku ke dalam pelukannya.

"Ssshhh.... It's okay Dre...." Serunya menenangkanku. Biasanya dirinya akan berkata seperti ini saat panick attackku menyerang. Atau mungkin dirinya mengira bahwa aku sedang mengalami panick attack.

"Ka..kakak..." Panggilku ditengah-tengah tangisanku.

"Sshh... Kau mau menceritakannya? Aku tahu ada yang tidak beres denganmu dan Rafa." Serunya dengan lembut sambil melepaskanku dari pelukannya dan melihat ke arah mukaku. Pandangan matanya menatapku secara lembut. Aku dapat melihat kepeduliannya dan kasih sayangnya kepadaku, namun aku juga dapat melihat sebuah kilat kemarahan.

Aku menggeleng pelan sambil menundukan kepalaku. Aku belum siap menjelaskan semuanya ini. Untungnya saja kakak mengerti dan membawaku kembali ke dalam pelukannya. Aku kembali menangis mengingat segala yang terjadi hari ini.

Bukan keinginanku untuk menjadi cacat seperti ini. Aku tidak mengerti kenapa aku harus mengalami semua ini. Aku tahu jika aku beruntung memiliki keluarga yang baik dan berada. Namun tetap saja, aku ingin berlari layaknya seorang gadis normal.

Aku masih tidak mengerti mengapa semua orang meninggalkanku saat mengetahui kekuranganku. Aku masih mengingat saat pertama kali aku mencoba bangkit dan bermain dengan temanku seperti biasanya setelah sekian lama aku mengurung diri di dalam rumah. Semua yang terjadi benar-benar diluar dugaanku. Semua teman yang dekat denganku mengolok-ngolokku karena aku tidak bisa kembali berjalan. Saat itu semua orang meninggalkanku untuk bermain dan mulai menertawaiku karena kelambatanku. Sejak saat itu aku membenci kakiku ini.

Pernah suatu saat waktu aku berusia 11 tahun, aku kembali mengalami hinaan saat guru lesku yang tak jauh berbeda usia dari kakak mengetahui kecacatanku. Sejak saat itu setiap kali aku gagal mengerjakan tugasnya dia selalu mencemoohku dan mengata-ngataiku. Dan setelah beberapa kali mendengarnya aku mulai mempercayai kata-katanya dan aku marah kepada kakikku ini. Saat semua orang tidak ada di rumah aku mencoba untuk membuktikan bahwa aku bisa berjalan tanpa kaki palsuku. Aku menggelindingkan kursi rodaku menuju tangga dan mencoba berjalan dari sana. Dan tentu saja aku gagal. Aku terjatuh dan menabrak salah satu meja kaca.

Saat itu aku menangis dan merutuki kakiku yang menyebalkan ini. Aku mengambil salah satu pecahan kaca yang ada dan menghantamkannya ke kakiku. Karena kelumpuhanku aku tidak bisa merasakan apa-apa. Rasa sakit. Itu yang kubutuhkan saat aku menancapkan pecahan kaca itu masuk ke dalam kulit kakiku. Aku menangis frustasi mengapa semuanya tidak terasa sama sekali. Padahal darah sudah mengalir dengan derasnya.

Sekarang aku kembali membenci kedua kakiku. Aku mencoba memukul-mukul kakiku yang menyebalkan ini. Andai semua itu tidak terjadi. Aku memukul kakiku semakin keras dan kakak menahan kedua tanganku. Aku mencoba memberontak tapi tenaganya tidak ada bandingannya denganku. Aku kembali menangis dengan keras.

"Kenapa kak...? Kenapa aku harus menjadi seperti ini?" Seruku sambil menangis dengan frustasi. Terakhir kali aku menangis seperti ini saat kejadian guru les tersebut.

Kakak terdiam dan tidak menjawab apa-apa. Sejak dulu setiap aku bertanya hal seperti itu kakak selalu terdiam tidak dapat menjawab apa-apa. Namun aku tahu dalam hatinya dia berharap agar seharusnya dia saja yang mengalami semuanya itu. Aku sempat mendengarnya berkata begitu saat aku berada di rumah sakit setelah kebodohan yang kulakukan.

Setelah menangis cukup lama dalam pelukan kakak akhirnya aku tertidur di dalam pelukannya. Semua kejadian ini benar-benar memakan semua energiku. Aku tidak bisa membayangkan hari yang lebih buruk daripada hari ini.

Kakak yang menyadari aku tertidur mengeratkan pelukannya dan mulai kembali menyalahkan dirinya sendiri. Dia menghapus semua jejak air mata yang ada di pipiku dan mencium keningku lalu membaringkanku di atas tempat tidur. Menyelimutiku dengan selimutku dan pergi meninggalkanku. Aku tahu kakak sangat sedih ketika melihatku seperti ini.

Ke esokan paginya aku bangun dengan kepala yang sangat sakit. Aku mencoba membuka mataku tapi rasanya berat sekali. Kurasa mataku sangat bengkak sampai susah untuk kubuka. Lalu kejadian kemarin langsung terlintas di kepalaku. Aku mengambil nafas panjang dan membuka mataku dengan paksa.

Sepertinya aku salah, matahari telah berada di posisi puncaknya. Aku segera mendudukan diriku dan mengacak-ngacak rambutku kesal. Aku kembali menghela nafas panjang untuk kedua kalinya. Aku segera turun dan memakai kursi rodaku dan menggelindingkan rodanya dengan malas keluar kamar.

"Kau sudah bangun sayang.." Seru mama dengan lembut ketika melihatku. Mama sedang menaiki tangga untuk melihat keadaanku.

"Bukannya mama pulang 4 hari lagi ya?" Tanyaku bingung yang melihat mama di sini.

"Kemarin kakakmu menelphone kalau kondisi mentalmu kembali menurun. Kau tidak apa-apa sekarang sayang?" Tanyanya lagi. Aku hanya diam tidak menjawabnya. Aku merasa menyesal karena dengan aku seperti itu aku merepotkan ke dua orang tuaku.

"Haruskah kita pergi ke psikolog?" Tanyanya cemas. Aku menggelengkan kepalaku. Salah satu yang kubenci adalah psikolog.

"Tidak usah ma. Aku baik-baik saja." Seruku sambil tersenyum lemah.

"Kau yakin?" Tanyanya lagi.

"Tentu saja.." Seruku sambil tersenyum dan menggerakan kursi rodaku mendekati mama.

"Aku kangen masakan mama." Seruku sambil memeluk setengah tubuhnya. Mama pun mengelus rambutku. Aku benar-benar membutuhkan mama saat ini.

"Baru saja mama tinggal dua hari." Serunya sambil terkekeh. Kami pun turun ke dapur dan mama mulai memasak bubur. Aku pun membuka pintu taman dan menuju kandang Doddle. Sudah lama aku tidak bermain dengannya.

"Kakak sama papa ada ma?" Tanyaku karena tidak melihatnya. Aku hanya memastikan tidak bertemu dengan kakak sepanjang hari ini.

"Kakakmu baru saja mengantar temannya pulang. Sementara papa masih berada di sana. Mama pulang ke sini sendirian." Serunya sambil meneruskan mengerjakan buburnya itu. Aku menghela nafas lega. Setidaknya aku tidak akan langsung berhadapan dengan kakak untuk saat ini.

Setelah memakan bubur buatan mama ditemani segelas coklat panas, aku dan mama segera pindah ke ruang keluarga dan menonton salah satu drama korea. Aku memeluk mama erat saat menontonnya dan bergelayut manja. Aku merindukan kasih sayang mama saat ini.

Aku sama sekali tidak konsentrasi menontonnya, yang ada di pikiranku hanya Rafa dan teman-temanku yang lain. Semakin aku memikirkannya semakin aku membenci semua hal yang terjadi kemarin.

"Ya ampun Dre kau menangis hanya karena film." Seru kakak yang entah datang dari mana. Aku bahkan tidak menyadari dirinya datang karena aku sibuk dengan pikiranku. Dan aku sama sekali tidak menyadari setitik air mata yang jatuh dari pelupuk mataku.

"Tidak!" Seruku sambil menghapus air mataku dengan cepat. Saat aku melihat ke arah televisi memang benar saat itu adegan menyedihkan sedang terjadi. Setidaknya aku tidak akan dicurigai.

"Sejak kapan kakak datang?" Tanyaku.

"Kau terlalu asyik menonton sampai tidak menyadari kedatanganku." Serunya.

"Ssshhtt.... Kalian terlalu berisik." Keluh mama. Aku dan kakak hanya terkekeh pelan. Setelah bosan menemani mama menonton akhirnya aku pergi ke kamarku meninggalkan kakak dan mama yang masih terpaku pada layar telvisi. Walaupun seorang lelaki kakak menyukai drama korea. Dia hanya tidak mau mengakuinya saja.

Aku langsung menuju kamar mandi dan setelahnya aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur dan mulai memainkan handphoneku. Banyak sekali notification dari teman-temanku terutama Kyla. Namun namanya sama sekali tidak terdapat dalam notificationku. Aku benar-benar berharap dirinya akan minta maaf dan mencoba mengerti diriku. Aku menghela nafas panjang karena tidak menemukan pesan apa pun darinya.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dan kakak langsung memasuki kamarku dan berjalan ke arahku. Aku segera memutar mataku melihat dirinya yang seperti ini. Aku sudah menduga bahwa dirinya akan mengikutiku seperti ini. Dan pasti dirinya akan menuntut penjelasan seperti biasanya. What an annoying brother!

"Bisakah tidak menggangguku sekarang?" Tanyaku kesal. Dia hanya menggelengkan kepalanya dan mendudukan dirinya di pinggir tempat tidurku.

"Drea, kau tahu mengapa kakakmu yang baik ini datang ke sini?" Tanyanya dengan nada yang serius.

"Kau datang untuk mencari tahu segalanya yang terjadi kemarin dan untuk megusikku. Sudah kubilang kak setidaknya aku butuh waktu. Kakak tidak seharusnya bertanya seperti itu. Setidaknya beri aku sedikit privasi." Keluhku.

"Kau. Tidak. Boleh. Menyimpan. Apapun. Dariku." Serunya dengan penekanan di setiap kaatanya. Aku hanya memutar mataku mendengarnya. Sekarang dia benar-benar menyebalkan.

"What ever!" Seruku kesal dan langsung membalikan diriku dan menyelimuti seluruh tubuhku.

"Ayolah Dre. Aku mati penasaran di sini. Selain itu aku hanya butuh alasan untuk menghajar si Rafa itu!" Serunya sambil mencoba menarik selimut dari tubuhku.

"Jangan ganggu aku kak!" Teriakku dari balik selimut.

"Baiklah untuk saat ini kakak mengalah. Tapi kau tidak akan lepas dariku gadis kecil." Serunya dengan nadah mencomooh.

"Hei aku bukan anak kecil lagi!" Protesku sambil membuka selimutku untuk menghujaninya dengan pukulan.

"Hahahaa." Kakak hanya tertawa sambil pergi meninggalkan kamarku.

Setelah kepergian kakak aku merutukinya dan kembali berkonsentrasi kepada handphoneku. Sekarang mereka semua sedang berada di tengah pelajaran. Aku ingin sekali mengobrol dengan mereka namun aku tidak tahu apakah mereka masih mau berteman denganku. Aku menduga kalau Rafa akan menceritakannya kepada mereka sekarang.

"Hhmmm....." Desahku kesal. Aku pun mengambil kembali selimut dan menutupinya di atas tubuhku. Tak lama pintu terbuka dan mama langsung memasuki dan kamarku.

'Tidak bisakah aku beristirahat dengan tenang sekarang.' Keluhku dalam hati.

"Hai. Sweetheart tadi mama di telphone wali kelasmu. Beliau menanyakan mengenai keadaanmu. Apakah kau mau masuk ke sekolah besok?" Tanya mama sambil duduk di dekatku.

Pertanyaannya membuatku terdiam. Apakah aku siap untuk bertemu dengan mereka besok? Aku tahu mentalku belum siap namun aku tidak akan bersembunyi seperti ini. Aku akan menjadi pengecut bila aku bersembunyi. Cukup hari ini saja aku beristirahat dan menyiapkan mentalku.

"Besok aku akan sekolah ma." Seruku dengan lembut sambil tersenyum.

"Kau yakin? Usul mama sebaiknya besok kita ke psikolog dulu sweetheart. Mama tahu kau tidak baik-baik saja." Seru mama sambil menatapku dengan cemas.

"Tapi ma, kalau aku tidak ke sekolah besok sama saja aku bersembunyi dari masalahku. Aku tidak mau jadi pengecut." Seruku dengan sorot mata penuh keyakinan.

"Baiklah sayang. Mama hanya khawatir sesuatu terjadi padamu. Kalau besok kamu tetap pergi ke sekolah, tolong jaga emosi dan pikiran-pikiranmu tetap positif. Dan jangan sampai terluka lagi oke. Kalau ada apa-apa langsung hubungi mama segera." Serunya sambil mencium ke dua pipiku sayang.

"Siap ma." Seruku dengan senyum lebar di wajahku.

"Kau lebih dewasa sekarang. I'm proud and love you so much sweetheart." Serunya dan pergi meninggalkan kamarku untuk beristirahat.

Aku menghela nafas panjang setelah mama pergi dari kamarku. Aku harap aku bisa melakukan semua yang mama minta. Semoga saja tidak terjadi apa-apa padaku besok. Semoga semuanya berjalan dengan lancar dan aku bisa menghindari mereka. Harapanku yang terakhir semoga Rafa telah memberitahu mereka dan mereka akan menjauhiku. Aku benar-benar tidak mau kalau mereka hanya berpura-pura dan mengasihaniku.