Iris Hubertus terbangun di ranjang rumah sakit. Matanya terbuka perlahan-lahan. Dikerjap-kerjapkan matanya untuk membiasakan diri dengan sinar lampu yang sangat terang. Pandangan mata Iris Hubertus silau, dia perlu membiasakan diri terlebih dulu.
Setelah merasa nyaman, Iris Hubertus mengedarkan pandangan ke segala arah. Ruangan itu serba putih, cahaya lampunya begitu benderang. Seprei, bantal, selimut, semuanya juga berwarna putih. Bahkan peralatan medis yang ada di samping tempat tidurnya pun memiliki warna senada.
Bunyi yang keluar dari alat di samping tempat tidurnya membuat suasana kamar Iris Hubertus terasa mencekam. Iris Hubertus melirik jam yang terletak di dinding sebelah kirinya, pukul sebelas malam. Iris Hubertus yakin saat itu pasti sedang malam hari, mengingat tidak banyak suara yang bisa didengarnya dari luar kamarnya. Suasananya cenderung sepi mencekam.
Iris Hubertus menghela napas berat, dia mulai mengingat-ingat mengapa dirinya bisa berada di atas ranjang rumah sakit. Samar-samar diingatnya kejadian malam itu, malam ketika dirinya melajukan mobil di jalanan kota dengan hati yang teriris-iris dan air mata mengalir deras. Tiba-tiba Iris Hubertus bergidik ngeri mengingat apa yang dilakukan oleh kekasihnya dengan Alexandra Weren. Perasaan mual mendesak di perut dan menjalar ke ulu hatinya. Malam itu bersalju, jalanan licin dan sepi. Iris Hubertus bisa memperkirakan apa yang kemungkinan terjadi pada dirinya.
Tiba-tiba pintu terbuka, Iris Hubertus melirik pintu dan melihat seorang perawat masuk ke dalam kamarnya.
"Wah, anda sudah sadar rupanya?! Saya akan panggilkan dokter!" perawat itu bergegas ke luar kamar dan meninggalkan pintu kamar dalam keadaan terbuka.
Iris Hubertus bingung, namun tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu.
Tidak berapa lama kemudian sang perawat kembali bersama seorang dokter muda yang sepertinya merupakan dokter junior.
"Halo, selamat malam Nona Iris Hubertus. Saya senang anda sudah sadar, saat ini apa yang anda rasakan?" tanya sang dokter tersenyum manis.
"Yah, kepala saya sakit, Dok," jawab Iris Hubertus.
"Oalah, itu reaksi yang wajar, Nona. Nanti akan saya resepkan obat penghilang rasa nyeri," ujar sang dokter sambil mengecek tekanan darah Iris Hubertus.
"Saya kenapa, Dok?" tanya Iris Hubertus penasaran.
"Oh ya, anda pasti bingung ya. Anda mengalami kecelakaan dua hari lalu," ucap sang dokter.
"Dua hari lalu?" Iris Hubertus terkejut.
"Benar. Selama dua hari anda tak sadarkan diri. Seluruh keluarga Nona Iris Hubertus terus menerus menunggui anda, berharap anda segera siuman. Saat ini, keluarga anda kami minta untuk kembali ke rumah, agar beristirahat. Jadi, besok pagi baru akan kami beri kabar pada keluarga anda," kata sang dokter menjelaskan.
"Tetapi, tidak ada masalah serius yang menimpa saya 'kan, Dok?" tanya Iris Hubertus lagi.
Baik dokter maupun perawat saling diam, tidak satu pun yang memberi jawaban. Mereka justru saling melirik satu sama lain, membuat Iris Hubertus semakin penasaran dan cemas.
"Dokter, apakah dokter mendengar pertanyaan saya?" tanya Iris Hubertus setengah memaksa.
Sang dokter mengangguk ke arah perawat yang sudah mempersiapkan suntikan. Perawat membalas anggukan dari dokter muda itu dan segera menyuntikkan cairan bening tersebut ke dalam infus Iris Hubertus.
"Nona Iris Hubertus, maafkan saya, untuk saat ini sebaiknya anda beristirahat lebih dulu. Besok kita akan membahas hal ini lagi. Selamat malam, Nona." Selesai mengucapkan hal tersebut, sang dokter pun melangkah pergi meninggalkan ruang perawatan Iris Hubertus diikuti oleh sang perawat.
Iris Hubertus tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Lambat laun dirinya merasakan kantuk yang teramat sangat dan tak tertahankan. Akhirnya Iris Hubertus pun terlelap.
***
Iris Hubertus menjerit-jerit liar seperti orang gila. Di kanan kirinya, Victor Hubertus dan Nicole Hubertus berusaha untuk menenangkan sang putri.
"Sayang, tenanglah! Mama mohon tenanglah, Nak!" pinta Nicole Hubertus sembari memeluk Iris Hubertus yang menangis histeris.
"Panggil perawat atau dokter saja, Pa!" pinta Nicole Hubertus pada sang suami.
"Baiklah, Ma." Victor Hubertus hendak melangkah ke luar kamar, namun langkahnya tertahan karena suara Iris Hubertus.
"Jangan, Pa!"
Victor Hubertus menoleh pada sang anak, kemudian dirinya membalikkan badan dan mendekati ranjang putrinya.
"Kamu sudah bisa tenang, Iris? Papa tidak perlu meminta perawat untuk membuatmu tenang?" tanya Victor Hubertus.
Iris Hubertus hanya menggelengkan kepala. Tangisnya masih terdengar, tersedu-sedu lirih. Iris Hubertus menahan diri untuk tidak berteriak-teriak lagi, dia tidak ingin perawat atau dokter kembali menyuntikkan obat penenang padanya.
Pagi itu, Iris Hubertus baru sadar jika kaki sebelah kanannya telah diamputasi. Menurut penjelasan orang tuanya, kaki kanannya remuk akibat kecelakaan dan tak bisa lagi diselamatkan. Ketika mengetahui hal itu. Iris Hubertus langsung menjerit histeris, menangis dan meronta-ronta.
Memang, pagi ini ketika Iris Hubertus bangun, orang tuanya sudah berada di sampingnya. Awalnya Iris Hubertus sama sekali tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya. Namun, ketika dia melihat mamanya, rasa gembira begitu meluap, dia minta sang mama membantunya untuk turun dari ranjang. Iris Hubertus ingin jalan-jalan pagi itu, ingin menghirup udara segar. Kalaupun dokter belum mengijinkan dia ke luar kamar untuk jalan-jalan di taman rumah sakit, paling tidak Iris Hubertus bisa membuka jendela kamar dan berdiri di depan jendela untuk menghirup udara segar pagi hari.
Namun, betapa terkejutnya dia tatkala dirinya menyibak selimut yang menutupi tubunya sampai ujung kaki. Iris Hubertus terpekik dan syok melihat kaki kanannya sudah terpotong sampai batas lutut. Baik Victor Hubertus maupun Nicole Hubertus belum sempat mencegah sang anak untuk membuka selimutnya, hingga akhirnya sang anak melihat kenyataan pahit itu.
"Mengapa semalam aku tidak tahu jika sebelah kakiku sudah tak ada?" gumam Iris Hubertus pada diri sendiri.
"Mungkin karena semalam kamu masih berada di bawah pengaruh obat, Nak. Jadi wajar jika kamu tidak merasa ada yang janggal," ujar Nicole Hubertus.
"Ma, Pa, bagaimana nasibku ini? Aku tak sanggup jika harus memiliki penampilan seperti ini, aku terlihat tidak sempurna," Iris Hubertus kembali menangis.
"Tenanglah, Nak. Kamu tidak perlu merasa rendah diri begitu. Kamu tetap cantik dan seperti biasanya kok. Mama yakin Jonas pun tidak keberatan sama sekali. Bukankah dia sangat mencintai kamu?" tutur Nicole Hubertus menenangkan sang anak.
Mendengar nama Jonas Clemens disebut, seketika hati Iris Hubertus kembali tersayat sembilu. Iris Hubertus baru ingat, orang tuanya sama sekali belum tahu tentang kekasihnya itu. Iris Hubertus menimbang-nimbang apakah akan memberi tahu mereka berdua atau tidak. Sebagian hati Iris Hubertus masih berharap dirinya bisa kembali bersatu dengan Jonas Clemens. Iris Hubertus yakin kekasihnya itu pasti terkena bujuk rayu Alexandra Weren. Iris Hubertus yakin sang kekasih tidak akan mungkin bisa jatuh dalam pelukan Alexandra Weren jika wanita itu tidak mendahului merayunya.