Pagi hari di rumah sakit terjadi keributan. Perawat yang bertugas pagi itu mendadak berlari ke ruang perawat untuk memanggil rekannya dan dokter.
"Ada apa?" tanya salah seorang perawat laki-laki di balik meja.
"I..itu!" ucap perawat tadi terbata-bata.
"Itu apa? Hei, bicaralah yang jelas, Merry!" ujar perawat laki-laki tadi.
"Ada apa ini? Mengapa ribut-ribut?" tiba-tiba Dokter Daniel sudah berdiri di samping mereka.
"Ma..maaf, Dok. Pasien di kamar ujung, Dok!" kata Merry masih terengah-engah berusaha mengatur napasnya.
"Ada apa dengan pasien itu, Merry?" tanya Dokter Daniel bingung dengan sikap perawatnya itu.
"Ayolah ikut saya saja!" akhirnya Merry menarik tangan sang dokter.
Dokter Daniel dan perawat laki-laki yang ternyata bernama John pun bergegas mengikuti langkah Merry yang tergesa-gesa.
"Kamu tunggu di sini ya, Grace!" perintah Dokter Daniel pada Grace, perawat yang masih berdiri di belakang mejanya.
"Baik, Dok," jawab Grace cepat.
Mereka bertiga berlari kecil melewati koridor menuju kamar ujung. Begitu sampai di depan kamar tersebut, mereka segera menerobos masuk ke dalam kamar karena memang pintu kamar tidak tertutup. Tadi Merry lupa menutup pintu itu kembali, dia segera berlari begitu melihat kondisi yang ada di dalam kamar tersebut.
"Astaga!!!" Doker Daniel dan perawat John serempak memekik terkejut.
"Itu yang ingin saya tunjukkan," ujar perawat Merry.
"Oh, segera hubungi security!" perintah Dokter Daniel.
"Baik, Dok!" perawat John segera berlari ke luar kamar untuk menghubungi petugas security.
Dokter Daniel dan perawat Merry segera mendekati tubuh Iris Hubertus yang tergantung kaku di selasar pintu kamar mandi. Pada pintu kamar mandi memang terdapat kayu sebagai ventilasi udara kamar mandi. Kayu selasar itu terbilang lumayan tinggi. Di kayu itulah Iris Hubertus tergantung dengan menggunakan kain seprei yang dijadikan sebagai tali.
Perawat Merry bergidik ngeri sembari mengusap kedua lengannya yang merinding. Dilihatnya mata Iris Hubertus yang melotot dan lidahnya yang terjulur menyeramkan. Merry sendiri merasa heran kenapa Iris Hubertus memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara tragis begitu. Padahal kemarin saat Merry bertugas, dirinya melihat Iris Hubertus dalam kondisi baik-baik saja. Yang lebih mengherankan dirinya, bagaimana Iris Hubertus bisa melakukan hal tersebut padahal salah satu kakinya diamputasi. Memang sih di samping tempat tidur Iris Hubertus ada kursi roda yang biasa dipakai Iris Hubertus jika ingin jalan-jalan, melepas penat berbaring lama di tempat tidur. Tetapi, tetap saja Merry heran bagaimana caranya tubuh lemah itu bisa menggantungkan kain seprei ke atas kayu di pintu kamar mandi.
Dokter Daniel mencermati kursi roda yang ada di bawah tubuh Iris Hubertus yang tergantung. Tepat ketika itu John dan dua orang petugas security menerobos masuk ke dalam kamar.
"Astaga!!!" kembali terdengar pekikkan kaget, kali ini berasal dari dua petugas security.
"Apa yang terjadi, Dok?" tanya salah seorang petugas security.
"Sepertinya Iris Hubertus bunuh diri dengan cara menggantungkan dirinya," jawab Dokter Daniel.
"Bagaimana caranya? Iris Hubertus 'kan kesulitan untuk bergerak?" tanya John bingung.
"Tidak. Iris Hubertus sudah mampu untuk bergerak sendiri, memang terbatas gerakannya. Namun, jangan lupa juga bahwa Iris Hubertus 'kan mantan atlet gymnastic sewaktu di London dulu, jadi untuk memanjat menggunakan satu kaki adalah hal yang biasa bagi dirinya," tutur Dokter Daniel.
"Berarti Iris Hubertus turun dari tempat tidurnya, lalu menggunakan kursi roda untuk menggulung seprei. Kemudian masih menggunakan kursi roda, dia menuju ke pintu kamar mandi. Di situ Iris Hubertus berusaha berdiri dengan menggunakan satu kaki di atas kursi rodanya?" John berusaha untuk menerka-nerka apa yang terjadi.
"Ya, saya kira begitu. Dengan berpijak pada kursi roda, dia berusaha untuk memasang seprei di selasar kayu. Setelah membuat simpul di lehernya, dia memasukkan kepalanya di simpul tersebut dan menendang kursi roda sampai jatuh." Dokter Daniel berjalan memutari tubuh kaku Iris Hubertus.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Dok?" tanya salah seorang petugas security.
"Sebaiknya kita biarkan tubuhnya seperti ini dulu. Kita panggil pihak yang berwajib. Biar mereka yang mengurusnya," ujar Dokter Daniel.
"Apa tidak kita turunkan dulu saja tubuhnya, Dok?" security yang satunya lagi mengusulkan.
"Tidak! Jika Iris Hubertus masih hidup, tidak masalah kita turunkan tubuhnya. Namun, dilihat sekilas saja kita sudah tahu bahwa Iris Hubertus telah tiada. Jadi, ini menjadi urusan pihak yang berwajib. Maka dari itu, kita harus segera melaporkannya ke pihak berwajib dan ke pihak rumah sakit!"
"Baik, Dok. Kami segera laksanakan!" kata salah seorang security.
"Eh, salah satu saja yang lapor. Yang satu lagi berjaga di depan kamar ini supaya tempat kejadian perkara tidak terkontaminasi dengan orang-orang yang tidak berkepentingan," ujar Dokter Daniel.
"Baiklah, saya saja yang melapor. Saya permisi, Dok!" kata security yang bertubuh tinggi.
"Ok. Baiklah sekarang kita ke luar dan tinggalkan kamar ini. Jangan lupa tutup kembali pintunya!"
Dokter Daniel berjalan ke luar dari kamar diikuti oleh John, Merry, dan security yang satunya. Sementara yang lainnya terus berjalan menuju kantor, sang security tetap berjaga di depan pintu kamar Iris Hubertus.
***
Nicole Hubertus tak kuasa menahan tangis pilu. Dia menangis keras di samping peti jenasah sang anak.
"Sayang, kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu tega meninggalkan mama?" rintih Nicole Hubertus lirih.
Di belakang Nicole Hubertus, duduklah sang suami dan anak lelakinya. Wajah Victor Hubertus tidak kalah sedihnya dengan sang istri. Hanya Jonathan Hubertus yang terlihat tetap tegar dalam situasi tersebut. Jonathan Hubertus pun berjalan mendekati sang mama dan mengusap kedua bahu mamanya itu untuk menenangkan.
"Ma, mungkin ini takdir yang harus dijalani Iris, kita harus belajar merelakannya, Ma," ujar Jonathan Hubertus di samping Nicole Hubertus.
"Tidak, Jo. Mama tidak bisa merelakannya. Iris sayang, mama tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu? Mengapa kamu begini?" tangis Nicole Hubertus kembali pecah, kini makin keras.
Jonathan Hubertus hanya diam, berdiri di samping sang mama sembari menatap lurus ke wajah adiknya yang memucat. Mata Iris Hubertus telah tertutup, lidahnya pun kini tak lagi terjulur ke luar. Riasan pada wajahnya terlihat cantik, meskipun tidak mampu menutupi kepucatan wajahnya.
Jonathan Hubertus juga bertanya-tanya, apa yang menyebabkan sang adik sampai mengakhiri hidupnya. Padahal beberapa hari belakangan ini, adiknya itu sudah kembali ceria. Iris Hubertus juga sudah mulai bisa menerima kondisinya, hal itu semakin membuat Jonathan Hubertus bingung. Tetapi, hasil autopsi pihak kepolisian menjelaskan bahwa sang adik memang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Semula pihak berwajib berpikir adanya kemungkinan barangkali adanya campur tangan pihak lain dalam kematian Iris Hubertus. Tetapi berdasarkan pemeriksaan, dan tentunya dengan melihat cctv rumah sakit, semua menjadi jelas, bahwa malam itu tidak ada siapa pun juga di dalam kamar Iris Hubertus selain dirinya sendiri.