"Alexa, berapa lama lagi aku harus menunggumu?"
Alexandra Werner mengangkat kepalanya yang semula sedang menunduk menekuni catatan di bukunya. Alexandra Werner menatap Jonathan Hubertus dengan pandangan bertanya.
"Menunggu apa, Jo?" tanya Alexandra Werner bingung.
"Apakah kau sama sekali tidak memiliki perasaan padaku, Alexa?" cecar Jonathan Hubertus lagi.
"Oh, Jonathan. Berapa kali aku harus bilang padamu bahwa aku belum siap untuk hal tersebut? Jujur saja sampai detik ini aku lebih menganggap kau adalah saudaraku," ujar Alexandra Werner.
"Tapi aku tidak mau hanya menjadi saudaramu saja, Alexa! Aku ingin lebih dari itu," kata Jonathan Werner dengan wajah masam.
Alexandra Werner tersenyum amat manis sembari berdiri dan mendekati Jonathan Hubertus. Alexandra Werner menepuk bahu kanan bosnya itu.
"Jonathan, aku tahu bagaimana perasaanmu terhadapku. Namun, sekali lagi aku tidak bisa, Jo."
"Apa alasannya?" tanya Jonathan Hubertus dengan nada menuntut.
"Entahlah, Jo. Kalau kau menanyakan itu padaku, jujur saja aku juga tidak tahu apa alasannya," jawab Alexandra Werner.
"Baiklah, aku tidak ingin memaksamu, Alexa. Tapi perlu kau tahu, aku akan selalu bersabar menunggu sampai kau bersedia membuka pintu hatimu untukku," ujar Jonathan Hubertus akhirnya.
Alexandra Werner tersenyum sinis tanpa sepengetahuan Jonathan Hubertus. Dalam hati, Alexandra Werner tertawa senang melihat perasaan Jonathan Hubertus yang tidak terbalas. Alexandra Werner pun melangkah menuju ke sofa di mana dia duduk semula. Dilihatnya wajah Jonathan Hubertus yang kusut masai bagaikan pakaian yang belum disetrika. Sebenarnya muncul rasa iba dalam hati Alexandra Werner melihat pemuda di hadapannya itu bersedih. Menurut Alexandra Werner, Jonathan Hubertus ternyata tidak seperti yang disangkanya dari awal.
Awal, ketika Alexandra Werner belum mengenal Jonathan Hubertus, dirinya sempat beranggapan bahwa pemuda gagah itu pasti memiliki sifat yang sama dengan kedua orang tuanya. Sama-sama keji, biadab, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu.
Terbukti sifat Iris Hubertus yang nyata-nyata sama persis dengan kedua orang tuanya. Jadi, wajar saja jika Alexandra Werner pun berpikir Jonathan Hubertus tak ada bedanya.
Namun, ketika sudah mengenal pemuda itu, Alexandra Werner jadi tahu seperti apa sifat Jonathan Hubertus. Pemuda itu bisa dikatakan memilki sifat yang sangat jauh dari kedua orang tuanya. Jonathan Hubertus memiliki sifat yang lembut dan peduli pada orang lain. Dia juga bukan pemuda yang ambisius dan jahat.
Secara keseluruhan tidak ada yang kurang dari diri Jonathan Hubertus. Pemuda itu sangat bisa dijadikan teman. Tetapi, jika itu menyangkut tentang cinta, maka Jonathan Hubertus tidak masuk dalam kategori laki-laki idaman Alexandra Werner.
"Ngomong-ngomong, kapan aku bisa bertemu dengan Daniel Miller ya?" ucap Jonathan Hubertus lebih kepada dirinya sendiri.
"Apakah kau ingin aku menghubungi sekretaris Daniel Miller untuk menanyakan kesediaannya bertemu denganmu?" Alexandra Werner mencoba memberikan usul.
"Ohh, apakah waktunya tepat?" Jonathan Hubertus merasa tidak yakin.
"Loh, memangnya kenapa?" tanya Alexandra Werner heran dengan sikap bosnya itu.
"Yeah. Masalahnya aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Aku takut jika kesan pertama yang akan didapat oleh Daniel Miller terhadapku tidak sesuai harapan," jawab Jonathan Hubertus.
"Apa yang salah denganmu?" Alexandra Werner semakin heran mendengar penuturan Jonathan Hubertus.
"Tidak ada yang salah, hanya saja aku ragu,"
"Ragu tentang kemampuanmu dalam bernegosiasi dengan Daniel Miller begitu?" tukas Alexandra Werner setengah mencemooh.
"Tidak hanya itu saja. Coba kau bayangkan, Alexa! Daniel Miller itu adalah seorang pengusaha yang besar, usianya juga sudah tua atau senior. Bagaimana mungkin aku dapat menyelami dunia orang itu?" tutur Jonathan Hubertus dengan nada cemas.
Alexandra Werner meletakkan pulpen yang digunakannya di atas buku catatan.
"Hei, kenapa kamu tiba-tiba menjadi kekanakkan begini sih?"
"Wajar dong aku begini, Alexa. Mestinya yang lebih pantas menemui orang itu adalah papaku," kata Jonathan Hubertus.
"Gila kau! Apa kau sama sekali tidak sadar bahwa papamu ingin agar kamu bisa menggantikannya dalam dunia bisnis ini?" Alexandra Werner berusaha mengingatkan bosnya itu.
"Kalau dengan yang lain, aku masih ok. Tetapi, khusus dengan Daniel Miller, aku merasa beban banget Alexa," tukas Jonathan Hubertus sembari mendesah kesal.
"Aku pasti akan menemanimu," ucap Alexandra Werner dengan nada yakin.
Jonathan Hubertus menatap sekretaris cantiknya itu dengan sorot mata penuh kebahagiaan.
"Kamu serius?"
"Iya dong," jawab Alexandra Werner tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu. Dari yang aku dengar, si tua itu memang bukan orang yang ramah," ujar Jonathan Hubertus.
"Menurutku tidak begitu. Buktinya ketika bertemu dengan aku, Daniel Miller sangat baik kok," kata Alexandra Werner membantah ucapan Jonathan Hubertus.
"Wah, jelas dong padamu dia berubah menjadi laki-laki tua yang baik. Kamu 'kan cantik dan sexy," keluh Jonathan Hubertus dengan nada setengah kesal.
"Hahaha, kamu ada-ada saja," ucap Alexandra Werner.
"Kamu saja yang tidak tahu sih. Kabarnya Daniel Miller adalah laki-laki yang kesepian. Istrinya sudah lama meninggal, jadi dia seorang diri untuk waktu yang begitu lama," Jonathan Hubertus mengatakan apa yang diketahuinya.
"Oh ya? Apakah dia tidak menikah lagi sejak saat itu?" tanya Alexandra Werner.
"Yang aku tahu sih tidak," jawab Jonathan Hubertus.
"Oh, mungkin Daniel Miller ingin hidup bersama anak-anaknya saja," kata Alexandra Werner sambil melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi.
"Hei, sok tahu kau! Dari mana kau tahu hal itu, Alexa?" Jonathan Hubertus menatap lurus ke wajah sekretarisnya yang sedang menunduk menekuni buku catatan.
Alexandra Werner pun mengangkat kepalanya, "Bukankah itu sudah umum terjadi, seorang ayah hanya ingin menghabiskan waktu tuanya bersama dengan anak-anak setelah sang istri meninggalkannya?"
"Hahaha, inilah lucunya kau, Sayang," Jonathan Hubertus tertawa.
"Apanya yang lucu?" tanya Alexandra Werner dengan nada kurang senang.
"Apakah kau tahu, bahwa Daniel Miller tidak memiliki anak sama sekali?" Jonathan Hubertus mengatakan hal tersebut seolah-olah ingin mengejek Alexandra Werner yang sok tahu.
"Apa?!" Alexandra Werner terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh bosnya itu.
"Ya, Daniel Miller tidak punya keturunan," ucap Jonathan Hubertus mengulangi kembali perkataannya.
Alexandra Werner terdiam. Tatapannya lurus ke arah buku catatannya yang sedang dalam keadaan terbuka. Tiba-tiba saja dalam pikirannya wanita cantik itu terbersit suatu ide yang bisa dikatakan gila. Namun, ide itu membuat hati Alexandra Werner bersorak girang, seolah dia baru saja mendapatkan hadiah yang luar biasa. Namun demikian, Alexandra Werner merupakan wanita yang ahli dalam menyembunyikan isi hatinya, sehingga apa yang sedang dipikirkannya itu sama sekali tidak nampak di raut wajahnya. Jonathan Hubertus yang berada di hadapannya saja tidak tahu apa yang saat itu sedang dipikirkan sekretarisnya itu.
"Baiklah. Jika memang apa yang kamu katakan itu benar, bukan berarti Daniel Miller merupakan orang yang tidak dapat ditaklukkan 'kan?" seloroh Alexandra Werner tersenyum.