Wanita itu membiarkan Phineas Fabio tetap berdiri sambil memejamkan matanya. Dia mundur selangkah dan mengamati Phineas Fabio dari ujung rambut sampai ujung kaki. Phineas Fabio yang merasa keasyikannya terhenti langsung membuka mata.
"Oh, mengapa kau hentikan? Ayolah aku sudah tak tahan lagi," ratapnya mengerang.
"Sabarlah dulu, Sayang. Ini minumlah ini dulu supaya lebih tahan lama!" ujar wanita sexy itu.
Phineas Fabio menerima botol minuman kecil yang diulurkan oleh sang wanita. Tanpa banyak bertanya lagi, Phineas Fabio segera menenggak habis minuman dalam botol kecil itu.
"Nah, begitu dong. Yuk ke sini, Sayang!" ajak wanita itu dengan suara merdu.
Phineas Fabio yang melihat sang wanita sudah berbaring menantang di tempat tidur, dengan serta merta bergegas menghampiri teman kencannya itu. Namun, begitu Phineas Fabio sampai di kasur, dia pun langsung ambruk begitu saja. Sang wanita berbibir sensual itu pun beringsut turun dari tempat tidur dan berdiri mengamati Phineas Fabio. Untuk beberapa saat tidak ada gerakan apa pun juga dari Phineas Fabio. Sampai akhirnya sang wanita menggoyangkan bahu laki-laki yang bertubuh polos itu. Phineas Fabio membalikan badan, sekarang tubuhnya telentang menghadap langit-langit kamar.
Wanita itu mendekati Phineas Fabio dan berbisik di telinganya. Setelah selesai membisikkan sesuatu pada Phineas Fabio, wanita itu pun memakaikan seluruh pakaian Phineas Fabio. Kemudian mendudukannya di tepi tempat tidur. Sesudah itu, dia pun kembali mengenakan pakaiannya dan melangkah ke luar dari kamar. Dia menuruni tangga menuju ke meja receptionist.
"Halo, aku ingin menyampaikan pesan dari teman kencanku di kamar 220. Dia ingin kau ke kamarnya sambil membawakan bir dingin untuknya," ujar wanita itu.
"Ok, aku segera ke sana," sahut sang receptionist.
Wanita bergaun pendek itu pun melenggang dengan santai ke luar dari penginapan itu. dan menghilang di belokan.
Sementara itu sang receptionist sudah di depan pintu kamar 220 dan mengetuk pintunya. Beberapa saat kemudian pintu dibuka oleh Phineas Fabio.
"Ini bir dinginnya, Tuan," kata sang receptionist menyerahkan sebotol bir dingin dan gelasnya pada Phineas Fabio.
"Ok, terima kasih."
Phineas Fabio menutup pintu kamar dan meletakkan botol bir dan gelas itu di meja. Kemudian dia berjalan ke arah pintu kecil dari kaca. Dibukanya gorden yang menutupi pintu itu dan dibukanya pintu kaca tersebut selebar mungkin. Pintu kaca itu ternyata tersambung dengan semacam balkon kecil yang kadang digunakan oleh para tamu untuk merokok.
Phineas Fabio melangkah ke luar menuju balkon itu. Dijulurkannya kepala untuk melihat ke bawah, di bawah sana nampak wanita cantik dan sexy tadi berdiri tepat di bawah balkon kamar yang ditempati Phineas Fabio. Tempat itu memang temaram dan sepi sehingga tidak ada orang yang dengan sengaja akan berdiri di tempat wanita tersebut. Meski temaram, namun dari penerangan lampu di sudut taman, Phineas Fabio bisa melihat dengan jelas pada sosok wanita bergaun pendek itu.
"Hai, tunggu aku ya. Aku akan langsung menyusulmu ke situ. Kau jangan pergi dulu, tunggu aku!" Phineas Fabio seperti orang linglung, dia memanjat pagar pembatas balkon yang memang hanya setinggi tidak lebih dari satu meter.
Phineas Fabio terus menatap wanita itu tanpa berkedip.
"Aku datang, Sayang!"
Tubuh Phineas Fabio melayang jatuh dari lantai dua penginapan tersebut. Meskipun jarak dari balkon ke bawah hanya sekitar tiga puluh meter, tetapi karena tepat di bawah terdapat tembok pembatas dengan besi runcing serupa mata tombak tertanam di bagian atasnya, membuat tubuh Phineas Fabio yang meluncur jatuh itu menancap di besi tersebut. Dan yang lebih mengenaskan lagi adalah tubuh Phineas Fabio mendarat kepala lebih dulu sehingga dia tewas seketika secara mengenaskan.
Setelah memastikan Phineas Fabio tewas, wanita itu berbalik badan dan melepas wignya dan menyimpan wig tersebut dalam tas tangannya. Dia mengancingkan mantelnya dengan rapat untuk melindunginya dari dingin. Dikibaskannya rambut ikal sebahunya dengan elegan, kemudian dia melangkah meninggalkan tempat tersebut.
***
"Apa kamu sudah lihat beritanya di televisi, Alexa?" tanya Julia Hend pagi itu di kantor.
Alexandra Werner yang sengaja mampir terlebih dulu ke meja kerja Julia Hend hanya menggelengkan kepala.
"Berita apa?" tanya Alexandra Werner bingung.
"Wah, ramai banget loh. Pokoknya heboh! Semalam di penginapan kecil ujung jalan yang sepi itu ada orang tewas jatuh dari balkon kamarnya," tutur Julia Hend antusias.
"Oh ya? Mengerikan sekali, kenapa orang itu bisa jatuh dari balkon sih?" tanya Alexandra Weren menanggapi.
"Entahlah, kalau menurut polisi dan pegawai penginapan sih, tamu itu memang dalam kondisi mabuk parah. Yah, mungkin saja dia berjalan ke balkon dan tidak sadar memanjat pagar lalu jatuh," ujar Julia Hend.
"Apakah orang itu menginap sendirian di kamar itu?" tanya Alexandra Werner lagi.
"Menurut keterangan pegawai penginapan sih malam itu tamu tersebut datang bersama seorang wanita yang luar biasa cantik. Tetapi kemudian si wanita ke luar penginapan lebih dulu. Nah, keesokan paginya barulah seorang pejalan kaki melihat orang itu telah tewas dengan tubuh tertancap di besi berujung runcing yang ada di tembok penginapan," Julia Hend menjelaskan pada sahabatnya.
"Loh, jangan-jangan wanita itu yang mendorongnya dari balkon," ujar Alexandra Werner.
"Jelas tidak mungkin dong, setelah wanita teman kencan orang itu pergi dari penginapan, sang receptionist membawakan bir dingin untuk orang itu. Nah, ketika itu tamu tersebut masih dalam kondisi hidup kok, malah dia sendiri yang membukakan pintu. Jadi, sudah jelas bukan wanita itu yang mendorongnya 'kan?" tutur Julia Hend.
Alexandra Weren mengangguk setuju.
"Apa tidak ada CCTV di area situ?" kembali Alexandra Werner bertanya.
"Kebetulan di sekitar penginapan tersebut, CCTV yang berfungsi hanya satu, itupun tepat di bagian depan pintu penginapan," kata Julia Hend.
"Hebat sekali kamu bisa mendapat informasi selengkap itu, Julia," puji Alexandra Werner pada sahabatnya itu.
"Hehehe, ini hanya di antara kita saja ya, sebenarnya aku mengenal seorang laki-laki yang bertugas di kepolisian setempat. Jadi, dari dialah aku mendapatkan informasi," kata Julia Hend setengah berbisik.
"Oalah, hehehe, pantas saja. Ok deh, terima kasih untuk obrolan yang menyenangkan ini, Julia!" Alexandra Werner meninggalkan meja kerja Julia Hend sembari melambaikan tangannya.
"Ok, sampai makan siang nanti, Alexa!" seru Julia Hend tersenyum.
"Rupanya kamu akrab dengan Alexandra Weren ya?" tiba-tiba rekan yang duduk di sebelah meja Julia Hend bertanya.
"Oh iya, kebetulan kami merasa cocok satu sama lain," jawab Julia Hend.
"Senang dong kamu, Julia. Dia 'kan wanita kesayangan Bos Muda kita," ujar rekan tersebut.
"Hah?! Apa maksudmu?" tanya Julia Hend tidak mengerti.
"Ah, tak perlu pura-pura bodoh begitu. Semua orang juga tahu wanita secantik Alexandra Werner tidak akan mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk menggandeng Tuan Jonathan 'kan?" imbuh rekan itu lagi.
"Wow, kamu salah besar! Aku yang paling tahu tentang Alexa, dan aku tahu dengan pasti bahwa dia bukan kekasih maupun teman kencan Tuan Jonathan," tandas Julia Hend sengit.