Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Kegelapan Noir: Istri Sang Raja

Mustikaningtyas
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.7k
Views
Synopsis
Perjanjian yang dibuat oleh kedua orang tuanya di masa lalu membuat Helene terpaksa menikah dengan Karsten Noir, seorang raja dari bangsa Noir yang dikenal kejam dan bengis. Helene harus melepaskan mimpinya untuk menjadi penyihir nomor satu di negaranya. Sebab ia bukan lagi anggota kerajaan Lumi yang berisi para penyihir baik. Helene tidak bisa menolak pernikahan iku karena kalau menolak, ia dan seluruh keluarganya akan dibunuh. Bisakah Helene bertahan di atas takdir yang kejam ini?
VIEW MORE

Chapter 1 - Perjodohan Tiba-tiba

Helene Elanor tidak pernah tahu kalau hari ini adalah hari terakhirnya di akademi. Ia baru saja menyelesaikan latihannya untuk menjalani ujian minggu depan. Namun tiba-tiba ia mendapat surat dari ibunya. Isi surat itu begitu menyedihkan. Evony, kakak keduanya hamil di luar nikah, sementara Freda kakak ketiganya, menjadi gila. Keadaan itu membuat keadaan Yor, sang ayah menjadi buruk. Di surat itu, Isabel, ibu Helene menyuruhnya untuk pulang secepatnya. Helene tentu tidak bisa mengabaikan hal itu. Yang ia pikirkan hanyalah ia harus cepat-cepat pulang untuk memastikan sang ayah masih baik-baik saja.

Perjalanan dari ibukota ke desanya yang cukup melelahkan tidak menghalanginya untuk bertemu sang ayah. Sesampainya di rumah, ia mendapati kondisi rumahnya sangat menyedihkan. Rumah ini sepi. Segala perabotan rumah tangga berhamburan di lantai. Tiba-tiba ia mendengar teriakan Freda. 

"AKU TIDAK INGIN MENIKAH!!" 

Helene segera berlari menuju sumber suara. Suara itu berasal dari kamar Freda. Begitu sampai di sana, ia langsung disambut oleh lemparan bantal, guling, dan berbagai macam kosmetik. Untuk Helene sudah terlatih di kelas bela diri sehingga ia bisa menghindari semua lemparan itu. Dengan hati-hati ia masuk ke kamar Freda. Kondisi di dalam kamar sama menyedihkannya seperti kondisi di ruang tamu. Sepertinya Fredalah penyebab semua keributan itu. Isabel duduk bersimpuh di lantai sambil menangis tersedu-sedu. Sedangkan Freda berteriak seperti orang kesetanan.

Freda yang saat ini berada di hadapan Helene bukanlah Freda yang Helene kenal. Rambut Helene acak-acakan dan tampak tak terawat. Bajunya pun compang-camping dan kumal, seperti tak pernah diganti selama beberapa hari. Keadaan Freda yang seperti itu membuat Helene terperangah. Tiga tahun yang lalu, ia meninggalkan rumah untuk belajar di akademi sihir. Ia belum pernah sekalipun pulang ke rumah sejak masuk ke akademi. Ternyata keadaan sudah berubah terlalu jauh.

"Helene… Helene… Kau kah itu?" Freda berhenti berteriak begitu menyadari kehadiran Helene.

Isabel pun menoleh ke belakang. Begitu melihat Helene, ia langsung berdiri dan memeluknya.

"Helene, syukurlah kau sudah pulang, Nak," ucap Isabel sambil terisak.

"Apa yang terjadi, Bu? Di mana Evony dan Irmina? Dan di mana Ayah?" tanya Helene.

Pertanyaan Helene tak kunjung mendapat jawaban. Sementara itu, Freda pun mendekat ke arah Helene.

"Helene… Helene… Kau kah itu?" Freda mengangkat tangannya, hendak meraih Helene.

Namun Isabel menepis tangan Freda. Ia membalik tubuhnya, mencoba menghalangi Freda yang hendak mencakar Helene.

"Mundur kau, Freda! Jangan menyakiti adikmu!" sergah Isabel.

Mendengar itu, Freda mengamuk. Ia berteriak dan mengarahkan tangannya pada Helene. Di mata Helene, Freda telah berubah menjadi hewan buas. Isabel menarik Helene keluar dari kamar Freda. Setelah mendorong Freda sampai terjatuh ke lantai, ia pun mengunci pintu kamar hingga Freda tidak bisa keluar. Freda yang malang hanya bisa berteriak sembari mencakar-cakar pintu.

"Bu, kau belum menjawab pertanyaanku. Ada apa ini?" tanya Helene. "Mengapa Kak Freda menjadi seperti itu?"

Isabel menarik tangan Helene. "Kemarilah. Akan Ibu ceritakan."

Mereka kini berada di ruang tamu. Helene masih tak nyaman dengan kondisi ruang tamu yang berantakan. Rumahnya tidak terasa seperti rumah sendiri. Ini bukan rumah yang ia tinggalkan tiga tahun lalu. Suasananya sangat jauh berbeda.

"Ibu sudah menjelaskan semuanya dalam surat." Isabel menghela napas. "Keluarga kita hancur. Semua ini ulah kakak-kakakmu."

Helene terdiam. Ia merasa bersalah karena selama ini terlalu sibuk belajar di akademi sehingga tidak mengetahui keadaan di rumahnya. 

"Irmina telah menikah dengan kekasihnya dan kini anak mereka telah lahir."

"Syukurlah, Ibu. Aku turut senang mendengarnya."

"Ibu juga senang. Tapi dia tidak pernah pulang setelah itu. Ibu pun ingin melihat cucu pertama Ibu."

Helene kembali terdiam.

Isabel kembali menangis. "Dan… Evony, dia mengikuti kesalahan Irmina. Evony hamil dengan kekasihnya. Sekarang ia pergi meninggalkan rumah ini. Dua anak Ibu tidak pernah kembali."

Helene memeluk Isabel. Hatinya semakin tak enak. Rasanya cukup berat untuk kembali ke akademi setelah ini.

"Freda entah kenapa menjadi seperti itu. Ia tidak pernah keluar dari kamarnya. Ia juga tidak mau mandi dan tidak mau makan. Freda bukanlah Freda yang dulu." Tangis Isabel pecah. "Helene, hanya kaulah satu-satunya yang bisa kami harapkan. Keluarga ini tak bisa bertahan tanpamu."

"Ibu, bisakah aku menemui Ayah?" 

"Tentu. Ayahmu pun ingin bicara denganmu secepatnya."

Mereka pun beranjak ke kamar Yor. Yor terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya tampak sangat kurus. Cahaya kehidupannya seolah meredup. Ia menoleh ke arah Helene dan Isabel dengan lemah. Senyumnya mengembang begitu melihat anak terakhirnya itu pulang.

"Helene… sejak kapan kau kembali?" tanya Yor dengan suara yang lirih.

Helene berhambur memeluk Yor sambil berderai air mata. Ia tidak bisa lagi membendung tangis begitu melihat kondisi Yor yang menyedihkan. 

"Aku baru saja pulang dari akademi, Ayah. Maaf karena baru mengunjungi Ayah." Helene melepaskan pelukannya.

"Helene sudah semakin dewasa. Aku bersyukur bisa melihatku lagi." 

"Ayah… aku minta maaf."

"Kau tidak perlu meminta maaf lagi. Kehadiranmu di sini sudah cukup berarti bagi Ayah." Yor membelai rambut Helene. "Karena kau sudah ada di sini, Ayah ingin membicarakan sesuatu padamu."

"Apa itu, Yah? Katakan saja padaku."

"Ayah ingin kau menikah dengan laki-laki pilihan Ayah."

Bagai mendengar suara petir di siang bolong, Helene terdiam. Ia pun menoleh pada Isabel. Isabel mengangguk sebagai isyarat untuk menyuruhnya menyetujui permintaan Yor.

"T-tapi, masa belajarku tinggal satu tahun lagi, Ayah."

"Ayah tidak bisa menunggu selama itu. Hanya kaulah harapan satu-satunya bagi keluarga ini."

Helene terdiam. Ia pun melepaskan tangan Yor dan pergi dari ruangan itu. "Aku permisi dulu, Yah."

Isabel dan Yor saling pandang. Wajah mereka pucat. Isabel mengikuti Helene yang kini berada di ruang tamu. Helene tampak marah dan lesu. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pendidikannya tentu tidak bisa dikorbankan begitu saja. Apalagi ia bercita-cita menjadi ahli sihir dan meninggalkan kerajaan ini. Ia tidak menyangka bahwa tujuan kedua orang tuanya menyuruhnya pulang adalah untuk menjodohkannya dengan laki-laki yang bahkan tidak ia kenal.

"Helene, Ibu mohon," ucap Isabel dengan wajah memelas. "Ini demi keluarga kita."

"Tapi, bagaimana denganku, Ibu?"

"Ibu tahu ini pilihan yang sulit, tapi kita pasti bisa melaluinya dengan bantuanmu. Ibu mohon, Helene. Ketiga kakakmu tidak bisa diharapkan. Seharusnya mereka yang menerima perjodohan ini, bukan kau. Tapi mereka memilih jalan mereka sendiri. Dan Freda… dia tidak mungkin kembali seperti dulu. Karena itu, harapan kami satu-satunya ada pada dirimu."

"Apa perjodohan itu tidak bisa dibatalkan saja?"

"Tidak bisa, Helene. Perjodohan ini bahkan sudah direncanakan sebelum kau lahir. Kami tidak bisa menolaknya. Apalagi, dengan kondisi ayahmu yang seperti itu. Tolonglah, Helene."

Helene menghela napas. "Kapan perjodohan dilaksanakan?"

"Malam ini."

Helene berdiri saking terkejutnya. "Malam ini? Ibu bercanda, ya?!"

Isabel menggeleng. "Ibu sama sekali tidak bercanda. Malam ini, jika keluarga ini tidak menyiapkan seorang anak gadis untuk dinikahkan, keluarga ini akan dibunuh."

"Apa?!"

Wuuush!!

Angin berembus dengan kuatnya. Pintu rumah terbuka dengan keras. Daun-daun jendela bergoyang. Langit mulai menggelap, pertanda malam akan segera datang. Wajah Isabel memucat.

"Oh tidak. Mereka akan datang," lirihnya.

"Mereka… siapa?" tanya Helene kebingungan.

Angin kencang terus berembus seiring dengan warna langit yang semakin menggelap. Ketika matahari telah tenggelam sepenuhnya, angin itu berhenti. Sosok pria pendek berjubah hitam dan bertopeng perak tiba-tiba sudah berada di berada di depan pintu rumah. Ia masuk ke rumah keluarga Elanor dengan santainya, diikuti dua orang yang lebih tinggi dengan penampilan serupa.

Isabel tiba-tiba bersimpuh di bawah kaki orang paling paling depan. Ia mengatupkan kedua tangannya dan menangis histeris.

"Tolong ampuni kami, Tuan! Jangan ambil nyawa suami saya! Kasihanilah keluarga kami!" tangis Isabel.

"Siapa kalian?!" sergah Isabel. Diam-diam ia mengambil tongkat sihir dari dalam tasnya. 

Namun tampaknya tindakannya itu disadari oleh laki-laki paling depan. Pria itu mengangkat tangannya, lalu tongkat Helene patah menjadi dua.

"TIDAK! TONGKATKU!!" Helene berteriak histeris. Bagi penyihir pemula, tongkat sudah seperti udara. Mereka tidak akan bisa mengucapkan mantra tanpa perantara tongkat.

"Aku tidak akan berlama-lama," ucap pria itu. "Bawa pengantinnya ke sini atau keluargamu akan kubunuh."

Isabel bangkit, lalu menarik Helene ke hadapan pria pendek itu. "I-ini adalah calon pengantinnya, Tuan!" 

"Apa?! Tidak, Bu! Aku tidak ingin menikah!" tolak Helene sembari melepaskan tangannya dari genggaman Isabel.

Pria pendek itu kembali mengangkat tangannya sebentar sebagai isyarat kepada kedua pengikutnya untuk bergerak. Dua pengikutnya dengan patuh mengikuti perintahnya. Helene dan Isabel pun kebingungan. Kekhawatiran menyelimuti hati mereka. Tidak beberapa lama, mereka kembali dengan menyeret Yor dan Freda. Yor tampak pasrah, sedangkan Freda terus meronta. Pria itu mengangkat tangannya lagi, kemudian tubuh Yor dan Freda terangkat dengan sendirinya. Mereka meronta-ronta dengan keras sembari memegangi leher mereka, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencekik mereka.

"SAYANG!!" teriak Freda dengan histeris. Ia pun kembali bersujud meminta ampunan. "Tolong jangan sakiti mereka, Tuan…! Saya akan melakukan apa pun yang Tuan minta."

"Lepaskan mereka, dasar berengsek!" Helene mencoba melawan dengan mengayunkan tongkatnya. Namun mantra yang ia gunakan justru berbalik menyerang dirinya sendiri. Ia terlempar hingga tubuhnya menabrak tembok dengan keras.

"HELENE!!" Isabel menghampiri Helene. Tangisnya kembali pecah.

Helene terengah-engah. Ia masih sadarkan diri. Namun kepalanya sangat pusing. Tubuhnya pun terasa remuk dari dalam.

Pria pendek itu tertawa mengejek. "Gadis bodoh! Kau tidak akan bisa menyerangku dengan tongkat patah itu." Ia pun menghampiri Helene yang sudah tak berdaya. "Sekarang kau bisa memilih, keluargamu terbunuh atau kau menjadi pengantin Tuanku."

Isabel dan Helene bertukar pandang. Melihat tatapan penuh harap Isabel, Helene tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan itu. Dengan berat hati, ia pun mengangguk setuju.

"Gadis pintar."

Pria pendek menjentikkan tangannya. Hanya dengan satu gerakan itu, Yor dan Freda terbebas dari tangan tak kasat mata yang mencekik leher mereka. 

"Bawa dia!" titah pria pendek.

Dua pengikut pria pendek menarik tangan Helene dengan kasar. Mereka tak peduli kalau tubuh Helene masih terasa sakit karena senjata makan tuan itu. Lalu tanpa memberi kesempatan pada Helene untuk mengucapkan salam perpisahan pada keluarganya, mereka mendorong Helene untuk masuk ke kereta kencana yang seluruhnya berwarna hitam, bahkan kudanya pun berwarna hitam. Sebelum kereta itu berangkat, Helene melambai dengan lemas dan Isabel yang memandangi kepergiannya sambil berderai air mata. Pria pendek duduk di hadapannya.

"Selamat tinggal Ayah, selamat tinggal, Ibu. Selamat tinggal … semuanya," lirih Helene.

Kereta kuda berjalan menembus gelapnya malam. Pemandangan rumahnya yang hangat telah tergantikan oleh gelapnya hutan. Helene menutup wajahnya, kemudian menangis dalam diam.