Suasana di ruangan itu seolah mencekik Helene. Ia hanya berdua dengan Karsten di sana. Ruangan besar yang ukurannya bisa menyamai enam kali kamarnya itu hanya diisi dua orang. Helene merasa semakin gugup.
"Kau berada terlalu jauh dariku. Mendekatlah!" ucap Karsten tanpa memandang Helene sedikit pun. Ia masih sibuk mengurusi kertas-kertas yang bertumpuk di atas mejanya.
Bagai mendengar perintah yang tidak dapat dibantah sedikit pun, Helene pun mendekat ke meja Karsten. Ia berdiri diam di depan meja Karsten sembari memegangi bagian rok gaunnya.
Helene menggigit bibir bawahnya. Ia takut. Aura Karsten sangat kuat hingga ia takut untuk melawannya. Ini rencana gila. Helene ingin mundur. Oke. Ia akan berbalik dan pergi. Lupakan soal rencana pagi ini. Ini terlalu tiba-tiba dan mendadak. Helene tidak bisa melakukannya.
"Baik!"
Helene merasa sangat bodoh karena melakukan sesuatu karena diperintah. Namun saat ini ia memang tidak bisa berbuat apa pun di hadapan Karsten yang terlihat... sangat serius dan mengancam. Ia takut jika ia menganggu Karsten sedikit saja, nyawanya akan melayang.
Karsten menghentikan pekerjaannya sejenak hanya untuk melihat penampilan Helene yang berani tampil beda dengan berpakaian cerah. Ia sedikit terkejut, atau mungkin terpukau dengan penampilan yang jarang dilihatnya itu. Ia tidak menduga Helene bisa dengan berani melarang aturan paling dasar dari kerajaan ini: dilarang memakai pakaian berwarna cerah.
"Apa yang ingin kau katakan padaku?"
Mengabaikan penampilan Helene, Karsten merasa tak perlu berbasa-basi untuk menanyakan maksud kedatangan Helene ke ruangannya. Ia tahu Helene yang berasal dari bangsa Lumi pasti sedikit terkejut dengan budaya yang ada di kerajaan ini. Atau mungkin, ia mendapat masalah lain: penolakan.
"S-saya memiliki beberapa hal yang ingin saya tanyakan."
Akhirnya Helene berbicara. Walau suaranya sedikit bergetar dan tidak jelas. Mungkin karena ia takut. Karsten kini kembali pada pekerjaannya.
Melihat hal itu, Helene merasa diabaikan. Sebenarnya, pria ini mau mendengarkannya apa tidak, sih?
Sebuah gelas berisi anggur yang setengah penuh berada di ujung meja. Helene bersorak dalam hati karena Karsten memiliki sesuatu untuk diminum--dan sesuatu untuk diracuni. Entah memang budaya bangsa Noir atau memang hobi Karsten sendiri yang suka minum anggur di pagi hari.
Helene membugkuk, mencoba meraih tongkat di dalam gaunnya. Gerakan Helene tampaknya disadari Karsten dan itu menarik perhatiannya. Karsten menaikkan alisnya, bertanya pada Helene apa yang diributkan.
"Ada apa, Helene? Perutmu sakit?"
Helene cepat-cepat mengangkat tubuhnya hingga bagian belakang kepalanya tak sengaja membentur meja dengan keras. Helene mengaduh kesakitan sembari memegangi bagian belakang kepalanya yang sakit. Ia tiba-tiba merasa pusing.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Karsten. Ia kembali mengalihkan perhatian dari pekerjaannya hanya untuk menanyakan keadaan Helene.
"S-saya tidak apa-apa, Yang Mulia," jawab Helene sembari memegangi kepalanya yang masih sakit.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Karsten mengulang pertanyaannya. Kali ini ia tidak mengalihkan perhatiannya dari Helene. Ia menatap Helene seolah begitu lama.
Bagi Helene, tatapan Karsten seolah menguncinya dalam suatu dimensi gelap yang tidak berujung. Tentu ia tidak bisa menolak pesona dari mata merah yang tampak menghipnotis itu. Namun Helene mengabaikan perasaannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Karsten.
"Y-Yang Mulia, sebenarnya, hal ini tidak begitu penting."
"Kalau tidak begitu penting, kita bisa membicarakannya lain waktu."
Sial! Dia mengusirku! batin Helene.
"Mungkin ini akan menjadi sesuatu yang terdengar tidak penting bagi Yang Mulia. Namun sebagai seorang suami, apakah Anda tidak bersedia mendengar keluhan istri Anda?"
Karsten tersenyum. "Kalau begitu, katakan saja."
"B-baik." Helene melirik gelas anggur milik Karsten. Ia menggenggam tongkat yang berada di balik rok gaunnya.
"Helene?"
Helene kembali mendapat kesadarannya. "P-p-pelayan Anda, sangat tidak sopan kepada saya."
Karsten mengerutkan dahi. "Tidak sopan bagaimana? Semua pelayan di istana ini sudah dilatih untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Aku yakin mereka tidak akan melayanimu setengah hati."
Tangan Helene mengepal. Dalam hati, ia memaki-maki Karsten. "Mereka mendandaniku seperti hantu. Memakaikan gaun yang tidak nyaman untuk. Mengencangkan korsetku hingga napasku begitu sesak. Dan menyajikan daging berkualitas buruk untuk sarapan. Setelah itu, mereka menertawakanku. Apakah pelayanan di istana Noir memang seburuk ini?"
"Aku tidak yakin."
Helene membelalak. Mulutnya bergerak ingin mengucapkan umpatan. Kini tangannya gemetar bukan karena takut, tapi karena marah. Ia ingin secepatnya membunuh Karsten.
"Kalau kau ingin menyuruhku mengganti pelayan, aku akan melakukannya."
Karsten mengambil gelasnya. Mata Helene kini tak lepas dari gelas itu. Ia membungkuk, memutar tongkatnya, lalu mulutnya bergumam mengucapkan sesuatu.
"May murmiya."
"Apa yang kau lakukan?" tanya Karsten sembari mengerutkan dahi.
"Tidak ada, Yang Mulia." Helene tersenyum. Lega karena telah memantrai anggur itu.
Karsten tak sedikit pun curiga. Ia meminum anggurnya tanpa tahu kalau anggur itu dimantrai dengan mantra kematian. Helene tertawa dalam hati. Akhirnya kekesalannya berbuah manis. Karsten akan mati hari ini. Tinggal menghitung waktu saja bagi Helene untuk melihat kehancuran dari negeri ini.
Karsten tampak tak nyaman. Sepertinya mantra itu telah bereaksi dengan tubuhnya. Ia meletakkan anggur itu kembali ke meja. Ia memegangi lehernya, lalu memandang Helene.
Helene mengira Karsten akan tumbang dengan tubuh tertelungkup di meja lalu mulutnya mengeluarkan busa dan matanya memutih. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Karsten berdiri dari mejanya, membuat Helene membelalak kaget.
Bagaimana Karsten bisa berdiri? Padahal Helene yakin mantra itu akan membuat orang mati dalam sekejap. Helene tak mungkin salah.
Karsten mendekat. Ia memegang pipi Helene dengan lembut. Hati Helene berdesir. Hawa dingin merambati wajahnya. Helene tak bisa bergerak. Mata merah Karsten menatapnya lekat-lekat seolah ingin memenjaranya. Kini wajah mereka begitu dekat. Karsten semakin mempersempit jarak di antara mereka. Helene bahkan bisa merasakan dinginnya napas Karsten.
"Y-Yang Mulia, apa yang akan Anda lakukan?"
Helene yakin ia mengucapkan mantra kematian itu dengan lancar. Ia tidak mungkin sebodoh itu hingga melupakannya. Kecuali, kalau ia melupakan suatu hal.
"Ah, itu mantra penggoda, peningkat hawa nafsu." Helene yang baru tersadar mengucap dalam hatinya.
Tidak ada jalan untuk kabur. Karsten sudah menguncinya. Karsten menautkan bibirnya pada bibir Helene, memberinya sebuah ciuman yang tidak pernah Helene rasakan sebelumnya. Helene merasakan pipinya memanas sementara bibir Karsten menyentuh bibirnya.
"Helene Elanor, apa yang telah kau lakukan?! Aarrrghh!" Helene memaki dirinya sendiri dalam hatinya. Jika ia tidak salah menyebutkan mantra, semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Karsten tidak akan merebut ciuman pertamanya.
Ciuman lembut itu berubah menjadi ciuman panas yang penuh gairah. Helene tidak bisa menahannya lagi. Tangannya mendorong pundak Karsten, namun pria itu justru mendekapnya lebih erat.