Chapter 4 - Topeng

Di tengah kegelapan malam. Seorang pria bertubuh pendek keluar istana dengan diam-diam. Ia menyatu dalam bayangan malam, mencoba sebisa mungkin agar tidak terkena cahaya. Dengan cepat, ia bergerak menuju perbatasan yang jaraknya cukup jauh dari istana. Ketika sampai di kaki bukit, ia memejamkan mata dan mengucapkan sebuah mantra tanpa suara. Sebuah terowongan tercipta di kaki bukit dan siap untuk dilewati. Setelah memastikan keadaan aman, Wyn pun memasuki terowongan itu.

Pintu terowongan tertutup ketika Wyn masuk, menyisakan pemandangan kaki bukit yang alami dengan semak dan pohon-pohon yang mengelilinginya. Tidak ada yang tahu kalau kaki bukit itu adalah jalan rahasia menuju kerajaan Lumi.

Wyn Easton membuka topengnya, menampakkan wajahnya yang rupawan. Di hadapannya, ada utusan dari kerajaan Lumi yang telah menunggu lama di tengah kegelapan.

"Bagaimana?" tanya utusan itu.

"Semuanya lancar. Gadis itu melawan pada awalnya. Tapi akhirnya dia menurut. Raja telah menikah dengan seseorang dari kerajaan kita. Sesuai rencana," ujar Wyn.

"Bagaimana dengan keluarga gadis itu?"

"Aku sudah memastikan kalau mereka diberi imbalan yang cukup atas diambilnya anak gadis mereka."

Utusan itu mendengus. "Dan mereka tidak menuntut lebih?"

"Tidak. Sepertinya uang sudah cukup untuk membungkam mulut mereka. Selain itu, mereka ternyata memiliki hutang pada keluarga Raja di masa lalu."

"Hutang?" Si utusan mengerutkan dahinya.

"Lebih tepatnya hutang nyawa. Kudengar Isabel Elanor dan Yor Elanor pernah ditolong oleh raja sebelumnya di masa lalu. Sebagai wujud balas budi, mereka menjanjikan anak perempuan mereka untuk dinikahkan dengan anak laki-laki raja."

"Mereka bisa pindah ke kota lain kalau mereka mau."

"Nyatanya mereka tidak melakukan itu. Entah karena takut atau mereka memang sengaja tidak melakukannya."

"Apakah mereka memang berniat mengorbankan anak perempuan mereka?"

"Entah. Mungkin demi uang, atau apa pun itu. Petugas mengetahui rahasia mereka, kalau mereka adalah satu-satunya anggota keluarga Elanor yang tersisa. Mereka memiliki hutang pada rentenir dan tidak bisa membayarnya. Tidak akan ada yang mau mengorbankan anaknya untuk dinikahkan dengan keturunan bangsa Noir yang dikenal kejam di masa lalu, kecuali kalau mereka benar-benar terpaksa dan memerlukan uang. Itu justru memudahkan rencana kita. Mereka mendapat uang dan perlindungan dari pemerintah. Kita mendapatkan pion untuk menjatuhkan raja."

"Rencana yang bagus. Gunakan gadis itu sebaik mungkin. Jika rencana kita berhasil, kita bisa meruntuhkan kerajaan lalim ini."

"Baik, aku akan menjalankan rencana ini sebaik mungkin."

Utusan itu pergi menembus malam yang gelap. Tinggallah Wyn Easton sendirian. Wyn menatap bulan yang bersinar di langit malam dengan ditemani bintang-bintang kecil di sekitarnya. Malam yang indah untuk bermesraan bagi mereka yang sudah berpasangan. Sayangnya Wyn sendirian malam itu.

Ia menghela napas. Pekerjaannya belakangan ini sangat merepotkan. Ia harus berakting menjadi pria yang kejam untuk mengancam keluarga Elanor. Padahal ia tidak ingin melakukan itu.

Kalau boleh memilih, Wyn ingin meninggalkan pekerjaan ini secepatnya dan menjadi orang biasa. Orang biasa yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Menjadi penyusup di kerajaan lawan bukanlah pekerjaan impiannya. Siapa yang mau membahayakan nyawanya dengan menipu raja dari kerajaan Noir? Bisa-bisa ia dicincang dan dijadikan makanan anjing kalau ketahuan.

Wyn kembali memakai topengnya lagi. Ia harus kembali secepatnya ke istana sebelum orang-orang istana curiga karena ia pergi terlalu lama. Wyn pergi menuju kaki bukit. Mulutnya bergerak mengucapkan mantra tanpa suara, lalu lubang menuju kerajaan Noir tercipta. Dengan berat hati, Wyn berjalan melewati terowongan itu dan meninggalkan kampung halamannya.

Wyn berharap segala kebohongan ini berakhir begitu cepat.

***

Isabel Elanor dan Yor Elanor termenung sembari melihat setumpuk uang yang ada di atas meja ruang tamu mereka. Tadi sore, dua orang utusan dari kerajaan Lumi mengunjungi rumah keluarga Elanor untuk berterima kasih. Mereka berkata bahwa semua hutang keluarga Elanor telah lunas seluruhnya. Jadi keluarga Elanor tidak perlu berkejar-kejaran dengan para rentenir lagi. Sepasang suami istri itu berpandangan. Mata mereka berkaca-kaca. Kemudian keduanya berpelukan dan menangis dengan penuh haru.

"Akhirnya kita bebas!" isak Isabel.

Yor menepuk-nepuk punggung istrinya itu dengan lembut. "Iya, Sayang. Kita bisa hidup tanpa dihantui ketakutan pada rentenir lagi."

Isabel melepas pelukannya, lalu menghapus air matanya. "Aku masih tak bisa percaya kalau hutang kita yang miliaran itu bisa lunas secepat ini. Kini kita bisa memulai lembaran baru dalam kehidupan keluarga kita."

"Benar." Mata Yor tampak berbinar penuh harapan. Kedua tangannya memegang wajah istrinya itu sembari tersenyum. "Kita bisa membangun bisnis kita yang dulu."

Isabel mengangguk. Ia melirik ke arah tumpukan uang di meja. "Kita bisa kembali kaya dengan uang itu. Kita bisa memperbaiki kios dan membeli stok toko."

"Kita bisa berdagang di ibukota dan membeli kereta baru."

Air mata Isabel mengalir lagi. Ia pun kembali memeluk suaminya dan menangis histeris. "Sayang...."

"Ya, ya, Sayang. Aku tahu. Aku juga sangat bahagia."

Freda Elanor yang tengah menyisir rambut di kamarnya merasa terganggu dengan suara tangisan kedua orang tuanya itu. Ia menggerutu, "awas saja kalau mereka menghabiskan semua uang itu untuk membangun kios". Freda masih berpura-pura gila. Ia tidak bisa berhenti berpura-pura meskipun utusan telah membawa Helene pergi. Ia tidak ingin kebohongannya diketahui oleh kedua orang tuanya. Bisa-bisa ia dianggap sebagai anak durhaka.

Di rumah ini, Freda bertugas untuk mengawasi gerak-gerik orang tuanya dan melaporkannya ke Irmina dan Evony. Ia tidak mengerti mengapa ada petugas dari kerajaan datang ke rumah. Namun ia yakin itu pasti ada hubungannya dengan perjodohan itu. Apakah orang tuanya bekerja sama dengan pemerintah untuk menjual anak perempuannya pada kerajaan Noir? Freda hanya menebak-nebak. Namun setelah mendengar bahwa kerajaan membayar seluruh utang keluarga, bahkan memberikan mereka banyak uang, Freda yakin dugaannya pasti benar.

Freda memandangi wajahnya di cermin. Ia sangat rindu wajah cantik penuh riasan itu, tidak seperti wajahnya yang lusuh karena jarang mandi seperti biasanya. Rambutnya yang biasanya berantakan pun kini tersisir rapi dan lurus.

"Freda, kau pasti adalah perempuan paling cantik di kerajaan ini." Freda memuji dirinya sendiri.

Hanya sampai hari ini saja Freda tampil cantik. Ia berencana keluar rumah seharian. Isabel hanya akan memeriksa kamarnya ketika malam tiba. Jadi ia akan kembali sebelum malam. Kemarin Irmina mengenalkannya pada seorang pria dari desa sebelah. Freda tak bisa meninggalkan kesempatan ini. Ia sudah berusia 19 tahun, tapi tidak pernah berkencan sekali pun seumur hidupnya. Freda berharap laki-laki itu bersedia membawanya pergi dari rumah orang tuanya.

Freda membuka jendela. Tampak langit gelap bertabur bintang secantik permata. Bulan yang berdiri di tengah-tengah mereka tampak secantik mutiara di laut. Senyum terukir di wajah Helene. Ia melempar sepatunya ke bawah. Lalu dengan hati-hati, ia mengangkat roknya dan memanjat jendela.

Namun sebelum kakinya menyentuh tanah, sebuah suara memanggilnya dengan nada amarah yang menggelegar.

"FREDA ELANOR!"

Tubuh Freda seperti membeku di tempat. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Isabel telah berdiri di ambang pintu dengan wajah berkerut penuh kemarahan. Freda membelalak. Ternyata ia lupa mengunci pintu dari dalam.

Isabel berjalan tergesa-gesa ke arah Freda. Ia menarik Freda dari jendela sehingga tubuh Freda terjatuh ke lantai kamarnya dengan keras. Ia merintih pelan sembari memegangi pantatnya yang sakit.

"Mau ke mana kau malam-malam begini?!" bentak Isabel. Ia memerhatikan penampilan Freda yang berbeda dari biasanya. Isabel tiba-tiba menyadari sesuatu. "Jadi selama ini kau hanya berpura-pura gila?!"

Napas Freda tercekat. Ia mendongak dan memandang Isabel dengan mata membelalak. Kali ini, ia telah tertangkap basah. Kebohongannya selama dua tahun belakangan telah terbongkar.

"Sudah kuduga." Isabel menghela napas, berusaha mengatur emosi. "Freda, kau--"

"Aku tidak bersalah!" potong Freda. "Ibu berniat menjualku ke Kerajaan Noir. Aku hanya berusaha melindungi diriku. Aku tahu keluarga kita memiliki janji masa lalu konyol dan hutang yang membuat kita hidup menderita. Karena itu kalian berusaha memenuhi hutang tersebut dengan menjual salah satu anak perempuan kalian sebagai tumbal. Sebagai gantinya, kalian mendapatkan harta yang melimpah ketika kami menderita. Kalian tidak pernah memikirkan kami!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat telak di pipi kanan Freda. Freda memegangi pipinya yang membengkak dan berwarna kemerahan. Ia menangis tanpa suara.

"Jaga bicaramu! Kau tidak tahu betapa sulitnya kami menjaga keluarga ini. Kau kira aku menginginkan semua ini?! Kau kira aku memang sengaja menjual anakku kepada para biadab itu?! Freda, tidak ada orang tua yang benar-benar tega membiarkan anak mereka menderita!" Isabel terisak. Ia bersimpuh di lantai di hadapan Freda. "Freda, Ibu pun selalu memikirkan kalian. Semalaman aku tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan Helene. Aku takut iblis-iblis itu akan melukainya."

"Kalau kalian memang memikirkan kami, kenapa kalian membiarkan perjodohan itu tetap terjadi? Kalian bisa pergi ke mana pun kalian mau."

"Kami sudah mencobanya, Freda. Sebelum sampai di tempat ini, kami sudah berpindah rumah tiga kali. Namun iblis itu masih saja menemukan kami. Jika keluarga kita tidak memenuhi janji itu, para iblis itu akan membunuh kita semua."

Freda terdiam.

"Ibu tahu. Selama ini, Irmina dan Evony juga merencanakan sesuatu untuk menggagalkan perjodohan ini."

"Gawat," desis Freda.

Yor Elanor datang tak lama kemudian setelah terganggu dengan keributan yang terdengar dari kamar Freda. Beberapa menit yang lalu, Isabel tiba-tiba berjalan ke arah kamar Freda dengan tergesa-gesa. Yor tidak tahu apa yang terjadi. Seharusnya ini adalah malam penuh kebahagiaan bagi keluarga mereka. Namun suasana yang ia dapati sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan.

"Ada apa ini?" tanya Yor Elanor.

Isabel berdiri dan merapikan penampilannya. "Tidak apa-apa, Sayang. Hanya ada kesalahpahaman kecil di antara kami. Kami tidak apa-apa."

"Apakah itu Freda? Ya ampun. Cantik sekali anakku ini! Tidak seperti biasanya," ucap Yor begitu menyadari keanehan dalam penampilan Freda.

"Sayang, kau pasti masih sakit. Aku akan mengantarmu ke kamar."

Isabel pun menggiring Yor keluar kamar. Namun sebelum ia mengantar Yor ke kamarnya, ia menggelandang Freda ke kasur. Ia mengunci jendela rapat-rapat.

"Kalau aku tidak menemukanmu di kamar ini besok pagi, kau akan tahu akibatnya!" ancam Isabel.

Freda tak berani berkutik. Ia meringkuk di kasur seperti kucing yang tertangkap mencuri ikan.

Isabel menutup pintu kamar Freda dengan keras hingga menimbulkan suara "BRAK!" yang keras. Setelah itu, ia menguncinya dari luar.

Kamar Freda kini gelap. Freda sendirian. Ia memeluk lututnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya.