Saat Helene terbangun, Karsten tidak ada di sisinya. Ia buru-buru membuka selimut untuk memastikan bahwa dirinya aman. Gaun tidur hitam tipis itu masih melekat di tubuhnya. Helene menghela napas lega. Ternyata Karsten tidak berbuat macam-macam padanya.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara ketukan pintu yang terdengar sedikit tergesa-gesa, diikuti oleh suara yang dikenal Helene.
"Yang mulia, bolehkah kami masuk?" tanya pelayan yang berada di luar kamar Helene.
"Boleh. Silakan masuk," jawab Helene setengah berteriak.
Pintu kamar terbuka lebar. Beberapa pelayan masuk ke kamar. Mereka adalah pelayan-pelayan yang kemarin mendandani Helene. Dua orang pelayan tampak menghindari kontak mata dengan Helene, bahkan mereka berbisik-bisik di belakang.
"Apakah kita akan baik-baik saja?"
"Entahlah. Aku takut dia akan mendorongku seperti kemarin."
Helene yang tak sengaja mendengar perbincangan itu menoleh pada kedua pelayan itu. Begitu mengetahui Helene menyadari aksi mereka, kedua pelayan itu pun bungkam.
"Kami akan melayani Anda mulai hari ini, Yang Mulia Ratu." Pelayan tertua menunduk hormat diikuti oleh pelayan-pelayan yang lain.
Helene tidak pernah dilayani sebelumnya. Ia pun merasa canggung menanggapi para pelayan itu. "M-mohon kerjasamanya."
Pagi ini, untuk pertama kalinya Helene merasakan segala kemewahan yang belum pernah ia alami seumur hidupnya. Ada pelayan yang memberinya sarapan lezat, memilihkan baju untuknya, bahkan memandikannya. Namun Helene merasa semua itu tidak perlu karena ia terbiasa melakukan segala sesuatu secara mandiri. Helene pun merasa pelayanan yang diberikan oleh para pelayan itu sangat buruk dan dilakukan dengan terpaksa.
Mereka terlalu memasang korset Helene terlalu kencang, menyentuh Helene dengan kasar, bahkan makanan yang mereka masak pun tidak enak. Meskipun dilayani oleh orang lain merupakan suatu kemewahan dalam hidup Helene, ia merasa sama sekali tidak puas. Lebih baik ia melakukan segala sesuatu sendirian daripada dilayani dengan tidak baik.
"Karena tugas kami telah selesai, kami pamit undur diri. Panggil saja kami apabila Yang Mulia membutuhkan," ucap pelayan tertua.
Setelah itu, pintu kamar ditutup dengan kasar. Di depan kamar Helene, para pelayan itu tertawa dengan keras seolah-olah mereka baru saja melihat sesuatu yang lucu.
"Kau lihat ekspresi kecewanya tadi? Ya ampun, sepertinya dia tidak tahu kalau aku menyajikan daging dengan kualitas paling buruk untuk menu sarapannya!"
"Dia juga tampak tidak nyaman dengan korsetnya. Tapi dia sama sekali tidak memprotes. Sepertinya dia takut pada kita."
"Hahaha! Dasar orang Lumi bodoh! Bisa-bisanya raja memilih perempuan dari negara lawan untuk menjadi istrinya."
"Aku justru kasihan pada perempuan itu."
Hati Helene mencelus begitu mendengar pembicaraan itu. Tidak ada yang menghormatinya di sini. Bahkan para pelayan pun menganggapnya lebih rendah daripada mereka. Padahal di sini, statusnya adalah seorang ratu. Tunggu, apakah ia benar-benar dianggap ratu?
Helene memandang penampilannya sendiri di cermin. Jelas sekali bahwa para pelayan tadi tidak serius mendandaninya. Rambutnya yang cokelat dibiarkan terurai ala kadarnya. Wajahnya pun tidak bertambah cantik meskipun telah dirias, tetapi justru sebaliknya. Ia terlihat seperti orang yang tidak tidur berhari-hari. Pelayan-pelayan itu memoleskan banyak bedak di wajahnya sehingga wajahnya tampak pucat. Perona mata berwarna hitam dipoles secara berlebihan di kelopak mata dan bagian bawah matanya. Bibirnya pun dipoles dengan lipstik berwarna hitam. Bangsa Noir memang menyukai warna hitam. Namun dandanan mereka tidak sampai separah itu. Helene sempat melihat para pelayan tertawa melihat hasil riasan yang mengerikan itu. Namun Helene tetap diam.
Kekesalan menggumpal dalam hati Helene. Tangannya terkepal. Ia hendak meninju kaca hingga pecah. Namun ia mengurungkan niat itu. Helene memegangi dadanya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan-lahan.
"Tenang, Helene. Kau sudah terbiasa menghadapi ini," ucapnya, berusaha menenangkan diri.
Helene pun berusaha melepas gaun itu dari tubuhnya. Namun ternyata melepaskan sangat sulit. Para pelayan memilih gaun yang memiliki banyak tali dan kancing sehingga pemakainya kesulitan untuk melepaskannya. Gaun itu pun sengaja dibuat berlapis-lapis untuk membuat Helene tampak gendut. Tidak ada cara lain. Ia pun merobek gaun itu sehingga mudah melepaskannya. Kini Helene hanya memakai dalaman tipis.
Setelah melepas gaun, ia pun pergi ke kamar mandi untuk menghapus riasannya. Wajahnya tampak lebih baik tanpa riasan serbahitam itu. Ia tersenyum memandang wajahnya yang polos tanpa riasan itu.
"Kau cantik, Helene. Jangan biarkan mereka meremehkanmu," gumam Helene.
Kakinya lemas. Ia pun terduduk di lantai kamar mandi. Helene tak peduli dengan lantai kamar mandi yang dingin dan lembab. Ia berbaring di sana. Air matanya mengalir lagi. Keadaan ini terlalu berat untuknya. Sendirian, tidak dicintai, tidak mengetahui apa pun. Bahkan para pelayan pun menolaknya.
Helene bangkit dari lantai kamar mandi, lalu menghapus air matanya. Ia keluar dari kamar mandi. Kemudian membuka almari pakaian. Helene mendengus begitu mendapati gaun-gaun yang terdapat di dalam lemari kebanyakan berwarna hitam. Ia menyibak gaun-gaun itu untuk menemukan warna yang lain. Ternyata ada pintu rahasia di dalam almari itu. Karena penasaran, Helene pun membukanya. Ternyata di dalam sana terdapat berbagai koleksi gaun berwarna cerah yang sangat cantik.
Helene mengambil salah satu gaun berwarna merah muda dengan hiasan bunga dan renda. Ia pun mengenakan gaun indah itu. Helene berputar di depan cermin. Ia tampak seperti putri dalam dongeng. Gaun itu pas di tubuhnya yang kecil. Helene pun mulai menata rambutnya. Ternyata pintu rahasia di almari tidak hanya menyimpan gaun saja, tetapi juga aksesoris yang mendukung penampilan. Helene pun mengenakan hiasan rambut berbentuk pita yang warnanya senada dengan gaun yang ia gunakan. Ia pun mengenakan sepatu putih dengan hiasan mutiara dan pita yang berwarna merah muda. Agar penampilannya makin cantik, Helene pun memoleskan riasan tipis-tipis pada wajahnya. Ia tampak cantik seperti putri sungguhan.
"Ini lebih baik," ucap Helene.
Helene pun membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci, lalu berjalan keluar. Ia ingin menemui Karsten.
Semua orang di istana terkejut dengan penampilan Helene yang sangat berbeda dari yang lain. Namun Helene tidak peduli. Ia terus berjalan melewati orang-orang yang membicarakannya dari belakang.
"Lihat itu! Dia terlihat seperti akan menghadiri pesta ulang tahun."
"Apa-apaan itu?"
"Tidak sopan!"
Namun di antara orang-orang yang mencela penampilannya, ada juga orang-orang yang kagum pada kecantikan Helene. Para pelayan yang bosan dengan warna hitam yang terlihat setiap hari tampaknya melihat Helene sebagai cahaya di tengah kegelapan. Kecantikan Helene tampak bersinar terang bagaikan bintang di malam hari yang gelap.
Helene menggeleng, berusaha tak memikirkan cemoohan itu. Ia hanya ingin berbicara pada Karsten, pada suaminya. Itu saja. Ia ingin membicarakan banyak hal padanya. Namun istana itu sangat besar. Ia tidak tahu di mana letak ruang kerja Karsten. Ia pun tidak sudi bertanya pada para pelayan. Ia tidak memercayai mereka.
"Yang Mulia," seseorang memanggilnya.
Helene menoleh. Dirinya seolah membeku begitu melihat Wyn Easton berjalan menghampirinya.
"M-mau apa kau?" Helene mundur satu langkah begitu Wyn sudah berada di hadapannya.
"Anda mencari ruangan Raja, bukan?" tanya Wyn, mengabaikan sikap hati-hati Helene barusan.
Helene mengangguk. "Kalau ya, memangnya kenapa?"
"Ke arah sini, Yang Mulia. Saya akan mengantar Anda ke ruangan Yang Mulia Raja."
"Huh! Memangnya aku dapat memercayaimu? Kau kira aku lupa dengan perbuatanmu yang kemarin?"
Wyn membungkukkan badannya sebagai isyarat untuk meminta maaf. "Saya memang berlebihan kemarin. Saya minta maaf. Saya melakukan hal itu semata-mata demi Yang Mulia Raja. Jika Anda kabur, pernikahan akan dibatalkan dan Yang Mulia Raja akan sedih."
"Aku tidak peduli mau rajamu itu sedih atau tidak. Aku hanya ingin pergi dari tempat ini," gumam Helene.
"Saya mendengarnya, Yang Mulia," ucap Wyn.
Helene membelalak. Namun ia berpura-pura tidak mengatakan apa pun.
Wyn tersenyum melihat reaksi Helene. "Anda pasti ingin membicarakan hal yang serius dengan Yang Mulia Raja sehingga tergesa-gesa begitu. Karena itu, izinkan saya mengantar Yang Mulia agar kalian bisa berbicara berdua."
"Baiklah. Antar aku ke ruangan Raja!"
"Mari."
Helene pun mengikuti Wyn berjalan menuju ruangan Karsten. Helene tidak sepenuhnya memercayai Wyn. Namun ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan. Helene mengawasi sekitar, memastikan semuanya aman. Tidak ada pelayan yang lalu-lalang di tempat itu. Baguslah. Tidak akan ada yang menguping pembicaraan mereka.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu." Helene mulai bersuara, memecah kesunyian di antara mereka.
"Tanyakan apa saja pada saya, Yang Mulia."
"Mengapa kau bekerja untuk raja Noir padahal kau berasal dari negeri Lumi?"
Wyn berhenti berjalan. Ia berbalik badan, lalu menarik Helene ke suatu ruangan yang gelap tak jauh dari situ. Wyn mengunci tempat itu dari dalam. Ia mendorong Helene hingga perempuan itu terjatuh ke lantai yang dingin. Hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Helene tidak tahu apa yang akan Wyn lakukan. Namun firasatnya buruk mengenai hal ini.