Ketika Helene terbangun, hari sudah pagi. Itu artinya ia hampir tertidur semalaman. Kini ia berada di atas kasur yang mewah. Ruangan tempatnya berada cukup luas untuk ukuran sebuah kamar tidur. Ia beranjak dari kasur mewah itu dan melihat-lihat sekitar. Ingatan tentang kejadian kemarin membuat kepalanya pusing. Segalanya terjadi begitu cepat, bahkan ia tidak memiliki waktu untuk berpikir jernih.
Ia tidak ingin menikah, apalagi menikah dengan keturunan bangsa Noir. Noir dan Lumi adalah dua klan besar yang terkenal dalam dunia sihir. Klan Lumi adalah sekumpulan penyihir pengguna energi cahaya dan alam. Mereka berpihak pada sihir putih. Kebanyakan dari mereka dikenal sebagai golongan penyembuh. Bangsa Noir adalah sebaliknya. Mereka menggunakan sihir gelap yang terlarang dalam dunia sihir. Bangsa Noir juga senang melakukan ritual-ritual aneh yang berhubungan dengan iblis. Tidak ada rumor baik mengenai mereka.
Dulu bangsa Noir dan Lumi hidup berdampingan dalam suatu negara. Namun karena ulah leluhur dari bangsa Noir di masa lalu, terjadilah perpecahan yang menimbulkan peperangan antara bangsa Noir dan bangsa Lumi. Bangsa Noir yang kalah, lalu pergi dari kerajaan dan mendirikan kerajaan baru di balik bukit Helmera. Bukit itulah yang memisahkan kerajaan Lumi dan kerajaan Noir. Apabila ingin melewati bukit itu, seseorang harus menyebutkan mantra khusus. Hanya para petinggi bangsa Noir yang mengetahui mantra itu.
Meskipun begitu, Helene yakin ada jalan keluar lain.
"Aku harus keluar dari tempat ini," gumam Helene.
Ia pun berusaha kabur lewat jendela. Namun jendela di kamar itu terkunci semua. Helene pun mencoba kabur lewat pintu. Namun pintu pun sama saja. Semuanya telah terkunci. Helene mencoba sekuat tenaga untuk menggedor pintu dan menghancurkan kaca jendela dengan benda-benda yang ada di kamar itu. Namun semua usahanya sia-sia. Kini kondisi kamar sangat berantakan, tetapi ia masih terjebak di dalamnya.
Helene merasa putus asa. Dari jendela, terlihat langit telah gelap. Bangsa Noir dikenal lebih aktif beraktivitas di malam hari. Karena itu, kesempatannya untuk kabur sangatlah kecil. Helene merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dipandanginya langit-langit kamar sembari memikirkan bagaimana caranya kabur dari tempat ini.
Ketika Helene sibuk memikirkan cara untuk kabur. Pintu kamarnya terbuka. Beberapa pelayan yang masuk tampak terkejut dengan kondisi kamar yang berantakan. Helene memanfaatkan kesempatan tersebut untuk kabur dari situ.
"Minggir!" teriak Helene. Ia tak sengaja menabrak salah satu pelayan hingga pelayan itu terjatuh.
"Volis avena!"
Tubuh Helene tiba-tiba tak bisa bergerak. Ia pun jatuh bersimpuh di bawah kaki seorang petugas berjubah hitam. Helene mendongak. Wyn Easton berada di hadapannya sembari tersenyum sinis.
"Kau harus segera bersiap, Nona. Raja sudah menunggumu," ucap Wyn.
"Wyn Easton!" ucap Helene penuh penekanan.
Wyn mengabaikan Helene dan berkata pada pelayan, "Bawa dia!"
"Baik, Tuan," ucap para pelayan sembari menarik tubuh Helene yang lumpuh untuk sementara waktu.
Helene ingin berontak. Namun tubuhnya masih tak bisa digerakkan. Ia hanya bisa memaki-maki Wyn dengan kasar.
"Kalian bangsa biadab! Lepaskan aku!" teriak Helene.
"Avyr," desis Wyn.
Suara Helene tidak keluar. Wyn telah memantrainya dengan mantra lumpuh dan mantra diam. Tidak ada yang bisa Helene lakukan selain diam dan pasrah dengan keadaan.
Sementara Helene dibawa masuk pelayan ke kamarnya, Wyn kembali memakai topeng peraknya lagi dan pergi meninggalkan tempat itu.
"Merepotkan sekali," gumamnya.
***
Upacara itu dilaksanakan pada malam hari. Pernak-pernik pernikahan dan aksesori pengantin dibuat indah dan mewah seperti pernikahan pada umumnya. Helene tampil dengan balutan gaun pengantin berwarna hitam. Ya, hitam. Bangsa Noir tidak suka warna yang mencerminkan bangsa Lumi. Jadi gaun pernikahan pun dibuat hitam untuk merepresentasikan bangsa Noir.
"Seperti upacara pemakaman saja," gumam Helene.
Helene digiring menuju sebuah aula besar. Karpet merah digelar di tengah-tengah altar. Di kedua sisinya, para tamu undangan, yaitu bangsawan-bangsawan berdiri berjejeran. Bukan hanya si pengantin yang mengenakan gaun hitam. Para tamu juga mengenakan pakaian serbahitam. Selain menggunakan pakaian serbahitam, mereka juga mengenakan topeng perak yang menutupi sebagian wajah mereka. Dua jendela besar di kedua sisi altar dibiarkan terbuka dan menyuguhkan pemandangan langit biru jernih tanpa setitik pun awan. Cuaca yang sangat cerah dan sangat mendukung upacara pernikahan.
Si pengantin pria, laki-laki yang tidak pernah dilihat Helene sebelumnya, berdiri di altar dengan balutan busana kerajaan yang juga seluruhnya berwarna hitam. Helene sedikit terkejut ketika melihat wajah pria itu. Ia tampak seperti manusia normal. Selama ini selalu muncul rumor dari kalangan penyihir pengikut klan Lumi bahwa pemimpin bangsa Noir berwujud sangat menakutkan. Beberapa rumor mengatakan kalau ia adalah iblis betulan, ada pula yang mengatakan wujudnya adalah manusia berkepala kambing, bahkan ada yang mengatakan kalau wajahnya rusak. Namun pria yang ada di hadapan Helene saat ini jauh dari rumor itu. Paras sang raja tampak rupawan, sangat jauh dari kesan seram. Helene yakin perempuan mana pun akan tertarik padanya. Namun di balik wajah tampan itu tampak adanya hawa kesedihan dalam matanya.
Mereka pun mengikat janji dengan dipimpin oleh seorang pastor yang juga berpakaian hitam-hitam.
"Karsten Noir, apakah kau bersedia menerima Helene Elanor sebagai istrimu, menemaninya di kala sakit, dan mencintainya sampai mati?" ucap pastor.
"Saya Karsten Noir bersedia menerima Helene Elanor sebagai istri, saya akan menemaninya saat sakit, dan mencintainya sampai mati," ucap Karsten.
Mereka kemudian saling bertukar cincin. Helene merasakan hawa dingin yang menusuk ketika Karsten menyentuh tangannya. Ia seperti baru saja menyentuh es. Karsten menyingkap tudungnya, lalu mencium keningnya. Helene merasa seluruh tubuhnya membeku. Ia bertanya-tanya mengapa tubuh Karsten terasa begitu dingin, bahkan lebih dingin dari mayat.
Seluruh tamu yang hadir bertepuk tangan. Aula yang semula terasa sunyi, senyap, dan mencekam tiba-tiba terasa penuh dengan kehidupan dalam sesaat. Helene melirik para tamu yang hadir. Aneh. Tidak ada yang tersenyum sama sekali. Beberapa orang berbisik-bisik. Dan suaranya terdengar di telinga Helene.
"Kudengar dia adalah manusia biasa yang tidak memiliki gelar."
"Ya Ampun, kasihan sekali."
"Dia bukanlah istri yang pantas untuk raja."
Hati Helene mencelus begitu mendengar ucapan mereka. Aula itu terasa pengap baginya. Ia ingin segera pergi dari ruangan itu, dari istana itu, dari semuanya. Karsten Noir, raja dari kerajaan ini sekaligus pria yang dinikahinya tersenyum miring. Napas Helene tercekat. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti. Namun ia harap semuanya akan baik-baik saja.
***
Malamnya, Helene berada di kamar. Kamar Helene yang semula berantakan seperti kapal pecah kini tampak rapi seperti semula. Kamar itu dihias sedemikian rupa hingga tampak mewah dan romantis. Dekorasinya diubah. Sepertinya segala dekorasi yang ada di kamar ini sengaja dibuat sepasang. Misalnya bantal sepasang, sandal untuk laki-laki dan perempuan, dua buah almari besar, dan lain sebagainya. Aroma mawar menguar di seluruh sudut kamar. Tak hanya itu. Ada beberapa kelopak mawar merah di atas sprei. Benar-benar kamar yang romantis.
Helene duduk di tepian kasur. Ia mengenakan baju tidur tipis berwarna gelap yang dipilihkan para pelayan. Helene tidak bisa menolak kali ini. Ia tidak ingin dilumpuhkan seperti tadi pagi. Tak kalah dengan tadi pagi, ia didandani sangat cantik malam ini. Rambutnya yang lurus kecoklatan dibiarkan terurai. Wajahnya dipoles dengan riasan yang tipis-tipis sehingga tampak natural, tapi tetap cantik.
Ia tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Pasangan yang baru menikah tentu akan melakukan ini dan itu di malam pertama pernikahan mereka. Helene tidak siap. Seumur hidup, ia tidak pernah mengencani seorang pria, apalagi memiliki kekasih. Ia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal ini. Selain itu, ia juga tidak ingin mahkotanya direbut oleh pria yang bahkan tidak dicintainya. Usianya baru 17 tahun. Seharusnya saat ini ia masih sibuk belajar di akademi untuk meraih gelar sebagai penyihir profesional.
Helene berjengit merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak. Sebuah tangan sedingin es menyentuh pundaknya, membuat Helene berteriak histeris dan menampik tangan yang menyentuhnya itu dengan kasar. Karsten Noir kini berada di hadapannya dengan bertelanjang dada. Helene membelalak. Ia berteriak sekali lagi, lalu menarik selimut dan beringsut ke ujung kasur. Keringatnya bercucuran dan tubuhnya gemetar. Jantungnya berdegup sangat kencang.
"Tidak, tidak, tidak! Aku tidak ingin kehilangan kesucianku malam ini!" batinnya.
Karsten mengambil sebuah kemeja di dalam lemari, lalu memakainya. Helene menghela napas penuh kelegaan karena ia tidak perlu melihat tubuh telanjang Karsten lagi.
"Tenang. Aku tidak akan menyentuhmu," ucap Karsten.
Helene terdiam.
"Kau masih sangat muda. Aku tahu kau juga tidak mencintaiku." Karsten melanjutkan. "Pernikahan ini hanya juga hanya untuk formalitas saja."
Kata-kata itu terdengar dingin. Wajah Karsten pun tampak dingin tanpa ekspresi. Ia juga tidak memandang Helene ketika bicara.
Helene menggigit bibirnya, ingin bersuara. Ia merasa berterima kasih atas pengertian Karsten. Ia tidak tahu seperti apa karakter pria yang memimpin bangsa Noir ini. Namun ia harap sifatnya lebih baik dari utusannya yang bernama Wyn itu.
"Maafkan aku. Untuk sementara, berpura-puralah menjadi istriku. Demi diriku dan demi negeri ini." Suara Karsten terdengar putus asa. Kali ini Karsten menatap Helene sekilas, membuat Helene seolah membeku di tempat karena terpesona dengan mata merah itu. "Sebagai rasa terima kasih, aku akan mewujudkan apa pun keinginanmu."
"A-apa pun?" Helene memberanikan diri untuk bersuara.
Karsten mengangguk. "Katakan saja apa keinginanmu. Aku pasti akan mewujudkannya."
Seharusnya, Helene ingin berkata, "bebaskan aku dari sini", namun ia tahu Karsten pasti tidak akan mewujudkannya. Helene menggigit bibir bawahnya lagi. Ketika tahu Karsten masih memerhatikannya, ia menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk sebuah senyum simpul yang mempesona.
"Untuk saat ini, sementara tidak ada, Yang Mulia," ucapnya.
"Baiklah kalau begitu." Karsten beranjak dari duduknya. "Bisa kau minggir sedikit? Aku lelah. Aku ingin tidur sekarang."
"Anda... ingin tidur... di sini? Di sebelah saya?" Pipi Helene kembali memerah.
Karsten mengangguk. "Ya. Untuk saat ini, kita harus tidur bersama agar tidak menimbulkan kecurigaan dari para dewan."
"T-tapi...."
Tapi aku tidak mungkin tidur denganmu. Helene ingin berkata begitu. Namun kata-kata itu disimpannya dalam hati karena tidak ingin menyinggung Karsten.
"Kalau kau tidak mau aku tidur di sampingmu, aku bisa tidur di lantai," ucap Karsten.
Seorang raja tidur di lantai? Helene akan merasa sangat tidak sopan jika membiarkan hal itu terjadi. Apalagi malam ini, setelah dilihat-lihat Karsten sangat baik padanya. Ia tidak seperti bangsa Noir yang selama ini ada dalam bayangan Helene. Karsten kelihatanya adalah seorang pria yang baik dan sopan.
"Yang Mulia tidak perlu melakukannya!" seru Helene. Ia bergeser sedikit ke kanan untuk memberikan ruang bagi Karsten. Ia menepuk-nepuk bagian kasur yang ia berikan untuk Karsten sambil tersenyum canggung. "D-di sini! Silakan tidur dan beristirahat!"
"Terima kasih," ucap Karsten lalu tanpa basa-basi lagi ia segera merebahkan diri di samping Helene. Matanya terpejam. Beberapa detik kemudian, ia telah tertidur pulas.
Helene memerhatikan wajah tampan suaminya itu dalam diam. Wajah yang tadi tampak dingin tanpa ekspresi itu kini terlihat sangat damai. Helene iseng melambaikan tangannya di atas mata Karsten. Karsten tidak bereaksi dan masih tertidur pulas. Sepertinya ia sangat lelah. Helene tersenyum kecil. Namun kemudian ia menampar pipinya sendiri.
"Sadarlah, Helene. Dia itu raja dari bangsa Noir. Hanya karena dia tidur sangat pulas. Bukan berarti dia tidak kejam dan bengis," desis Helene pada dirinya sendiri.
Helene menghela napas, kemudian menarik selimut. Ia tidur dengan posisi membelakangi Karsten.
Karsten membuka matanya perlahan. Sebenarnya ia tidak sepenuhnya tertidur tadi. Ia memerhatikan punggung indah istri kecilnya itu. Mulutnya membentuk sebuah senyum tipis. Mungkin hari ini, ia merasa sedikit bahagia.