"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Galih Permana bin Arman Pratama dengan Che-"
Kata-kata itu terhenti seketika. Lelaki berusia empat puluhan itu melihat kembali kertas yang ada di hadapannya. Kenapa namanya bisa berubah? Bukankah seharusnya saat ini, dia menikahkan adik bungsunya dengan Galih? Siapa yang telah membuat kekacauan dengan mengubah nama mempelai pengantin wanita dengan nama anaknya?
Bisik-bisik tamu yang menghadiri akad nikah pagi itu tak terbendung. Wajah Damar tampak merah padam. Dia tahu, anak sulungnya menyukai Galih. Namun, Cherryl rasanya tak mungkin melakukan hal sekonyol ini. Dua buah buku nikah yang ada di samping tangannya menjadi pusat perhatian. Damar melepaskan tautan tangannya dengan pemuda yang menatapnya bingung.
Dibolak-baliknya kedua buku bergambar lambang pancasila itu. Bahkan, foto yang tercantum di sana adalah foto Cherryl dan Galih, bukan foto Syifa.
"Ada apa, pak Damar? Apa ada kesalahan?" tanya petugas KUA.
"Ah tidak, Pak. Saya hanya heran saja kenapa di buku nikah ini foto anak saya? Bukankah saat saya memberikan berkas kemarin, saya menyerahkan foto adik saya, Syifa. Dan, yang tertulis di sini juga nama anak saya, Cherryl."
"Lho, bukannya memang benar, Pak? Ada yang datang ke kantor. Katanya, suruhan pak Damar. Beliau memberikan berkas yang saat ini datanya tertulis di sana. Beliau juga mengatakan kalau yang kemarin itu pak Damar salah memberikan berkas. Jadi, bagaimana ini, Pak? Saya masih harus menikahkan beberapa orang lagi hari ini."
Shelomita, istri Damar tampak tergopoh mendekati suaminya. Wanita itu mendekatkan bibir ke telinga Damar yang membuat lelaki itu mengepalkan tangan menahan amarah.
"Bagaimana bisa, Ma? Bukannya semalam Syifa ada di kamarnya?" bisiknya bertanya.
Mita hanya menggeleng dengan wajah pucat. Semalam, Mita memang melihat kalau Syifa tidur di kamarnya. Pagi ini pun, saat tukang rias datang, Syifa masih ada. Entah bagaimana hingga gadis itu tiba-tiba menghilang dan posisinya digantikan oleh Cherryl. Putri sulung Damar dan Shelomita tampak sudah siap mengenakan kebaya pengantin dan juga riasan yang menambah kecantikannya.
"Om, Tante, sebenarnya ada masalah apa?" tanya Galih saat kedua calon kakak iparnya menampakkan raut wajah panik.
"Emm, Galih, boleh om ngobrol sebentar sama kamu? Ada hal penting yang nggak bisa kita bicarakan di sini."
"Boleh, Om."
"Pak, sebentar, ya. Saya ada urusan sedikit," pamit Damar pada petugas KUA yang juga nampak kebingungan.
"Ada apa ya, Om? Kelihatannya serius sekali? Apa mbak Syifa sakit?" tanya Galih begitu hanya ada mereka berdua di sebuah ruangan.
"Om bingung harus memulai dari mana, Lih. Semua ini sebenarnya sangat membingungkan."
"Maksud, Om?"
"Syifa nggak ada di kamarnya. Mita dan yang lain sudah mencarinya ke seluruh penjuru rumah tapi nggak ada."
"Mbak Syifa kabur? Kok jadi gini, sih? Bukannya waktu itu mbak Syifa udah setuju untuk menikah sama aku?"
"Om sendiri nggak ngerti, Lih. Nggak ada tanda-tandanya sama sekali kalau Syifa akan kabur. Bahkan kata Mita, tadi pagi sewaktu perias datang Syifa masih ada. Tapi sekarang, malah Cherryl yang ada di kamar Syifa dan mengenakan kebaya yang seharusnya dipakai Syifa."
"Hah? Om, ini nggak masuk akal. Apa Om sengaja mau mempermalukan keluarga aku?"
"Enggak Lih, om sendiri kaget. Bahkan, tadi saat om akan mengucapkan ijab, bukankah om langsung berhenti?"
"Iya, aku masih heran kenapa om Damar nggak menyelesaikan kalimat ijab yang harus om ucapkan."
"Semua karena apa yang tertulis di sana bukan nama Syifa, melainkan Cherryl."
"Apa? Om, Om nggak bercanda, kan? Yang mau aku nikahi itu mbak Syifa, bukan Cherryl," tegas Galih.
"Itu sebabnya tadi om tanya sama penghulu, bagaimana bisa semua jadi kacau seperti ini. Berkas yang atas nama Syifa telah berganti dengan nama Cherryl."
Damar mengusap wajahnya merasa frustasi. Dia merasa dipermainkan oleh adik dan anaknya sendiri. Kalau memang Syifa menolak untuk menikah dengan Galih, harusnya Syifa bilang baik-baik. Bukan seperti ini caranya.
"Lalu kita harus bagaimana, Om? Apa pernikahan ini harus dibatalkan?"
"Tidak! Jangan! Om nggak bisa bayangin muka om harus ditaruh di mana jika acara hari ini batal."
"Lalu?"
"Kamu bisa bantu om, kan? Kita teruskan acara hari ini. Hanya saja, gadis yang kamu nikahi itu Cherryl, bukan Syifa."
Wajah lelah Damar begitu kentara. Tanggung jawab yang dibebankan di pundaknya agar mencarikan pendamping untuk si bungsu belum bisa ditunaikan juga.
"Tapi Om … "
"Tolonglah Lih, om nggak tahu lagi harus bagaimana. Mungkin semua ini salah om yang selalu memaksa Syifa untuk menerima perjodohan denganmu. Yang om nggak habis pikir, bagaimana bisa Cherryl ikut dalam kekacauan ini. Apakah Cherryl sengaja menawarkan diri menggantikan Syifa ataukah terpaksa yang jelas Cherryl menyukai kamu. Jadi, tolong bantu om. Selamatkan muka om dari rasa malu. Apa pun yang kamu minta, akan om kabulkan. Apalagi kalau kamu menikah dengan Cherryl, otomatis kamu menjadi menantu om."
Huft, kenapa semua jadi di luar rencana kayak gini. Yah, setidaknya aku bisa memanfaatkan hal lain walaupun nggak sesuai rencana awal.
"Baiklah Om, aku setuju. Tapi, aku ingin saham yang om berikan sama aku jadi 10%," ucap Galih setelah lama terdiam.
Damar terperanjat dengan permintaan Galih. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti. Daripada Damar harus menanggung malu atas gagalnya acara pernikahan hari ini, lebih baik dia memberikan apa yang diminta Galih. Toh, mau dengan Syifa ataupun Cherryl, Galih tetap akan menjadi anggota keluarganya. Keluarga tak akan berkhianat, kan? Begitulah yang dipikir oleh Damar.
Kedua lelaki berbeda generasi itu kembali masuk ke ruangan di mana akad nikah akan dilaksanakan.
"Bisa dilanjutkan, Pak?"
Damar mengangguk pada petugas KUA yang telah sabar menanti. Awas saja nanti kalau semua acara telah selesai, dia akan menginterogasi putri sulungnya.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Galih Permana bin Arman Pratama dengan putri kandung saya yang bernama Cherryl Avina Adiguna binti Damar Adiguna dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas dua ratus gram tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Cherryl Avina Adiguna binti Damar Adiguna dengan mas kawin tersebut tunai."
"Sah."
"Sah."
"Alhamdulillah."
Petugas KUA memimpin doa kemudian mempersilahkan mempelai wanita agar disandingkan dengan mempelai pria.
Shelomita dan Vira, adik iparnya datang dengan mengapit lengan Cherryl. Gadis itu tampak cantik dengan riasan minimalis tapi tetap mempesona.
Cherryl duduk di samping Galih tanpa berani menatap mata tajam sang papa. Cherryl tahu, sekarang dia memang bisa bernapas lega. Namun, tak memungkiri hatinya berdebar kencang, takut akan kemarahan Damar nantinya.
Kedua mempelai yang telah sah secara hukum agama dan negara itu kemudian menandatangani berkas yang ada di hadapan mereka.
Cherryl mengulurkan tangan kanannya yang kemudian disematkan cincin oleh Galih. Lalu, gadis itu melakukan hal yang sama pada jari manis Galih. Dengan takdzim, Cherryl mencium tangan kanan sang suami. Hatinya bahagia bisa menjadi istri lelaki yang sudah lama dia cintai. Galih balas mencium kening Cherryl meskipun enggan.
"Kamu jangan senang dulu karena setelah ini, kamu nggak akan lepas dariku," bisik Galih yang hanya bisa didengar oleh Cherryl.
Mungkin, bagi orang-orang yang melihat, Galih bak menyalurkan kasih sayangnya pada sang istri. Padahal, ada ancaman tersembunyi yang hanya bisa dirasakan Cherryl. Bagaimana bisa dia senekat ini? Demi cintanya pada Galih dan juga rasa sayangnya pada Syifa.