Mata Cherryl seolah melihat hantu. Lelaki itu tak juga mengalihkan tatapan matanya dari wajah Cherryl.
"Ma-maaf, aku salah kamar," ucap Cherryl terbata.
Lelaki di hadapan Cherryl menatapnya tajam tanpa berkata apa pun. Matanya memberi kode agar Cherryl keluar dari kamar itu.
Cherryl merasa gugup hingga kakinya terasa terpaku tak hendak beranjak. Ingin rasanya cepat pergi dari suasana canggung itu tetapi kaki Cherryl tak mau bekerja sama.
"Keluar!" titah lelaki yang sedikit ada kemiripan dengan Galih itu.
Diakah adik Galih yang selama ini kuliah di luar negeri? Cherryl tak pernah sekali pun bertemu dengan lelaki yang ia tahu bernama Gavin itu. Lelaki yang kini menjadi adik iparnya. Sikapnya jauh berbeda dengan Galih. Dia terlihat seperti seseorang yang tak ingin diganggu. Tatapan matanya dingin tak terbaca. Jauh sekali dengan Galih yang bersikap lembut. Setidaknya, itu yang Cherryl tahu sebelum tadi sifat asli Galih ia ketahui.
Tak ada lagi sikap lembut yang biasa diperlihatkan Galih karena lelaki itu terpaksa menikahinya. Di depan keluarganya, Galih memang masih bersikap sama. Namun, ketika perjalanan pulang tadi hingga saat ini, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Cherryl berharap jika sikap yang ditunjukkan Galih saat ini hanya sementara. Ia yakin, Galih hanya kecewa padanya. Setelah rasa kecewa itu hilang, Cherryl yakin Galih akan kembali menyayanginya seperti dulu. Ya, setidaknya hal itu menjadi penyemangat Cherryl saat ini.
Cherryl tersentak saat Gavin meraih tangannya yang tidak memegang koper. Gavin menggenggam tangan Cherryl hingga gadis itu keluar dari kamar yang ia tempati. Cherryl terseok mengikuti langkah Gavin. Gavin memang kasar. Namun setidaknya Gavin jujur tanpa menutupi rasa tidak sukanya pada Cherryl.
Mereka berhenti di depan pintu kamar yang ada di seberang. Cherryl menatap Gavin penuh tanya. Mulutnya terasa terkunci tanpa bisa bicara.
"Ini kamar Galih. Lo jangan salah lagi. Ganggu aja sih orang lagi enak tidur."
"Ma-maaf, aku nggak tahu."
Cherryl menundukkan kepala. Menyesali kenapa dia tak cepat-cepat mengikuti Galih tadi. Gavin hanya mengedikkan bahu cuek kemudian meninggalkan Cherryl di depan pintu yang tertutup rapat itu.
Cherryl melihat Gavin memasuki kamarnya dengan ekor mata. Setelah Gavin tak terlihat lagi, Cherryl baru bisa mengembuskan napas lega. Sungguh, lebih mengerikan berhadapan dengan Gavin daripada dirinya sendirian berada di rumah hantu.
Tangan Cherryl terangkat untuk mengetuk pintu kamar Galih. Sekali, dua kali tak juga ada jawaban. Apa Galih sudah tidur hingga tak mendengar ketukan pintu? Hampir saja Cherryl berbalik jika tak mendengar pintu terbuka. Galih menatapnya tajam tanpa sepatah kata.
Galih membuka lebar pintu tanpa mempersilahkan Cherryl untuk masuk. Perlahan Cherryl masuk sambil menyeret kopernya. Kamar Gavin luas walaupun tak seluas kamarnya. Barang-barang tertata rapi. Di pojok ruangan tampak sebuah pintu yang sepertinya kamar mandi. Di sisi yang lain, ada lemari besar tiga pintu. Sebuah meja rias yang tampaknya masih baru terpajang di sana. Meja rias yang seharusnya diperuntukkan pada Syifa tetapi akhirnya Cherryl yang akan menggunakannya nanti.
Galih mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Cherryl bingung karena Galih sama sekali tak berbicara padanya.
"K-kak," cicitnya pelan.
"Apa? Sudah malam. Matikan lampunya terus tidur."
"A-aku tidur di mana?"
"Di mana kek. Mau di sofa silahkan, mau di karpet juga terserah."
"Aku nggak boleh tidur di ranjang sama kakak?"
Galih mengembuskan napas kesal. Rasa kantuk yang tadi melanda hilang seketika. Geram dengan Cherryl yang terlalu banyak bertanya.
"Dengar ya Ryl, aku masih berbaik hati memberikan kamu tempat di kamar ini. Harusnya aku membiarkan kamu tidur di luar sana."
Galih menarik selimut hingga ke leher. Tak ia pedulikan lagi Cherryl yang berdiri mematung setelah mendengar ucapan pedasnya.
Cherryl sendiri hanya bisa terdiam. Tangannya meremat dada yang terasa sakit. Dengan rakus ia meraup udara segar agar tak lagi merasa sesak.
Cherryl meletakkan kopernya ke dekat lemari, membukanya kemudian mengambil piyama berhambar hello kitty berwarna pink. Cherryl berjalan perlahan menuju kamar mandi tanpa bertanya lagi pada Galih yang tampak memejamkan mata.
Galih memicingkan mata begitu Cherryl hilang di balik pintu kamar mandi. Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Tak ia sangka jalan hidupnya akan seperti ini. Semula, ia akan menikah dengan Syifa, tante Cherryl yang berusia empat tahun di atasnya. Sekarang, takdir telah berubah. Dia sudah menjadi suami Cherryl yang bahkan berusia dua puluh tahun saja belum. Gadis kekanak-kanakan yang selama ini selalu menempel padanya.
Galih tak tahu harus bersyukur atas apa yang terjadi hari ini ataukah merasa sial dengan yang menimpanya. Rencana yang sudah matang ia rencanakan bersama orang tuanya harus gagal total gara-gara Cherryl. Galih mengusap kasar wajahnya. Pandangannya teralih pada handle pintu kamar mandi yang tertarik ke bawah. Lelaki itu segera membalikkan badan memunggungi Cherryl yang keluar dari sana.
Cherryl tampak keluar dengan penampilan yang lebih segar. Diliriknya Galih yang sepertinya telah terlelap. Cherryl kemudian mengambil bantal di sebelah Galih dan membawanya ke sofa.
Cherryl mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur dulu sebelum merebahkan dirinya ke atas sofa panjang itu. Matanya menerawang jauh memikirkan semua yang telah terjadi hari ini. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, akan Cherryl hadapi dengan penuh lapang dada. Dia yang telah mengambil keputusan besar, dia juga yang harus mempertanggungjawabkannya.
Cherryl memiringkan tubuhnya hingga menghadap ke arah Galih. Tangannya terulur seolah ingin menggapai lelaki yang bergelar suaminya itu.
"Jauh sekali rasanya sekarang. Kita tinggal seatap bahkan satu kamar. Tapi rasanya kita terpisah jarak puluhan kilometer. Apa kak Galih bisa bersikap lembut lagi seperti dulu?" gumam Cherryl sedih.
"Onty, sekarang onty ada di mana? Aku kangen banget sama onty. Maafin aku karena menghalangi jodoh onty saat ini. Aku hanya ingin onty bahagia. Aku janji aku akan bahagia seperti yang aku mau. Semoga onty baik-baik saja di mana pun onty berada. Aku sayang sama onty."
Malam semakin larut tetapi Cherryl tak bisa sedikit pun memicingkan mata. Tubuhnya dibolak-balik ke kanan ke kiri. Sofa ini meskipun panjangnya melebihi tubuh Cherryl tetap saja bukan tempat yang nyaman untuk dipakai tidur. Cherryl bangkit dari posisi berbaringnya. Diamatinya Galih yang tampak damai dalam tidurnya.
Cherryl menopang dagu dengan satu tangan sambil menatap lekat Galih. Rasa cintanya pada lelaki itu sudah lama ia rasakan. Sejak kecil mereka sudah dekat karena perusahaan yang telah bertahun-tahun bekerja sama. Hubungan orang tua Galih dengan orang tuanya juga baik.
Galih yang tak pernah menolaknya saat Cherryl merangkul mesra lelaki itu. Galih yang selalu bersikap lembut dan memperlakukannya secara istimewa. Hingga akhirnya harapan untuk bersatu dengan Galih dalam ikatan pernikahan timbul di hati Cherryl. Namun, harapan itu pupus seketika saat Damar mengatakan akan menjodohkan Galih dan Syifa. Cherryl merasa dunianya hancur. Ia memohon bahkan meminta pada Syifa agar menolak perjodohan itu. Sayangnya, Syifa yang telah berulang kali menolak perjodohan tak memiliki alasan lagi menentang keinginan kakak sulungnya. Syifa akhirnya luluh dengan permintaan Cherryl. Semua kekacauan yang terjadi hari ini adalah perbuatan keduanya. Syifa yang tak ingin lagi dikekang memutuskan pergi setelah memastikan semuanya berjalan lancar. Syifa masih ada di sana ketika semua orang sibuk mencarinya. Syifa menyaksikan sendiri ijab qabul yang mengesahkan pernikahan Galih dan Cherryl.