Cherryl masih terperangah menatap lelaki yang kini membuka helmnya. Apakah ini hanya kebetulan semata ataukah memang lelaki itu mengikutinya. Namun, rasanya tidak mungkin jika hal kedua yang terjadi. Cherryl lebih percaya jika mereka tak sengaja bertemu di sini.
"Mingkem. Ntar ada nyamuk yang masuk baru tahu rasa."
Cherryl reflek mengatupkan bibirnya. Dia sama sekali tak bisa membantah ucapan lelaki di hadapannya.
"Lo ngapain di sini? Bengong kayak orang ompong di pinggir jalan. Lo bisa dikira anak hilang lama-lama."
Meski kata-katanya menyakitkan, tapi Cherryl seolah bertemu dengan malaikat penolong saat bertemu dengan lelaki itu. Cherryl merasa Tuhan begitu baik padanya hingga mengirimkan Gavin saat dia kebingungan mencari cara untuk pulang. Ya, lelaki itu memang Gavin dengan tampang coolnya duduk di atas motor di depan Cherryl.
"Malah senyum-senyum. Lama-lama gue ikutan gila. Dah ah, kalo nggak mau jawab. Percuma gue ngomong dari tadi sementara yang gue ajak ngomong malah bengong."
Gavin memakai kembali helmnya dan memutar kunci motor. Cherryl mengerjap sadar begitu Gavin hendak berlalu. Gadis itu kemudian memegang erat behel motor Gavin.
Gavin yang merasa jika ada yang memegang body motornya sebelah belakang langsung menoleh. Lelaki itu memutar bola mata malas menatap gadis yang tampak kerepotan membawa pot bunga mawar di sebelah tangannya dan sebelah yang lain memegang behel motor.
"Tunggu, Vin. Aku mau minta tolong, bisa?"
Gavin mengembuskan napas kesal kemudian mematikan lagi motor yang telah ia nyalakan. Helm yang telah dikenakannya dilepas kembali. Jika tak penting, Gavin akan memberi hukuman pada gadis yang namanya masih tersimpan di sudut hati itu.
"Apa? Tadi diajak ngomong diem aja."
"Aku ... kayaknya mama lupa kalau ke sini sama aku. Mama udah pergi karena aku mencarinya di dalam nggak ada. Aku telepon juga nggak diangkat-angkat."
"Terus?"
"Aku nggak bisa pulang karena di dompet aku cuma ada uang lima puluh ribu. Nggak mungkin cukup buat naik taksi sementara naik angkot atau bus aku nggak tahu harus naik jurusan yang mana."
Panjang lebar Cherryl menjelaskan hanya dibalas decakan oleh Gavin. Embusan napas kasar keluar dari indra penciumnya.
"Naik!" titahnya tanpa mau dibantah. Cherryl masih terpaku dengan perintah Gavin. Ini maksudnya Gavin menyuruh Cherryl untuk naik ke atas boncengan motornya, gitu?
"Malah diem aja. Lo mau pulang, nggak? Sekalian gue juga mau pulang."
"Aku naik motor sama kamu?" tanya Cherryl tak percaya. Cherryl kemudian menatap motor besar itu dengan seksama. Kemudian pandangannya beralih pada tanaman mawar dalam pot di tangan kirinya. Bagaimana bisa dia membawa tanaman itu berboncengan dengan Gavin. Lagipula, dia tak memakai helm. Bagaimana jika nanti ada razia polisi. Banyak tanya berkeliaran dalam pikiran Cherryl.
"Terus mau elo tuh gimana?"
"Aku ... kalau bisa kamu kasih pinjam aku uang untuk ongkos taksi aja. Kamu kan pakai helm sedangkan aku enggak. Nanti kalau ada polisi gimana?"
Gavin mengeratkan rahang mendengar Cherryl yang banyak bicara. Gavin segera memasang helm ke kepala Cherryl dan mengambil pot berisi tanaman mawar dari tangan gadis itu.
"Cepat naik! Kalo enggak, lo bakal gue tinggal. Ini tanaman lo gue buang di tengah jalan."
Nyali Cherryl menciut dengan kemarahan Gavin. Gadis tersebut kemudian naik ke boncengan motor Gavin bertumpu pada pundak Gavin. Untung saja, Cherryl memakai celana jeans saat ini. Kalau memakai dress, entah bagaimana dia naik ke atas motor itu.
Gavin memberikan kembali pot agar Cherryl meletakkannya di tengah-tengah tempat mereka duduk. Kaki Cherryl menjepit pot itu dan kedua tangannya diletakkan di atas paha.
"Pegangan!"
"Di mana?"
"Di mana kek, terserah. Jangan salahin gue kalo elo ntar jatuh gara-gara nggak mau pegangan."
"I-iya."
Ragu, Cherryl meletakkan kedua tangannya di pundak Gavin. Rasanya aneh tetapi dia lebih takut terjatuh di tengah jalan. Gavin sepertinya bukan pengemudi yang menjalankan motornya di bawah kecepatan 60 km/jam.
Gavin menggeber motornya dan benar saja, Cherryl hampir terjatuh jika dia tak memegang erat pundak Gavin. Gavin mengambil jalan di perkampungan warga agar terhindar dari razia polisi di jalan besar. Hingga akhirnya mereka sampai rumah satu jam kemudian.
Cherryl turun dari motor sambil tangannya berpegangan pada pundak Gavin. Cherryl tak sadar jika ada sepasang mata yang memperhatikannya di balik jendela. Tangannya terkepal geram melihat pemandangan itu. Apalagi Cherryl tampak tersenyum manis pada Gavin.
"Vin, makasih atas pertolongan kamu hari ini. Aku nggak nyangka dari tadi pagi kamu udah berkali-kali menolongku."
"Nggak usah dipikirin. Buat gue, itu bukan apa-apa. Dah, sana masuk. Gue mau pergi lagi."
"Oh iya, makasih sekali lagi."
"Hemm."
Belum juga motor yang dikendarai Gavin berputar balik, terdengar suara tak enak yang menusuk telinga. Mata Gavin langsung melotot begitu namanya disinggung si pemilik suara.
"Prok. Prok. Prok." Galih bertepuk tangan dengan senyum miring di bibirnya.
"Jadi seperti ini kelakuan kamu sebenarnya. Memaksa aku untuk menikahi kamu agar kamu bebas mendekati Gavin? Cherryl, Cherryl, aku nggak nyangka kamu perempuan semacam itu. Dasar murahan."
Mata Cherryl berkaca-kaca mendengar tuduhan Galih padanya. Betapa tega Galih melakukan semua ini padanya. Tak cukup tadi pagi menyakitinya dengan kata-kata. Siang ini ditambah lagi dengan tuduhan yang lebih menyakitkan. Cherryl tak menyangka jika lelaki yang ia cintai bisa berubah drastis. Mana Galih yang lembut dan selalu memanjakannya. Benarkah karena dia mulai tertarik pada Syifa dan tak bisa menikahi ontynya itu lantas dia bersikap seperti itu pada Cherryl? Bagaimanapun Cherryl istrinya yang sah di mata hukum dan agama. Tak elok rasanya jika Galih terus menyalahkan Cherryl.
"Brengsek lo!" seru Gavin sambil turun dari motor. Wajah Gavin tampak memerah menahan amarah.
Gavin meraih kerah kemeja yang dikenakan Galih. Senyum sinis tampak di sudut bibir suami Cherryl. Gadis itu sampai melempar pot berisi tanaman mawar ke tanah begitu saja. Tak peduli jika tanaman mawar putih itu akan rusak.
Tangan kecil Cherryl meraih lengan Gavin yabg tampak menegang. Cengkeraman lelaki itu pada kerah leher Galih begitu kencang.
"Lepas Vin, kamu nyakitin kak Galih," mohon Cherryl tetapi Gavin bergeming. Tak juga mengendurkan cengkeraman tangannya.
"Vin, tolong jangan diteruskan. Dia suami aku, Vin. Dia juga kakak kamu. Jangan bertengkar dengan saudara kamu sendiri."
Gavin menoleh pada Cherryl yang mulai berderai air mata. Isakan Cherryl begitu pilu membuat hati Gavin sedikit tergugah. Betapa besar cinta gadis itu pada Galih.
"Lo masih belain lelaki brengsek kayak dia, Ryl? Lelaki yang sudah menghina lo dan bikin lo nangis?"
"Nggak papa Vin, aku nggak masalah. Dia udah jadi suami aku. Aku nggak mau sampai kamu melukai dia."
Gavin mendorong tubuh Galih yang tak siap hingga lelaki itu terempas ke tanah. Cherryl berniat membantu Galih tetapi tangannya ditepis oleh lelaki tampan itu.
"Jadi begitu, cara mainnya. Saling membela, oke fine. Gue nggak akan biarin kalian bahagia. Lo nggak akan pernah bisa ngambil apa yang udah jadi milik gue, Vin."
"Terserah lo mau bilang apa. Gue nggak peduli. Dan elo Ryl, rasain aja tuh manisnya jadi istri lelaki tak berperasaan seperti dia."
Gavin berbalik kemudian memakai helmnya kembali. Motornya digeber keras kemudian digas meninggalkan pasangan pengantin baru itu.