Cherryl menatap nanar ke arah motor yang dikendarai oleh Gavin menghilang. Dalam hati ia berdoa semoga Gavin baik-baik saja mengingat baru saja lelaki itu pergi dengan penuh emosi. Bagaimanapun, Cherryl merasa berterima kasih pada Gavin. Entah berapa kali sudah lelaki itu menolongnya. Sebuah kebaikan yang ditutupi dengan sikap sinis dan bencinya pada Cherryl. Namun, Cherryl tahu di balik semua itu, Gavin lelaki yang baik.
"Pelototin aja terus sampai itu mata keluar dari tempatnya," sindir Galih membuat Cherryl menghela napas panjang. Tak sengaja matanya menatap ke arah pot bunga yang kini terlihat mengenaskan. Mungkin saking kerasnya Cherryl mengempaskan benda itu hingga terbelah jadi dua. Tanaman mawar yang sudah menghasilkan sekuntum bunga itu tergolek tak berdaya di atas tanah. Begitu mungkin nasib Cherryl saat ini. Tak berdaya menghadapi masalah yang telah ia ciptakan.
"Kenapa diem? Bener kan yang aku omongin? Kamu sengaja kan menjebakku agar menikah denganmu biar kamu bisa dekat dengan Gavin. Bilang aja terus terang, Ryl. Seharusnya kamu membiarkan saja aku menikahi Syifa. Toh, kamu bisa deket sama Gavin tanpa harus menjadi istriku. Oh, atau jangan-jangan ini memang rencana kalian? Jangan pernah berharap kalian akan bersatu."
Galih malah menuduh Cherryl yang tidak-tidak. Kenal dekat dengan Gavin saja tidak, bagaimana gadis itu bisa merencanakan hal yang mustahil bersama Gavin.
"Kakak cemburu karena aku dibonceng sama Gavin?" tanya Cherryl membuat mata Galih membulat.
"Cih, ngapain aku harus cemburu. Memang kamu siapa hingga pantas aku cemburui. Sadar diri dong."
"Iya maaf, aku nggak sengaja ketemu sama Galih di toko tanaman bunga tadi. Mama ngajak aku untuk beli tanaman tapi waktu mau pulang mama nggak ada pas aku cariin."
"Kamu nuduh mama aku sengaja ninggalin kamu di sana, iya?"
Cherryl menggeleng walaupun memang dia sempat curiga jika Rahayu setega itu padanya. Namun, Cherryl berpikir kembali bahwa tak mungkin Rahayu akan meninggalkannya jika tak ada hal yang darurat. Mungkin, Rahayu terburu-buru hingga tak ingat jika dia pergi bersama Cherryl. Sampai sekarang, Cherryl masih berusaha untuk berpikir positif meski semalam dia mendengar kata-kata Rahayu.
"Aku nggak nuduh, Kak. Mungkin mama kelupaan kalau pergi sama aku makanya mama pulang duluan. Tapi, kayaknya mama belum sampai rumah."
"Dan itu kamu jadikan alasan untuk pulang bersama Gavin? Ryl, Gavin itu adikku. Kamu seharusnya mikir tentang pendapat orang jika kamu mendekati adik dari suami kamu sendiri. Hemh, atau mungkin memang kamu sudah tidak punya malu hingga begitu gampangnya menyerahkan diri pada Gavin."
Cherryl terbelalak dengan dada naik turun. Tega sekali Galih menuduhnya seperti itu. Bahkan, mereka baru menikah kemarin. Setidaknya, kalaupun Galih membenci Cherryl, jangan membuat fitnah tentangnya.
"Kak, maksud kamu apa sih? Aku makin nggak ngerti sama sikap kamu yang seperti ini. Kamu nggak seperti kak Galih yang aku kenal. Kamu berubah drastis seolah kehadiran aku sebagai istri kamu itu sebuah musibah. Aku mencintai kamu, Kak hingga aku merencanakan semua ini. Iya, aku akui kalau semuanya sudah aku rencanakan termasuk kepergian onty Syifa. Aku hanya bisa berharap agar Kakak mau menerima pernikahan kita. Bagaimanapun aku istri sah kak Galih. Kakak berkewajiban untuk memperlakukan aku selayaknya seorang istri. Bukan malah memfitnahku memiliki hubungan dengan Gavin."
Cherryl menghentakkan sebelah kakinya kemudian berbalik pergi. Gadis itu memungut tanaman mawar dengan hati-hati agar akarnya tak sampai putus. Kemudian Cherryl berlalu ke taman samping tanpa menghiraukan Galih lagi.
Di taman, Cherryl meletakkan tanaman yang tadi dibelinya lalu mencari alat untuk menggali tanah. Akhirnya, gadis itu menemukan sebuah cangkul kecil. Dibawanya cangkul itu menuju sudut taman. Masih ada tempat untuk menanam mawar miliknya. Biarlah tersembunyi di sudut saja agar tak membuat marah Rahayu nanti.
"Lho, non Cherryl mau apa?" tanya Amir, tukang kebun yang biasa bekerja di sana dua hari sekali.
"Eh mang Amir. Ini Mang, aku mau nanem bunga."
"Biar mamang saja, Non. Nanti tangan non Cherryl kotor kena tanah."
"Nggak papa, Mang. Cuma satu ini. Takut kakau nanti cepet layu kalau nggak segera ditanam lagi. Potnya pecah."
Amir hanya menatap pasrah saat Cherryl bersikukuh untuk membuat sendiri lubang tanam untuk bunga mawarnya. Setelah dirasa cukup, Cherryl memindahkan tanaman itu dengan hati-hati. Senyuman lebar ia sunggingkan saat berhasil menanam tanaman itu dengan baik.
Cherryl mencuci tangan dan kakinya yang kotor oleh tanah sebelum masuk rumah melalui pintu dapur. Mbok Sumi terlihat sedang memasak untuk makan siang.
"Masak apa, Mbok?" tanya Cherryl sambil menepuk pelan pundak mbok Sumi.
"Eh non Cherryl udah pulang. Kok simbok ndak denger suara mobil?"
"Mbok terlalu konsentrasi masak, makanya nggak dengar ada kendaraan yang masuk ke halaman."
"Endak ah Non, orang tadi waktu den Galih pulang juga simbok denger kok. Non pulang sendiri?"
"Sama Gavin tadi, Mbok. Ketemu di jalan."
"Ndak sama nyonya? Eh, maaf Non, simbok banyak tanya."
Cherryl hanya tersenyum menanggapi. "Mama lagi ada urusan Mbok, makanya aku pulang sendiri. Simbok tadi belum jawab pertanyaan aku. Mbok masak apa?"
"Ini Non, masak sayur sop sama tempe goreng. Non sudah lapar, to?"
"Belum, Mbok. Tenang aja, aku belum lapar banget kok. Aku mau bantuin tapi kayaknya Mbok udah mau selesai."
"Ndak usah Non, sebaiknya Non duduk saja di meja makan nunggu makanannya siap. Atau, Non istirahat dulu di kamar, nanti kalau sudah matang simbok panggil."
"Aku nunggu di meja makan saja, Mbok."
Meski badannya terasa gerah, Cherryl tak hendak ke kamar saat ini karena pasti Galih ada di sana. Cherryl sedang malas untuk berdebat. Dia belum menyiapkan hatinya untuk menerima berbagai ucapan pedas Galih yang melebihi pedasnya sambal buatan sang mama.
Tak lama akhirnya masakan mbok Sumi matang juga. Cherryl ikut menata makanan itu di meja makan. Walaupun mbok Sumi telah mencegahnya, Cherryl tetap melakukan apa yang ia inginkan. Cherryl merasa canggung jika tak melakukan sesuatu.
"Non mau dipanggilkan den Galih apa mau panggil sendiri?"
Cherryl kemudian bangkit dari duduknya. Ia tak mau jika orang lain tahu kalau rumah tangganya yang belum genap dua hari sudah seperti kaca yang retak. Biarlah dia pendam sendiri saja semua yang ia rasakan selama menjadi istri Galih. Cukup dengan sikap kasar lelaki itu yang kadang ditunjukkan di hadapan orang lain.
"Biar aku aja, Mbok."
Cherryl menaiki tangga menuju lantai dua setelah memastikan Galih tak ada di lantai satu. Cherryl ragu untuk membuka pintu begitu saja. Gadis itu menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Diketuknya pintu tiga kali tetapi tak ada jawaban. Dengan berani, Cherryl membuka pintu yang tak terkunci. Tatapan gadis itu terarah pada Galih yang sedang terlelap miring ke kiri. Pelan, Cherryl melangkahkan kakinya agar tak bersuara.
Ditatapnya lamat wajah yang dikaguminya itu. Tampan. Satu kata itu meluncur begitu saja. Tak Cherryl pungkiri jika wajah lelaki itulah yang menarik hingga dari kecil Cherryl sudah menyukainya. Hampir delapan tahun perbedaan usia mereka tak menyurutkan cinta yang tumbuh di hati Cherryl sejak lama.
Tangan Cherryl terulur hendak menyingkirkan anak rambut yang menutupi kening Galih. Namun, Cherryl tersentak karena tangan yang hendak sampai itu terhenti di tengah jalan. Mata Galih yang semula tertutup kini membuka. Sebelah tangannya memegang tangan Cherryl hingga membuat gadis itu bergeming.