Rahayu hanya menatap kepergian Cherryl tanpa kata. Seulas senyum tipis tampak di bibirnya yang merah menyala. Gavin menyadari jika mamanya itu terlihat senang dengan apa yang terjadi pagi ini. Sekarang Gavin memang tak begitu dekat dengan Cherryl karena baru beberapa waktu yang lalu ia pulang ke tanah air. Namun, dia mengenal Cherryl saat kecil hingga remaja.
"Vin, nggak usah diterusin makannya," ucap Rahayu.
"Kenapa? Toh tinggal sedikit lagi."
"Nanti perut kamu sakit. Ganti aja sama nasi putih."
"Tanggung, Ma."
Gavin mengelap mulutnya yang berminyak. Setelah meneguk segelas air putih lelaki itu kemudian mendorong kursi ke belakang dan beranjak dari sana.
"Vin," panggilan Arman menghentikan langkah Gavin yang hendak keluar dari ruang makan.
"Ya, Pa?"
"Kamu cobalah mulai ikut ke perusahaan. Papa menguliahkan kamu jauh-jauh ke luar negeri bukan untuk berleha-leha."
"Nanti."
"Kapan?"
"Kalau udah ada niat pasti aku akan bantuin papa di perusahaan. Toh ada kak Galih. Aku nggak mau disebut sebagai perebut."
Ya, kedua saudara itu memang tidak secara langsung berseteru ataupun saling membenci secara terang-terangan. Namun, dalam hati masing-masing menyimpan rasa iri. Galih yang sejak kecil selalu dielu-elukan oleh kedua orang tua mereka karena selalu memperoleh prestasi yang membanggakan di bidang akademik. Sedangkan Gavin yang lebih dominan di bidang olahraga sama sekali tak membuat Arman maupun Rahayu senang. Di samping itu, Galih merasa Gavin lebih bisa bebas daripada dirinya yang selalu dituntut untuk menjadi yang terbaik oleh Arman.
Galih meneruskan langkah menuju lantai dua. Ketika hendak membuka pintu kamarnya, samar terdengar suara isakan dari kamar Galih. Gavin tak jadi masuk ke kamarnya dan malah berbalik ke depan pintu kamar Galih. Tangan lelaki itu terangkat hendak mengetuk pintu tapi ia merasa ragu.
Gavin berbalik lagi tetapi langkahnya terasa berat saat suara tangis Cherryl makin kencang. Lelaki itu mondar-mandir di depan kamar Galih tanpa tahu harus berbuat apa. Jika dia nekat mengetuk pintu kamar itu dan Cherryl membukanya, apa yang harus Gavin katakan?
Cklek. Pintu terbuka menampakkan wajah Cherryl yang sembab dengan mata dan hidung memerah. Mulut Gavin membuka tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluar darinya.
Cherryl mendongak dan tatapannya bertemu dengan mata Gavin. Beberapa detik keduanya tak ada yang bersuara.
"Kamu ngapain di sini?"
"Suka-suka gue mau di mana aja. Ini rumah gue, ngapain lo sok ngatur segala."
Bukan itu yang hendak diucapkan Gavin. Namun ternyata, malah terucap kata-kata yang mungkin akan makin menyakiti hati Cherryl. Gadis itu menunduk kemudian menghela napas panjang.
"Maaf kalau pertanyaan aku salah."
"Lo mau ke mana?" tanya Gavin saat Cherryl menutup pintu kamar di belakangnya.
"Aku mau ke bawah buat beresin sisa sarapan. Kasihan kalau mbok Sumi yang harus membereskan kekacauan yang aku buat."
"Jangan!" teriak Gavin spontan.
Cherryl mengernyit sambil menatap Gavin kembali. Sikap yang aneh menurut Cherryl.
"Mak-maksud gue, lo nggak malu keluar dengan penampilan berantakan seperti itu?" kilah Gavin sambil melipat tangan di dada.
"Emang penampilan aku kayak gimana? Oh, pasti berantakan sekali."
Gavin mengangguk.
"Lebih baik lo nggak usah keluar kamar dulu daripada mata semua orang ngeliatin lo."
Setelah mengatakan hal itu, Gavin berbalik dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Cherryl yang masih berdiri termangu menatap punggung yang menghilang di balik pintu.
"Dia bilang kayak gitu mau ngejek aku apa emang mau ngingetin?"
Cherryl membuang napas kemudian masuk lagi ke kamar untuk merapikan diri. Di depan cermin rias, Cherryl bisa melihat betapa kacau dirinya sekarang. Mata yang bengkak, hidung memerah, belum lagi rambut yang berantakan bak rambut singa.
"Pantas aja Gavin bilang penampilanku berantakan. Bisa-bisa mbok Sumi kabur lihat aku yang seperti ini."
Cherryl masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka kemudian menyisir rambutnya.
Sementara itu, di kamar Gavin tengah terdiam menatap jendela. Apa yang barusan ia katakan? Apakah niatnya karena tak ingin orang lain memandang remeh Cherryl ataukah dia ingin mengejek kakak iparnya itu?
Cherryl Avina Adiguna, adik kelasnya semasa SD. Mungkin gadis itu tak pernah menyadari keberadaannya karena selalu terfokus pada Galih. Kakaknya yang tampan, pintar, dan selalu menjadi pusat perhatian.
Ke mana pun Galih pergi, Cherryl selalu menempel pada lelaki itu. Gavin yang diam-diam menyukai Cherryl hanya bisa melihat gadis itu dari kejauhan. Hingga dia akhirnya mengungkapkan perasannya pada Cherryl setelah kelulusan SMA. Waktu itu Cherryl masih duduk di bangku SMP. Penolakan secara halus yang Gavin dapatkan tak membuat lelaki itu membenci Cherryl. Namun, dia harus pergi kuliah ke luar negeri sebagaimana titah sang papa. Hingga setelah empat tahun lebih mereka tak bertemu, kini Cherryl menjadi istri Galih, kakaknya. Pupus sudah harapan yang dirajut Gavin untuk memiliki Cherryl. Sekali lagi ia kalah oleh Galih. Walau Gavin tahu, pernikahan ini bukan yang diinginkan Galih. Namun, tak mungkin jika Gavin merebut Cherryl dari kakaknya.
Sikap cuek dan dingin yang Gavin lakukan pada Cherryl sebenarnya hanya untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya. Meski Gavin sering berseberangan pendapat dengan Galih, bukan berarti dia akan mengambil apa yang menjadi milik Galih saat ini. Kecuali jika memang Galih melepaskan Cherryl, dia akan dengan senang hati menerima gadis itu.
Suasana di meja makan tampak sepi. Sudah tak ada orang di sana. Bekas sarapan dan juga lauk yang tadi tertata di sana sudah tak ada lagi. Cherryl menghela napas. Harusnya ia tahu semua ini akan dialaminya. Gavin jelas-jelas tak menerima kehadirannya sebagai istri. Tentu saja ada sebuah kesalahan akan membuat lelaki itu melampiaskan emosinya.
"Sayang, kamu ngapain di sini?" tanya Rahayu yang tiba-tiba saja ada di belakang Cherryl.
"Mama," ucapnya lirih.
"Ma, maaf ya atas kekacauan yang aku buat tadi. Aku nggak sengaja, Ma. Aku kayaknya udah pas ngasih garam ke nasi goreng yang aku buat. Mungkin aku salah nyicipi kali, ya. Garamnya belum merata jadi keasinan setelah diaduk."
Cherryl menunduk dengan wajah mendung. Rahayu mendekati menantunya itu kemudian mengusap pundak Cherryl lembut.
"Jangan terlalu dipikirkan, Ryl. Gagal masak itu biasa. Namanya juga baru pertama kali."
"Tapi Ma, kak Galih jadi marah sama aku."
"Mungkin hanya emosi sesaat saja. Nanti juga baik lagi. Mama kenal anak mama seperti apa. Dia hanya masih syok atas apa yang terjadi kemarin makanya seolah menganggap apa yang kamu lakukan semuanya jadi salah."
"Gitu ya, Ma?"
"Iya, kamu tunggu dulu hingga emosi Galih mereda. Saat itu, sikapnya pasti akan kembali seperti biasanya sama kamu. Galih itu sayang sama kamu jadi kamu nggak usah khawatir. Oke?"
Rahayu merengkuh Cherryl dalam pelukannya. Tangannya mengusap punggung gadis itu berulang kali membuat Cherryl nyaman. Gadis itu jadi merindukan mamanya.
Tak ada yang melihat jika wajah Rahayu menunjukkan hal yang berbeda dengan apa yang dilakukannya. Matanya melirik sinis pada gadis dalam pelukan. Sayangnya, semua itu tak terlihat oleh Cherryl.
Aku merasakan kasih sayang mama dalam pelukan mama Rahayu. Tapi, ini nyata atau kamuflase belaka? Benarkah mama Rahayu tulus sayang sama aku ataukah dia melakukan semua ini hanya untuk menutupi sifatnya yang sebenarnya?
Cherryl hanya bisa menduga-duga tanpa tahu jawaban pasti. Mendengar kata-kata mertuanya itu tadi malam, ingin rasanya Cherryl tak mempercayai apa yang saat ini Rahayu lakukan. Wanita itu tampak tulus menghibur hati Cherryl yang tengah bersedih. Namun, di sisi lain, Cherryl merasa ada yang Rahayu sembunyikan di balik sikap lembutnya.