Cherryl menuruni tangga dengan sebelah tangan membawa koper berisi pakaiannya. Di punggungnya tampak tas ransel yang berisi laptop dan ponsel serta dompet milikknya. Di belakang Cherryl, Mita dan Vira mengikuti langkah gadis itu menuruni tangga.
"Pa, aku pamit dulu, ya. Maafin semua salah aku. Aku udah buat kekacauan yang membuat keluarga kita menanggung malu."
Damar hanya diam tanpa menanggapi. Fadli menghembuskan napas kasar. Selama ini, Damar bukanlah orang tua yang kasar dan cuek terhadap anak-anaknya. Cherryl juga baru kali ini membuat kesalahan yang besar. Mungkin, hati Damar masih terluka karena perbuatan putri yang sangat dia sayangi itu.
Fadli mengulas senyum kemudian memeluk Cherryl erat.
"Kamu yang sabar, ya. Papa kamu nanti juga baik lagi kayak biasanya."
"Makasih Uncle, maafin aku ya, Uncle. Uncle pasti malu banget punya keponakan kayak aku. Dan Uncle juga pasti marah, gara-gara aku, onty Syifa pergi dari rumah."
"Hei Sayang, uncle nggak marah sama kamu, kok. Kalau kecewa, iya uncle sedikit kecewa sama kamu. Tapi nggak papa, nanti uncle bakal cari kemana perginya onty Syifa."
Fadli mengusap air mata yang berjatuhan di pipi putih Cherryl. Lalu, lelaki yang hanya berjarak usia lima tahun dengan Damar itu mengecup kening Cherryl dengan penuh sayang.
"Kamu hati-hati, ya. Yang nurut sama suami. Kamu bukan gadis lajang lagi sekarang. Ada suami yang harus kamu perhatikan. Perlakukan suami kamu dengan baik. Meskipun sekarang hanya kamu yang mencintainya, bukan mustahil Galih akan balas mencintai kamu. Yang sabar ya Sayang, uncle doakan rumah tangga kalian sakinah mawaddah warrohmah."
"Makasih Uncle."
Cherryl menghambur dalam pelukan Vira. Tak hanya dengan Syifa, Cherryl juga dekat dengan istri Fadli itu.
"Sayang, Cherryl jangan cengeng lagi, ya. Kalau ada apa-apa, kamu harus cerita sama onty. Kapan pun, onty siap denger curhatan kamu. Kurangi sikap manja kamu, ya."
"Iya Onty, makasih."
Cherryl beralih memeluk sang mama yang sedari tadi tak henti meneteskan air mata.
"Mama, maafin aku, Ma. Aku tetap jadi anak mama sama papa, kan? Kalian nggak ngebuang aku, kan?"
"Sayang, kamu ini bicara apa. Papa sama mama tetap sayang sama kamu. Sampai kapan pun, pintu rumah ini terbuka buat kamu. Jangan salah artikan perintah papa, ya. Suami istri sebaiknya tak boleh tinggal terpisah. Apalagi kalian belum sampai dua puluh empat jam menikah."
Mita melepas pelukan mereka kemudian menyelipkan rambut Cherryl ke belakang telinganya. Senyuman penuh kasih sayang ia berikan pada putri sulungnya itu.
Pandangan Cherryl tertuju pada Damar yang membelakanginya sambil berkacak pinggang. Napasnya masih memburu tanda kemarahan itu belum surut. Dengan takut, Cherryl berjalan mendekat.
"Pa … "
"Pergilah. Tak usah lagi pamit pada papa."
Genangan air itu hendak tumpah kembali dari netra bening Cherryl. Bahkan, Damar tak sudi untuk melihatnya terakhir kali. Sebesar itukah rasa marah dan kecewa Damar padanya? Hati Cherryl terasa diremas mengetahui kenyataan ini. Damar tak pernah mengabaikannya satu kali pun. Dan sekarang, Damar seolah jijik melihatnya.
Cherryl berbalik dan menyeret kopernya ke luar rumah. Galih menyalami satu per satu orang di sana kemudian berjalan ke luar mengikuti Cherryl. Saat Cherryl hendak membuka pintu, dirinya berbalik badan, berharap sang papa melihatnya sekejap saja. Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Damar masih bergeming di tempatnya.
Tak sabar, Cherryl menghempaskan kopernya lalu berlari dan memeluk Damar dari belakang.
"Aku sayang sama papa. Maafin aku udah jadi anak yang ngecewain papa. Maafin aku yang udah buat onty Syifa pergi. Ampuni aku, Pa. Biarkan aku peluk papa sebentar saja sebelum aku pergi. Nggak papa kok Pa, Papa mau marah ataupun benci sama aku, aku bakal terima. Aku tahu, kesalahan aku sangat besar untuk dimaafkan."
Tetes demi tetes air mata itu membasahi kemeja yang dikenakan Damar. Tangannya terkepal, menahan diri untuk tidak berbalik dan balas memeluk Cherryl. Bagaimanapun, Cherryl adalah anak pertamanya. Tempat di mana kasih sayangnya tercurah begitu besar. Terbayang saat-saat Cherryl masih bayi, dia yang sering terjaga di malam hari membantu Mita menjaga Cherryl. Tak pernah ia hiraukan rasa lelah akibat seharian bekerja. Kini, satu kesalahan yang menurutnya fatal, membuat Damar tak ingin menolehkan kepalanya sejenak saja.
"Ryl, ayo! Nanti semakin malam kita sampainya." Suara Galih membuat Cherryl mau tak mau melepaskan pelukannya. Diusapnya kasar air mata yang masih mengalir di pipinya.
Gontai, langkah Cherryl mengikuti Galih. Seandainya saja, ia mau melihat ke belakang lagi, Cherryl akan melihat tatapan penuh sayang dari Damar. Tak ada sedikit pun kebencian dari sorot mata itu. Sayangnya, Cherryl tak lagi berbalik karena tak mau lagi kecewa.
Galih memasukkan koper milik Cherryl ke bagasi mobilnya. Tanpa mau repot membukakan pintu untuk Cherryl, lelaki itu masuk ke pintu kemudi. Hati Cherryl bak disiram air garam melihat sikap Galih. Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat daripada biasanya dia memperlakukan Cherryl. Cherryl berusaha bersikap biasa saja karena tahu inilah resiko yang harus dia tanggung. Cherryl membuka pintu mobil kemudian duduk di samping Galih. Tanpa sepatah kata pun, Galih menyalakan mobil dan melaju meninggalkan kediaman orang tua Cherryl.
Sepanjang perjalanan, hanya hening yang tercipta. Tak ada niat Galih maupun Cherryl untuk memulai kata. Sungguh berbeda dengan pengantin baru pada umumnya. Seharusnya, malam ini malam yang penuh cinta bagi sepasang insan yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Mungkin hanya Cherryl satu-satunya pengantin wanita yang diabaikan oleh suami sahnya.
"Kak," panggil Cherryl saat mereka berhenti di lampu merah.
"Hemm." Galih tak mau repot menanggapi.
"Maaf atas semua yang terjadi hari ini. Aku nganggep kak Galih juga sayang sama aku, seperti yang sering kali Kakak bilang sama aku. Tak tahunya, aku cuma anak kecil di mata Kakak."
Galih memutar bola matanya malas.
"Kamu harus sadar diri Ryl, kamu bukanlah wanita yang aku inginkan untuk menjadi istriku. Kamu yang ingin semua ini terjadi. Maka, jangan pernah berharap aku akan memperlakukan kamu selayaknya seorang istri."
Ucapan telak nan menyakitkan itu semakin membuat Cherryl merasakan luka di hatinya.
"Tak bisakah kak Galih membuka hati untukku dan menerima pernikahan ini?"
"Hah, hahaha, lucu sekali kamu Cherryl. Setelah kamu mengacaukan acara pernikahan tante kamu sendiri, kamu merebut calon suami tante kamu, sekarang kamu minta aku untuk menerima semua ini? Masih mending aku mau menikahi kamu hingga orang tua kamu tak menanggung malu. Hemh."
"Aku tahu, aku yang salah di sini. Aku yang memaksakan diri agar bisa memiliki Kakak. Aku yang jahat karena tak bisa menghilangkan perasaan aku. Tapi Kak, onty Syifa juga sebenarnya nggak mau dijodohin sama kak Galih."
"Tahu apa kamu tentang perasaan orang dewasa? Tentu saja mbak Syifa bilang seperti itu sama kamu. Dia terlalu sayang sama kamu hingga rela saja mengorbankan perasaannya sendiri. Kami sudah saling nyaman dan mulai menerima perjodohan yang dirancang oleh papa kamu dan orang tuaku. Tapi, semua jadi kacau gara-gara perasaan tak penting kamu itu."
"Tak penting? Jadi, rasa cinta aku ke kak Galih ini nggak penting? Kak, dalam sebuah hubungan pernikahan, bagaimana bisa tak ada salah satu yang memiliki rasa cinta? Pernikahan itu tak akan lengkap jika dua orang yang tak saling mencintai bersatu."
"Ini, ini yang membedakan kamu sama mbak Syifa. Kamu terlalu kekanak-kanakan. Yang kamu pikirkan hanya hubungan menye-menye ala abg. Nggak heran sih, kamu saja baru selesai SMA. Pantas saja, masih berpikir jika semuanya akan lancar jika ada rasa cinta di dalamnya."
Cherryl menunduk dalam. Iya, dia memang berbeda dengan Syifa. Cherryl tak membenci Syifa sama sekali. Namun, apa Galih tak bisa untuk tidak membandingkan mereka berdua. Syifa memang dewasa, sesuai dengan usianya yang telah memasuki kepala tiga sementara Cherryl sendiri belum genap dua puluh tahun. Akan tetapi, haruskah Galih terang-terangan bicara seperti itu padanya, pada istri yang baru beberapa jam lalu dihalalkannya?