Chereads / I'm Sorry, Onty / Chapter 5 - Bab 4. Selamat Datang, Cherryl

Chapter 5 - Bab 4. Selamat Datang, Cherryl

Setelah sekian lamanya di perjalanan, mereka berdua sampai juga di sebuah rumah berlantai dua yang lumayan mewah. Cherryl masih mematung setelah ucapan telak nan menyakitkan terlontar dari bibir Galih. Ingin rasanya ia berteriak dan membalas kata-kata itu. Namun, Cherryl mencoba menekan keinginannya dalam-dalam. Ia tak boleh gegabah. Dia ingin membongkar semua rahasia yang disembunyikan Galih dan keluarganya. Bahwa mereka tak benar-benar tulus ingin mengikat hubungan kekerabatan dengan keluarga papanya.

Galih membuka pintu mobil tanpa sedikit pun menoleh pada Cherryl. Gadis itu sendiri sama sekali tak berharap Galih akan bersikap romantis dengan membukakan pintu mobil untuknya.

Cherryl memejamkan mata sejenak kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Seulas senyum berusaha ia tampilkan untuk menutupi keadaan hatinya yang tak baik-baik saja. Pelan, Cherryl membuka pintu mobil kemudian memakai ranselnya. Tak lupa, gadis itu mengambil koper dari bagasi mobil. Untung saja Galih tak lupa membuka pintu bagasi meskipun lelaki itu sama sekali tak berniat membantu Cherryl membawa kopernya.

Cherryl mendekati pintu yang sedikit terbuka. Di celah pintu itu, Cherryl dapat melihat kalau Galih dan mamanya sedang bersitegang. Entah apa yang mereka bicarakan sebelum Cherryl sampai di sana.

"Pokoknya mama nggak mau tahu Lih, kamu harus bereskan masalah ini secepatnya. Bagaimana bisa bocah itu yang menjadi istri kamu sementara seharusnya Syifa yang ada di pelaminan. Keluarga mereka sudah mempermainkan kita."

"Aku juga nggak ngerti kenapa semua ini bisa terjadi, Ma. Beberapa hari yang lalu saat aku ketemu mbak Syifa, dia masih baik-baik aja dan terlihat menerimaku, nggak ada yang aneh sama sekali."

"Sudahlah Ma, toh semua sudah terjadi. Sekarang, lebih baik kita merencanakan sesuatu dengan lebih matang. Cherryl sudah menjadi istri Galih, itu kenyataannya. Kita bisa membuat skenario yang lain daripada terus menyesali apa yang sudah terjadi."

"Benar kata papa, Ma. Aku nggak bisa merubah apa yang sudah terjadi. Tapi kita bisa melakukan hal yang lain."

"Oh iya, kenapa Cherryl nggak juga turun dari mobil? Apa dia ketiduran?"

Galih menepuk keningnya pelan. Cherryl yang menyadari hal itu segera mengangkat kopernya kemudian meletakkannya di bawah undakan tangga. Dia sendiri berpura-pura seolah belum sempat naik hingga ke pintu.

"Cherryl, kamu sudah lama di sana?" tanya Galih setelah membuka pintu dan melihat keberadaan istrinya jauh dari pintu. Diam-diam lelaki itu menghela napas lega. Kalau Cherryl masih di bawah berarti dia tak mendengar pembicaraan Galih dengan orang tuanya barusan.

"Aku baru aja sampai di sini, Kak. Tadi ambil dulu koper di bagasi."

"Ya sudah, cepetan naik. Nggak usah manja minta angkatin koper."

"Iya, Kak."

Cherryl mengangguk dan menaiki undakan untuk kedua kalinya. Pintu setinggi tiga meter bercat putih itu berdiri menjulang membuat Cherryl merasa dirinya begitu kecil di sana. Sanggupkah ia menahan semua ini? Cherryl menguatkan hati bahwa dia akan baik-baik saja. Dia harus bisa. Semua demi keluarganya. Biarlah Cherryl yang menerima semua konsekuensi atas apa yang dilakukannya. Tak boleh ada korban lain di sini, apalagi Syifa. Cherryl tak rela jika Syifa sampai menderita. Selama ini sudah terlalu sering Syifa tersakiti. Inilah saatnya adik dari papanya itu mencari kebahagiaannya sendiri.

"Hai Sayang, selamat datang."

Wanita paruh baya itu merentangkan tangan dengan senyuman lebar. Sungguh, jika Cherryl tak mendengar sendiri apa yang tadi wanita itu katakan, Cherryl tak akan percaya jika ada yang mengatakan bahwa mama mertuanya adalah wanita bermuka dua.

"Terima kasih, maaf kalau kehadiranku merepotkan Tante. Seharusnya Tante sudah beristirahat. Sekarang malah repot-repot menyambutku," ucap Cherryl dengan manisnya.

Cherryl kemudian masuk dalam pelukan wanita yang sudah dikenalnya sejak kecil itu. Tepukan lembut pada punggungnya sama sekali tak menyiratkan sifat asli pemilik nama Rahayu itu.

"Kok panggilnya tante sih, mama dong."

Rahayu mengurai pelukan dan tampak merengut manja karena mendengar panggilan Cherryl padanya. Seolah memang benar kalau dia menyayangi Cherryl.

"Sayang, sekarang kamu itu istri Galih. Jadi, kamu itu udah jadi anak mama. Anggep aja kami orang tua kamu sendiri. Jangan sungkan kalau kamu butuh apa-apa."

"Iya, Ma." Cherryl pun berusaha mengimbangi akting Rahayu. Tanpa sepengetahuan keduanya, dalam hati jauh berbeda dengan yang ditampilkan di wajah.

"Selamat datang, Nak. Semoga betah ya, tinggal di rumah kami. Istirahatlah, sudah hampir dini hari. Ayo Ma, kita juga harus tidur."

"Tapi Pa, Mama masih ingin bersama Cherryl."

"Besok kan bisa, Ma. Cherryl dan Galih juga butuh istirahat. Seharian ini mereka pasti kelelahan. Galih, Cherryl, papa masuk dulu."

Arman beranjak meninggalkan mereka semua. Seakan tak rela, Rahayu melepaskan tautan tangannya dengan tangan sang menantu.

"Mama nyusul papa dulu, ya. Kalian cepat istirahat. Kalau nggak capek, buatkan mama cucu-cucu yang lucu," lirih Rahayu di akhir kata membuat wajah Cherryl memerah.

Mana mungkin semua itu terjadi. Galih saja seakan enggan menatap wajahnya. Entah bagi Galih Cherryl tak pantas dipandang atau bagaimana. Sejak tadi tak ada sedikit pun senyum terukir di bibirnya. Hanya wajah masam yang ia perlihatkan. Namun, itu lebih baik baik daripada menyembunyikan sikap aslinya. Bagi Cherryl lebih baik terang-terangan mengatakan tak suka daripada pura-pura menyukai aslinya berbeda seratus delapan puluh derajat.

Tinggal mereka berdua di ruang tamu yang luas itu. Sepatah kata pun tak keluar dari mulut Galih membuat Cherryl serba salah.

"Kak, malam ini aku tidur di mana?"

Galih memutar bola matanya malas. Lelaki itu berbalik untuk mengunci pintu kemudian menaiki tangga menuju lantai atas. Cherryl masih diam di tempatnya hingga Galih mencapai tangga teratas yang dipijaknya. Merasa Cherryl tak mengikuti langkahnya, Galih melihat ke lantai bawah dan di sana Cherryl masih bergeming dengan koper di sisinya.

"Kamu ngapain masih di sana? Mau istirahat apa tidak?" teriaknya.

"Kalau kamu masih mau diam di sana, silahkan saja. Aku akan mengunci pintu kamar dan kamu silahkan tidur di sofa ruang tamu," tambah Galih sambil berbalik tanpa menghiraukan Cherryl lagi.

Cherryl mengerjap pelan. Dia pun menarik gagang koper dan mulai menaiki tangga. Ada tiga kamar di lantai atas rumah itu. Dua di antaranya berseberangan. Cherryl tak tahu tadi Galih masuk ke kamar yang mana karena kedua pintu itu sama-sama tertutup. Tak ada tanda sedikit pun semisal gantungan nama seperti yang ia miliki di pintu kamarnya di rumah Damar.

"Kak Galih tadi masuk ke kamar yang mana? Dasar lelaki itu. Berbeda sekali dengan perlakuannya selama ini sama aku," gumamnya pelan.

"Aku harus kuat, aku harus bisa. Ini semua baru awal. Aku nggak boleh nyerah hanya karena sikap kak Galih yang bertolak belakang dengan dulu."

Pelan Cherryl mengetuk pintu yang menjulang di hadapannya. Tak juga ada jawaban dari Galih. Mungkin lelaki itu sedang ada di kamar mandi. Seakrab-akrabnya mereka dulu, Cherryl tak pernah sampai masuk ke kamar Galih. Paling jauh, ia ikut makan bersama di ruang makan rumah ini.

Cklek. Cherryl memutar handle pintu yang ternyata tak terkunci. Gelap menyapa. Apakah Galih langsung mematikan lampu setelah memasuki kamar? Cherryl meraba dinding mencari saklar lampu yang tak juga ketemu. Begitu mendapatkan apa yang ia cari, Cherryl terlonjak kaget melihat seseorang sedang melipat tangan di dada sambil menatapnya datar.