Joshua menggelengkan kepalanya seolah aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Dia kembali menggenggam tanganku dengan sebelah tangan yang memegang kemudi "We have to go. Aku udah buat reservasi. "
"Di mana?"
"Biasetti. Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatanku… I hope you like Italian food."
Aku mengangkat satu alis. "Memangnya bisa membuat reservasi di tempat itu dengan waktu yang mepet begini? Tempat itu selalu penuh."
"Bisa aja, kan tadi aku udah bilang kalau aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan. I'll do my best Bell."
"I like Italian food," Kataku sambil memrinya senyum.
Joshua mengemudikan mobilnya ke restoran dengan kecepatan yang tepat, menggunakan lampu seinnya dengan tepat, dan melambat dengan kecepatan yang wajar untuk setiap lampu kuning. Ketika dia berbicara, dia hampir nggak mengalihkan pandangannya dari jalan. Membuatku terkekeh saat kami tiba di restaurant.
"Kenapa?" tanyanya bingung.
"Kamu hanya…pengemudi yang sangat berhati-hati."
"Rasanya beda ya waktu sedang di boncengin Ray?" dia tersenyum.
Aku seharusnya tertawa, tetapi perbedaannya terdengar seperti mengarah ke hal yang negative. "Jangan bicara tentang Ray malam ini. Oke?"
"Okay," katanya, meninggalkan tempat duduknya untuk membuka pintuku.
Kami menempati meja yang terletak di dekat jendela yang berukuran besar. Meskipun aku telah mengenakan gaun, namun tetap saja aku terilhat sedng tak berada di tempatnya, dibandingkan dengan wnaita lain di testoran. Gaun yang mereka kenakan jelas terlihat mahal, terlebih dengan berlian yang berkilai melengkapi penampilan mereka. Ini kali pertama aku makan di tempat mewah.
Kami memesan, dan Joshua menutup buku menunya, tersenyum pada pelayan. "Dan bawakan kami sebotol Allegrini Amarone, Please."
"Baik, tuan," kata pelayan itu, mengambil menu kami. "Tempat ini luar biasa," bisikku, dengan tubuh yang sedikit bersandar ke meja.
Tatapan matanya melembut. "Terima kasih, aku akan menyampaikannya pada ayahku, kalau kau menyukainya."
Seorang wanita mendekati meja kami. Rambutnya diikat menjadi sanggul bergaya Perancis, ada helaian rambut yang sudah berubah warna menjadi abu-abu di poninya. Aku mencoba untuk tidak menatap belrlian berkilauan yang melingkari lehernya, atau Berlian yang bergoyang-goyang di telinganya, tapi rasanya suit untuk mengalihkan perhatian dari kilauannya. Mata yang sipit menatapku tajam.
Dia dengan cepat berbalik untuk melihat teman kencanku. "Siapa temanmu, Jo?"
"Ibu, ini Arabella Tahlula. Bella ini ibuku, Vivienne."
"Hay."
Aku mengulurkan tanganku dan dia menjabatnya sekali. Lalu dia kembali menoleh kea rah Joshua dengan raut wajah sedikit penasaran. "Tahlula?"
Aku menelan ludah, khawatir dia mengenali nama itu. Raut wajah Joshua berubah menjadi tak sabaran. "Dia dari Ibu Kota, Bu. Ibu nggak mengenal keluarganya. Dia satu kampus denganku."
"Oh?" Vivienne menatapku lagi. "Joshua akan berangkat tahun depan ke MIT."
"Jo, kemarin cerita kalau dia akan langsung melanjutkan S2 di MIT, that's was great. Tante pasti sangat bangga."
Ketegangan di sekitar matanya sedikit mereda, dan sudut mulutnya muncul dengan seringai puas. "Kita. Terima kasih."
Aku kagum dengan gaya bicaranya yang anggun, terdengar sopan tapi juga tersirat sebuah penghinaan secara bersamaan. Itu bukan sebuah bakat yang bisa ditampilkan hanya dalam semalam, jadi aku menebak kalau dia sering melakukannya pada orang lain.
"It's so good to see you Mom, good nite." Dia mencium pipi Jo, lalu menghapus lipstick yang menempel di pipi Joshua dengan ibu jarinya, dan kemudian kembali ke mejanya. "Maaf Bell, aku nggak tahu kalau dia ada di sini malam ini."
"Nggak masalah, lagian kelihatannya ibumu baik kok."
Joshua tertawa. "Ya, untuk seekor piranha." Aku menahan tawa, dan dia menawarkan senyum minta maaf. "Dia memang selalu begitu, terlebih kepada temanku yang belum pernah dia kenal. Tapi dia baik kok."
"Aku tahu Jo, kamu nggak perlu menjelaskannya panjang lebar. Aku mengerti."
Kami berbicara tanpa henti tentang makanan, kampus, beberapa materi di mata kuliah tertentu, dan bahkan tentang RedRing. Joshua menawan, lucu, dan mengatakan semua hal dengan pas pada porsinya. Berbagai orang mendekati Joshua untuk menyambutnya, dan dia selalu memperkenalkanku dengan senyum bangga. Dia terlihat seperti selebritas di dalam restoran ini, dan saat kami pergi meninggalkan restoran, aku merasakan semua mata tengah memandangku memberi penilaian.
"Now what?" Tanyaku saat kami tengah berada di dalam mobil.
"Aku ada ujian di kelas ekstra anatomi yang aku ambil, aku harus belajar untuk mendapatkan nilai terbaik di kelas itu Bell. You know, to get my MIT," katanya, seraya mengambil tanganku dan menggenggamnya.
"Kamu harus belajar kalau gitu," kataku, berusaha untuk tidak terlihat terlalu kecewa.
Dia mengantarku kembali ke rumah, dan melakukan rutintas yang kupahami menjadi kebiasaanya, membukakakn pintu penumpang untukku, membantu keluar dari mobil dan mengantarku sampai ke depan pintu rumah.
"Thanks Jo," kataku sambil memberinya senyum. "I had a fantastic time."
"Bell, apa kamu keberatan kalau aku nanya soal date number two?"
"Nggak sama sekali," aku berseri-seri.
"Aku akan meneleponmu besok?"
"Sounds Perfect."
Kemudian tibalah saat keheningan yang terasa canggung. Sbeuah kejanggalan yang aku takuti. Dengan ragu aku menbak-nebak, apakah dia akan menciumku atau tidak.
Sebelum aku sempat bertanya-tanya apakah dia akan menciumku atau tidak, dia menyentuh setiap sisi wajahku dan menarikku ke arahnya, menekan bibirnya ke bibirku. Bibirnya lembut dan hangat. Dia menarik bibirnya sekali, dan kemudian menciumku lagi.
"Sampai ketemu besok."
Aku melambai, melihatnya berjalan menuju mobilnya. "Bye."
Saat aku memutar gagang pintu hendak membukanya. Pintu itu kembali terbuka dan hampir membuatku terjatuh. Ray sekali lagi menangkap lenganku dan membantuku berdiri dengan benar. Aku seperti sedang mengalami de javu.
"Bolhe nggak sih kamu nggak melakukan hal it uterus. Aku bisa beneran terjatuh," kataku, sambil menutup pintu di belakangku.
"Kencan nomor dua?"
"Kenapa?" tanyaku berpura-pura tak peduli dengan nada suaranya yang mencemooh. "memangnya aku nggak boleh berkencan dengannya?"
"Aku, kan, cuma nanya," katanya membela diri.
"Kamu bebsa berkencan dengan siapapun selama laki-laki itu nggak melakukan hal-hal yang aneh Bell. "
Aku meraih lengannya sebagai pegangan untuk melepaskan heels, dan kemudian berjalan ke kamarnya. Saat aku mengganti piyamaku, aku mencoba agar wajahku tetap terliha kesal padanya. Meski kenyataanya aku dalam suasana hati yang baik-baik saja.
Ray duduk di tempat tidur dan menyilangkan tangannya. "Did you have a good time?"
"I had," aku menghela napas agar tedengar lebih dramatis. "A fantastic time, a perfect time. He….." Aku gagal menemukan kata yang pas untuk menggambarkan Joshua, jadi aku hanya menggelengkan kepalaku.
"Dia menciummu?"
Aku mengatupkan bibirku dan mengangguk. "Dia punya bibir yang sangat lembut."
Ray mundur. "Aku tidak peduli bibirnya seperti apa."
"Percayalah, itu penting. Aku juga sangat gugup dengan ciuman pertama, tapi yang ini tidak terlalu buruk."
"Kamu gugup saat sedang berciuman?" dia bertanya, geli.
"Ciuman pertama saja. Aku membenci momennya yang canggung."
"Aku juga akan membenci momennya, kalau aku mencium Joshua." Aku terkikik dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan riasan dari wajahku.
Ray mengikuti, bersandar di kusen pintu. "Jadi kalian akan pergi kencan lagi?"
"Ya. Dia akan meneleponku besok." Aku mengeringkan wajahku dan berjalan dengan cepat kembali menuju kamarku, lalu melompat ke tempat tidur.
Ray menanggalkan celana boxernya, dan duduk membelakangiku. Sedikit merosot, dia tampak kelelahan. Otot-otot punggungnya yang ramping meregang seperti yang dia lakukan, dan dia melirik ke arahku sejenak. "Tapi, Bell, kalau kamu memiliki waktu yang sempurna seperti yang kamu bilang tadi. Kenapa kamu pulang lebih awal?"
"Dia ada Ujian di kelas ekstranya."
Ray mengerutkan hidungnya. "Who cares?"
"Katanya dia mau masuk ke MIT. Jadi ujian ini penting buat dia."
Dia mendengus, lalu menjatuhkan diri ke atas tempat tidur dengan poisisi ubuh yang tengkurap. Aku melihatnya menyelipkan tangannya di bawah bantal, tampak kesal. "Dia ngomong begitu ke semua orang."
"Don't be an ass. He has Priorities… Buatku dia bertanggungjawab."
"Bukannya pacarnya yang harusnya menjadi prioritasnya?"
"Aku bukan pacarnya. Kita hanya sedang pendekatan Ray," tegurku.
"So, what di you guys do?" Aku meliriknya dengan tatapan kesal dan dia tertawa.
"What? I'm just curious!"
Matanya terlihat tulus,jadi aku memutuskan untuk menceritakan semuanya, mulai dari restoran, makanan, hingga hal-hal manis dan lucu yang dikatakan Joshua. Aku tahu mulutku membeku dalam seringai konyol, tapi aku tidak bisa berhenti tersenyum saat menceritakan malamku yang sempurna.
Ray memperhatikanku dengan senyum geli saat aku terus mengoceh, bahkan mengajukan pertanyaan. Meskipun dia tampak frustrasi dengan apa yang aku ceritakan tentang Joshua, tapi aku tahu kalau dia terlihat senang saat aku juga senang.
Ray duduk di sisi tempat tidurnya, dan aku menguap. Kami saling berpandangan sejenak sebelum dia menghela nafas. "Aku senang kamu bersenang-senang, Bell. You deserve it."
"Thank you," kataku sambil y=tersenyum. Nada dering ponselku berdering, dan aku tersentak untuk melihat nama yang terpampang di layar.
"Halo?"
"Besok," kata Joshua.
Aku melihat jam dan tertawa. Ini sudah jam dua belas malam. "It is."
"Jadi gimana kalau Senin malam?" Dia bertanya.
Aku menutup mulutku sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. "Eh, ya. Senin malam boleh juga."
"Great. Sampai ketemu hari Senin," katanya. Aku bisa mendengar senyum dalam suaranya.
Aku menutup telepon dan melirik Ray, yang menatapkudengan sedikit kesal. Aku berbalik darinya dan memeluk bantal panjang.
"You such a girl," kata Ray, memunggungiku. Aku memutar bola mataku dan menghela nafas.
Dia berbalik, menarikku untuk menghadapnya. "Kamu beneran suka sama Joshua?"
"Jangan rusak kesenanganku Ray!"
Dia menatapku sejenak, dan kemudian menggelengkan kepalanya, berbalik sekali lagi. "Joshua," katanya sambile menghela napas. []