Chereads / My Sweet Friend / Chapter 20 - 20

Chapter 20 - 20

Kencan di hari Senin malam, berjalan sesuai dengan harapanku. Kami pergi makan ke restoran cina, dan aku tertawa sepanjang waktu karena melihat keterampilan Joshua menggunakan sumpit. Kerika Joshua mengatarku pulang, Ray sudah lebih dulu membuka pintu sebelum Joshua mendaratkan bibirnya pada bibirku. Saat kami pergi keluar pada Rabu malam berikutnya, Joshua mengganti strategi dengan menciumku di dalam mobilnya.

Kamis, saat jam makan siang, Joshua menemuiku di kanting, dan mengejutkan semua orang karena dia emnempatai tempat yang biasa di tempati oleh Ray. Ketika Ray telah selesai menghabiskan rokoknya, dan berjalan menuju meja yang kami tempati. Dia berjlana melewati Joshua dengan acuh tak acuh, duduk di bagian ujung meja.

Alexa mendekatinya, tapi raut wajahnya berubah menjadi kecewa karena Ray telah melambaikan tangan padanya untuk memintanya pergi dalam diam. Semua orang diam seribu bahasa, dan suasana menjadi canggung di meja kami. membuatku tak bisa fokus dengan apa yang sedang Joshua katakan.

"Kayaknya aku beneran nggak diundang," Kata Joshua, mengalihkan perhatianku.

"Gimana?"

"Ku dengar pesta ulang tahunmu di gelar di hari minggu. Aku nggak diundang?"

Monic melirik Ray, yang sedang menatap taja kea rah Joshua, seolah-olah disiap menjatuhkan Jo dalam waktu sekejap.

"Itu pesta kejutan Jo," kata Monic lembut.

"Oh," jawab Joshua merasa bersalah.

"Lo buat pesta kejutan buat gue?" tanyaku pada Monic.

Dia mengangkat bahu. "Itu ide Ray dia buat pesta kejutan di rumah Brazil."

Aku melihat pipi Joshua yang merona karena malu. "Kalau begitu aku beneran nggak diundang."

"Nggak kok! Kamu jelas diundang Jo!" Kataku, memegang tangannya di atas meja.

Dua belas pasang mata tertuju pada tangan kami. Aku bisa melihat bahwa Joshua sama tidak nyamannya dengan perhatian itu seperti aku, jadi aku melepaskannya dan menarik tanganku ke pangkuanku.

Joshua berdiri. "Ada beberapa hal yang perlu aku urus sebelum masuk kelas. Nanti kamu aku telepon ya."

"Oke," kataku, sambil memberinya senyum minta maaf.

Joshua membungkukan tubuhnya dan mencium bibirku. Keheningan menyelimuti seluruh kantin. dan Monic langsung menyikutku setelah Joshua menghilang dari kantin.

"Lo nggak merasa rishi, saat semua mata menuju pada lo sekarang?" dia berbisik.

Dia melihat sekeliling ruangan dengan wajah kesal. "Lihat apa?" Kata Monic berteriak.

"Nggak usah ikut campur sama urusan orang!" Satu demi satu, kepala menoleh, dan gumaman pun terjadi.

Aku menutup mataku dengan tanganku. "Lo tahu drnrlumnya gue terlihat menyedihkan karena gue dianggap sebagai pacaranya Ray yang nggak tahu apa-apa. Sekarang gue terlihat jahat karena. Mendekati Joshua dan Ray secara bersamaan."

Ketika Monic tidak berkomentar, aku menoleh untuk menatapnya. "Kenapa? Jangan bilang lo juga sepemikiran dengan mereka."

"Gue nggak ngomong apa-apa!" jawab Monic.

Aku menatapnya tidak percaya. "But That's what you think?"

Monic menggelengkan kepalanya, tapi dia tidak menjawab apa-apa. Tatapan dingin dari mahasiswa lain tiba-tiba terlihat, dan aku berdiri, berjalan ke ujung meja.

"Akum au ngomong," kataku sambil menepuk bahu Ray. Aku mencoba untuk menjaga suaraku agar terdengar tenang. Tetapi kemarahan yang meluap-luap di dalam diriku membuat suaraku terdengar lebih buruk. Aku terlihat seperti seseorang yang sedang menantang Ray untuk bertarung. Seluruh mahasiswa, termasuk sahabatku sendiri, mengira kalau aku sedang bermain api dengan dua pria. Hanya ada satu solusi.

"Mau ngomong apa?" tanya Ray, sambil memasukan potongan ayam karage ke dalam mulutnya. Aku berdiri dengan gelisah, saat memperhatikan semua mata yang kini terlihat penasaran dan bersiap memasang kedua telinga lebar-lebar untuk mencuri dengar.

Ray masih tidak bergerak, aku meraih lengannya dan menariknya dengan kuat. Dia berdiri dan mengikutiku keluar dengan senyum di wajahnya.

"Kenapa sih Bell?" katanya, melihat tanganku di lengannya dan kemudian ke arahku.

"Kamu harus melepaskanku dari taruhan," pintaku.

Raut wajahnya berubah seketika. "Kamu mau pergi? Kenapa? Memangny akau salah apa?"

"Kamu nggak melakukan apa-apa Ray. Memangnya kamu nggak lihat semua orang sekarang melihatku bagaimana? Aku seperti wanita nakal yang menjerat dua laki-laki paling popular dikampus."

Ray menggelengkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. "Bukan salahku. Aku nggak melakukan apa-apa."

"Tapi kamu berkontribusi Ray. Jo bilang semua orang mengiranya sedang melakukan misi bunuh diri. Karena dia mengajak kencan wanita yang kamu cintai."

Alis Ray terangkat dan dia tersedak oleh kepulan asap yang baru saja dia hirup. "Orang-orang bilang begitu?" katanya di antara batuk.

Aku mengangguk. Dia membuang muka dengan mata terbelalak, mengambil tarikan lain pada rokoknya.

"Ray! kamu harus melepaskanku dari taruhan! Aku nggak bisa berkencan dengan Joshua dan tinggal bersamamu pada saat yang bersamaan. Itu terlihat mengerikan!"

"Jadi kenapa nggak berhenti berkencan dengan Joshua."

Aku memelototinya. "Bukan itu masalahnya dan kamu tahu itu."

"Apakah itu satu-satunya alasan kamu ingin pergi? Karena apa yang orang katakan?"

"Setidaknya sebelum aku tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba berubah menjadi penjahat dalam sekejap," gerutuku.

"Kamu nggak jawab pertanyaanku Bell."

"Iya!"

Ray melihat ke belakangku pada para mahsiswa yang masuk dan meninggalkan kantin. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tapi aku nggak sabar karena waktu yang dia mabil untuk berpikir terlalu lama.

Akhirnya, dia berdiri tegak, bertekad. "Nggak."

Aku menggelengkan kepalaku, yakin kalau aku salah dengar. "Gimana?"

"Nggak. Kan kamu sendiri yang bilang kalau taruhan adalah taruhan. Setelah sebulan berlalu, kamu akan pergi dengan Joshua, dia akan menjadi dokter, kamu akan menikah dan memiliki dua atau lima anak dan aku tidak akan pernah melihatmu lagi." Dia meringis mendengar kata-katanya sendiri.

"Aku masih punya waktu tiga minggu. Aku nggak akan menyerah begitu saja hanya karena sebuah gosiip di atas meja kantin."

Aku menoleh kembali untuk melihat ke arah kantin dan mendapati semua orang kini sedang melihat dan mengawasi kami. Perhatian yang tidak diinginkan itu membuat mataku panas. Aku memanggul tas dan berjalan melewatinya untuk berjalan ke kelasku berikutnya.

"Bella," Ray memanggilku. Aku tidak berbalik.

***

Malamnya, Monic duduk di lantai keramik kamar mandi, mengoceh tentang anak laki-laki sementara aku berdiri di depan cermin dan mengikat rambutku menjadi kuncir kuda. Aku hanya setengah mendengarkan, memikirkan betapa sabarnya Ray—untuk Ray—tahu bahwa dia tidak menyukai gagasan Joshua yang menjemputku dari rumahnya setiap malam.

Ekspresi wajah Ray muncul di benakku ketika aku memintanya untuk melepaskanku dari taruhan, dan sekali lagi ketika aku memberitahunya bahwa orang-orang mengatakan dia jatuh cinta padaku. Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya mengapa dia tidak menyangkalnya.

"Yah, Justin mengira lo terlalu keras padanya. Dia nggak pernah memiliki orang yang cukup dia pedulikan—,"

Ray menjulurkan kepalanya dan tersenyum saat melihatku mengacak-acak rambutku. "Mau makan malam nggak?" tanyanya.

Monic berdiri untuk melihat dirinya di cermin, menyisir rambut pirangnya dengan jari-jarinya. "Justin mau cobain restoran meksiko yang baru aja buka di downtown, kalian mau ikut nggak?"

Ray menggelengkan kepalanya. "Kayaknya gue sama Bella mau pergi sendiri malam ini."

"Aku mau keluar makan malam sama Joshua."

"Lagi?" katanya kesal.

"Lagi," kataku senang.

Bel pintu berbunyi, dan aku bergegas melewati Ray untuk membuka pintu. Ray berdiri di depanku.

"Kamu kapan sih nggak cantiknya Bell?" tanya Joshua.

"Pernah, kalau lo lihat dia datang ke rumah ini pertama kalinya. Dia pernah terlihat nggak cantik," kata Ray dari belakangku.

Aku memutar mata dan tersenyum, mengacungkan jari ke Joshua untuk memberi isyarat agar dia menunggu. Aku berbalik dan memeluk Ray. Dia menegang karena terkejut dan kemudian rileks, menarikku erat-erat ke tubuhnya.

Aku menatap matanya dan tersenyum. "Terima kasih telah mengatur pesta ulang tahunku. Boleh nggak kalau aku minta teraktir makan malam sama kamu, besok?

Selusin emosi bergulir di wajah Ray, dan kemudian sudut mulutnya terangkat. "Besok?"

Aku mengeratkan pelukan kami sebelum melepaskanya dan menyeringai. "Besok."

Aku melambai padanya saat Joshua meraih tanganku. []