"Bella bangun!" Monic berteriak, membangunkanku.
Toto menjilati pipiku. "Iya! iya! gue bangun!"
"Kita ada kuliah setengah jam lagi!"
Aku melompat dari tempat tidur. "Gue tidur lebih dari empat belas jam! Astaga!"
"Udah buruan mandi! Kalau dalam sepuluh menit lo belum selesai juga, gue tinggal."
"Gue nggak punya waktu buat mandi!" aku berkata sambil mengganti baju yang telah aku pakai tidur.
Ray menyangga kepalanya dengan tangan lalu tergelak. "Kalian menggelikan, dunia tidak akan kiamat kalau kalian terlambat masuk satu kelas."
"Akan kiamat untuk Monic. Dia nggak pernah terlambat dan dia benci kalau harus terlambat." Kataku sambil mengenakan kaos dan celana jinsku.
"Biarkan Monic pergi duluan, aku akan mengantarmu."
Aku memasukan satu kakiku lalu kaki satu lagi, memakai sepatu bootku. "Tasku ada di mobilnya, Ray."
"Terserah," katanya sambil mengangkat bahu, "Asal jangan sampai terluka saat kamu terburu-buru masuk kelas." Dia mengangkat Toto, menggendongnya dengan satu tangan seperti membawa bola kecil, lalu membawanya keluar.
Monic mendorongku keluar pintu dan masuk ke mobil. "Gue masih nggak percaya dia kasih lo hadiah anak anjing," kata Monic, sambil melihat ke belakang saat mundur keluar dari tempat parkir.
Ray berdiri di bawah sinar matahari pagi, hanya memakai celana boxer dan bertelanjang kaki, tangannya memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan. Dia memperhatikan Toto yang sedang mengendus rumput, membujuknya seperti seorang ayah yang bangga.
"Gue belum pernah punya anak anjing, sepanjang hidup gue," kataku. "It will be fun."
Monic memandang Ray sebelum memasukan persneling mobilnya. "Look at him," kata Monic sambil menggelengkan kepalanya. "Gallean Ray yang beralih profesi sebagai bapak rumah tangga."
"Toto sangat lucu. Gue yakin nggak butuh waktu lama buat lo jatuh cinta sama dia."
"Lo nggak bisa bawa anak anjing itu ke dalam asrama. Kayaknya Ray nggak mikir sampai ke sana."
"Ray bilang dia akan merawatnya buat gue."
Dia menarik ke atas satu alisnya. "Of course. Ray selalu berpikir ke depan, gue salut sama tuh anak," jawab Monic, sambil menggelengkan kepalanya lalu menginjak gas.
***
Aku terengah-engah, meluncur ke atas kursiku dengan sisa satu menit sebelum kuliah di mulai. Setelah adrenalin menghilang dari tubuhku, rasa berat dari koma pasca ulang tahun mengambil alih. Monic menyikutku ketika kelas bubar, dan aku mengikutinya ke kantin.
Gaffi menunggu kami di pintu, dan aku langsung menyadari kalau ada sesuatu yang tidak beres.
"Mo," Kata Gaffi, sambil memegang tangan Monic.
Ray berlari ke arah kami, memegang pinggangnya, dia mengambil nafas hingga agak tenang.
"Apa ada segerombolan wanita marah yang mengejarmu?" aku menggodanya.
Dia menggeleng. "Aku mencoba mengejarmu...sebelum kamu masuk," dia menarik nafas.
"Apa yang terjadi?" Tanya Monic pada Gaffi.
"Ada gosip," Gaffi mulai bercerita. "Semua orang mengatakan bahwa Ray membawa Bella pulang dan...detilnya berbeda-beda, tapi cukup buruk."
"What?! Seriously?" tanyaku berteriak.
Monic memutar matanya. "Siapa yang peduli, Bell? Semua orang sudah berspekulasi soal lo dan Ray selama beberapa minggu ini. Ini bukan pertama kalinya seseorang menuduh kalian berdua telah tidur bersama."
Ray dan Gaffi saling bertukar pandang satu sama lain.
"Ada apa?" kataku. "Ada sesuatu yang lainnya, kan?"
Gaffi mengernyit. "Mereka bilang lo tidur dengan Joshua di rumah Brazil, lalu lo membiarkan Ray...membawa lo pulang, you know what I mean."
Mulutku menganga. "Great! Jadi aku ayam kampus sekarang?"
Mata Ray menjadi gelap dan rahangnya menegang. "Ini semua salahku. Jika itu orang lain, mereka tidak akan mengatakan hal itu tentangmu." Dia melangkah masuk ke dalam kantin, tangannya mengepal.
Monic dan Gaffi mengikutinya di belakang. "Semoga nggak ada orang yang cukup bodoh dan mengatakan sesuatu pada Ray." Kata Monic bergumam.
"Atau pada Bella,"Gaffi menambahkan.
Ray duduk jauh beberapa kursi di seberang tempat dudukku, melamun sambil menatap roti lapisnya. Aku menunggunya melihat ke arahku, ingin memberikan senyuman yang menenangkannya. Ray sudah memiliki reputasi buruk, dan aku membiarkan Joshua membawaku ke lorong.
Gaffi menyikutku saat aku memandangi sepupunya. "Dia hanya merasa tidak enak. Mungkin dia mencoba untuk meredakan gosip itu."
"Kamu nggak perlu duduk sejauh itu Ray. Ayo, duduk di sini," kataku, menepuk tempat kosong di depanku.
"Gue dengar pesta ulang tahun lo sangat berkesan, Bella," kata Kris Jenks sambil melemparkan sepotong daun selada ke dalam piring Ray.
"Jangan macam-macam dengannya, Jenks," Kata Ray memperingatkan dengan suara dingin, dan menatapnya tajam.
Kris tersenyum, mengangkat tulang pipinya, pipinya yang berwarna pink. "Gue dengar Joshua sangat marah. Dia bilang dia mampir ke rumah lo kemarin, lalu melihat lo dan Ray masih berada di tempat tidur."
"Mereka sedang tidur siang, Kris," jawab Monic sambil menyeringai.
Mataku langsung menatap Ray. "Joshua mampir?"
Dia bergerak dengan tidak nyaman di kursinya. "Aku tadi akan memberitahumu."
"Kapan?" tanyaku membentak.
Monic berbisik di telingaku. "Joshua mendengar gosip itu, lalu datang untuk menanyakannya secara langsung sama lo. Gue udah mencoba untuk menghentikannya, tapi dia menerobos masuk lalu...benar-benar salah paham."
Aku meletakan sikuku si atas meja, sambil menutupi wajahku. "Ini semua semakin memburuk."
"Jadi kalian tidak melakukan hal itu?" tanya Kris. "Damn, that's so annoying. Padahal gue sudah berpikir kalau Bella sangat cocok buat lo setelah semua itu, Ray."
"You need to stop Kris," Kali ini Gaffi berusara ikut memperingatkannya.
"Kalau lo beneran udah tidur sama Bella, lo keberatan nggak kalau gue ikut coba?" kata Kris, cekikikan bersama teman satu timnya.
Wajahku memerah karena malu, namun sedetik kemudian Monic berteriak di dekat telingaku karena melihat reaksi Ray melompat dari tempat duduknya. Dia meraih dari atas meja, memegang leher Kris dengan satu tangan, dan tangan satu memegang bajunya. Si pemain gelandang di tim sepak bola itu terjatuh dari tempat duduknya, terdengar banyak suara kaki kursi yang bergesekan dengan lantai saat semua orang berdiri untuk melihat.
Ray menonjok wajahnya berkali-kali, sikunya diangkat tinggi di udara sebelum dia mendaratkan setiap tinjunya. Hanya satu yang bisa Kris dapat lakukan yaitu melindungi wajahnya dengan tangan.
Tidak ada seorangpun yang menyentuh Ray. Dia sudah di luar kendali, dan reputasinya membuat semua orang takut untuk menghalanginya. Para pemain sepak bola hanya menunduk dan meringis saat mereka menyaksikan temannya diserang tanpa ampun di lantai.
"Ray!" Aku berteriak, berlari mengitari meja.
Ketika akan memukul lagi, Ray menahan tinjunya lalu melepaskan bajunya Kris, membiarkannya jatuh ke lantai. Ray terengah-engah saat melihat ke arahku, aku belum pernah melihatnya begitu menakutkan. Aku menelan ludah dan mundur selangkah ketika Ray menabrak bahuku saat dia melewatiku.
Aku melangkah untuk mengikutinya, tapi Monic mencegahnya dengan memegang tanganku. Gaffi mencium Monic lalu mengikuti sepupunya keluar.
"Oh my gosh," bisik Monic.
Kami berpaling dan melihat semua temannya Kris mengangkatnya dari lantai, dan aku meringis saat melihat wajahnya yang merah dan bengkak. Darah keluar dari hidungnya, dan Brazil memberinya tisu yang ada di atas meja.
"Dasar orang sinting, gila!" Kris mengerang, duduk di atas kursi sambil memegang wajahnya. Dia menatapku, lalu. "Sorry Bell, tadi gue cuma bercanda."
Aku tidak menjawabnya. Aku tidak dapat menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
"Bella tidak tidur dengan salah satu dari mereka," Kata Monic.
"Bacot lo beneran nggak bisa di tolong lagi Kris," kata Brazil dengan kesal.
Monic menarik tanganku. "Ayo kita pergi."
Dia terburu-buru sambil menarikku ke dalam mobil. Ketika dia memasukan persneling, aku memegang pinggangnya. "Tunggu! Kita mau kemana?"
"Kita ke rumah Gaffi dan Ray. Gue nggak mau meninggalkannya berdua dengan Ray. Lo tadi lihat sendiri dia gimana. Dia beneran lepas kendali."
"Well, kalau gitu gue nggak mau berada di dekatnya juga!"
Monic memandangku tidak percaya. "Sangat terlihat jelas ada sesuatu yang mengganggunya. Lo yakin nggak mau tahu soal apa itu?"
"Rasa untuk menjaga diri gue lebih besar dari rasa penasaran gue sekarang, Mo!"
"Satu-satunya yang membuatnya berhenti hanyalah suara lo, Bella. Dia akan mendengarkan lo. Lo harus bicara dengannya."
Aku menghela nafas dan melepaskan pinggangnya, duduk di kursiku. "Okay, ayo kita pergi." []