Chereads / My Sweet Friend / Chapter 22 - 22

Chapter 22 - 22

Keesokan paginya, aku menuangkan jus jeruk ke dalam gelas tinggi, dan menyesapnya sambil menggelengkan kepala mengikuti musik yang diputar dari iPodku. Aku terbangun sebelum matahari terbit, lalu menggeliat di kursi malas sampai pukul delapan. Setelah itu, aku memutuskan untuk membersihkan dapur untuk menghabiskan waktu sampai teman sekamarku yang menyebalkan terbangun.

Aku mengisi mesin cuci piring dan menyapu dan mengepel, lalu mengelap meja. Ketika dapur sudah berkilauan, aku mengambil keranjang pakaian bersih dan duduk di sofa, melipat sampai ada selusin atau lebih tumpukan pakaian di sekitarku.

Gumaman datang dari kamar Justin. Monic terkikik dan kemudian hening selama beberapa menit, diikuti oleh suara-suara yang membuatku merasa sedikit tidak nyaman duduk sendirian di ruang tamu.

Aku menumpuk tumpukan pakaian terlipat di keranjang dan membawanya ke kamar Ray, tersenyum ketika aku melihat bahwa dia tidak bergerak dari cara dia tidur semalam. Aku meletakkan keranjang dan menarik selimut ke atasnya, menahan tawa ketika dia berbalik.

"Lihat Bell," katanya, menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar sebelum napasnya kembali menjadi lambat dan dalam.

Mau tak mau aku memperhatikannya tidur mengetahui dia sedang memimpikanku mengirimkan getaran ke pembuluh darahku yang tidak bisa kujelaskan. Ray berbaring diam, jadi aku mandi, berharap suara air yang mengalir dari pancuran akan menenangkan erangan Justin dan Monic serta derit dan gedoran ranjang ke dinding. Ketika aku mematikan air, aku menyadari kalau sebenarnya mereka tidak peduli, pada siapapun yang mungkin mendengar mereka.

Aku menyisir rambutku, memutar mataku ke arah teriakan Monic yang bernada tinggi, lebih mirip anjing pudel daripada bintang porno. Bel pintu berbunyi, dan aku meraih jubah mandi berwarna biruku dan mengencangkan ikatan di pinggang, berlari melintasi ruang tamu. Suara-suara dari kamar tidur Justin seketika berhenti. Saat aku membuka pintu aku menemukan wajah Joshua yang sedang tersenyum

"Selamat pagi," katanya.

Aku menyisir rambutku yang basah ke belakang dengan jari-jariku. "kamu ngapain di sini pagi-pagi?"

"Aku nggak suka cara kita mengucapkan selamat tinggal tadi malam. Aku pergi keluar pagi ini untuk mencari hadiah ulang tahun untukmu, berhubung aku sudah nggak sabar untuk memberikannya padamu. So," katanya sambil mengeluarkan sebuah kotak mengkilap dari saku jaketnya, "Selamat ulang tahun, Bell."

Dia meletakkan bungkusan perak itu di tanganku, dan aku mencondongkan bibirku untuk mencium pipinya. "Terima kasih."

"Buka deh. Aku mau melihat wajahmu saat kau membukanya."

Menuruti kemauannya aku membuka bungkus kertas berwarna perak. Lalu seutas berlian berkilauan tersampir di gelang emas putih.

"Jo," bisikku.

Wajahnya tampak berseri-seri. "Kamu menyukainya?"

"Ya," kataku sambil memegangnya di depan wajahku dengan kagum, "tapi itu terlalu berlebihan. Aku nggak bisa menerima ini kita baru aja saling mengenal."

Raut wajahnya berubah menjadi meringis. "Aku sudah menduga sih kalau kamu bakal bilang begitu. Aku udah mikirin kira-kira hadiah apa yang pantas aku berikan buat kamu, dan waktu aku melihat ini, aku nggak bisa mikirin hadiah yang lain lagi. yang terbayang hanya betapa indahnya gelang ini akan terlihat kalau di kenakan di tanganmu," katanya, dia mengambil gelangnya dari tanganku dan memakaikannya di pergelangan tanganku. "Dan aku benar. Itu terlihat luar biasa untukmu."

Aku mengangkat pergelangan tanganku dan menggelengkan kepalaku, terhipnotis oleh kilauan warna yang terpantul oleh sinar matahari. "Ini adalah hadiah terindah yang pernah aku dapat. Tidak ada yang pernah memberiku hadiah seperti ini…," kata mahal terlintas dalam pikiran, tapi aku tak mengatakannya, "Beyond my word. Aku nggak tahu harus bilang apa."

Joshua tertawa, lalu mencium pipiku. "Cukup bilang kalau kamu akan memakainya besok."

Aku memberinya senyuman lebar. "Aku akan memakainya besok," kataku, melihat ke pergelangan tanganku.

"Aku senang kamu suka. Raut wajahmu sepadan dengan tujuh toko yang aku kunjungi."

Aku menghela nafas. "Kamu pergi ke tujuh toko?" Dia mengangguk, dan aku memegang wajahnya di tanganku. "Terima kasih. Ini sempurna," kataku, menciumnya dengan cepat.

Dia memelukku erat. "Aku harus kembali. Aku ada janji makan siang dengan orang tuaku, tapi aku akan meneleponmu nanti, oke?"

"Oke. Thank you!" Aku memanggilnya, melihatnya berlari menuju mobilnya.

Aku bergegas masuk ke dalam rumah, tidak bisa mengalihkan pandangan dari pergelangan tanganku.

"Gila Bella!" seru Monic, sambil meraih tanganku. "Ini dari mana sih?"

"Dari Joshua. Katanya ini hadiah ulang tahun buat gue," kataku.

Monic melongo ke arahku, lalu turun ke gelang itu. "Dia beliin lo gelang berlian? Setelah ngajak lo ngedate kurang dari satu bulan? Wah, kalau gue nggak kenal lo dengan baik gue mikirnya pasti udah kemana-mana." Aku tertawa terbahak-bahak, lalu kami nggak berhenti cekikikan di ruang tamu.

Justin muncul dari kamar tidurnya, tampak lelah dan puas. "Senang banget?"

Monic mengangkat pergelangan tanganku. "Lihat! Hadiah ulang tahunnya dari Joshua!"

Justin menyipitkan mata, lalu matanya terbuka. "Wah."

"I know right?" kata Monic sambil mengangguk.

Ray berjalan keluar dari kamar dengan langkah yang terseret. "Kalian berisik banget," erangnya, mengancingkan celana jeansnya.

"Maaf," kataku, menarik tanganku dari cengkeraman Monic. Momen saat dia menyentuh kulitku semalam kembali merayap ke dalam pikiranku, dan sepertinya aku tidak bisa menatap matanya.

Dia menenggak sisa jus jerukku, lalu menyeka mulutnya. "Siapa yang membiarkan gue minum sebanyak itu tadi malam?"

Monic mencibir, "Benar. Lo pergi keluar dan membeli dua botol sekaligus sesaat setelah Bella pergi sama Joshua. Dan hampir membunuhnya saat dia mengantar Bella pulang."

"Sialan," katanya sambil menggelengkan kepalanya. "Apakah kamu bersenang-senang?" dia bertanya, melihat ke arahku.

"Are you kidding me?" tanyaku, menunjukkan kemarahanku sebelum berpikir.

"Kenapa?"

Monic tertawa. "Lo menarik Bella keluar dari mobil Joshua, dengan wajah yang memerah karena marah waktu lo pergokin mereka bermesraan seperti anak SMA, sampai mobilnya bergoyang."

Mata Ray bergerak tidak fokus, memindai ingatannya tentang apa yang terjadi semalam. Sementara aku sekuat tenaga untuk menahan amarahku sendiri. Kalau dia tidak ingat menarikku dari mobil, dia tidak akan ingat seberapa dekat aku menyerahkan keperawananku padanya semalam.

"Seberapa marah kamu?" dia bertanya sambil meringis.

"Cukup kesal." Aku lebih marah dan kecewa bukan karena dia tidak mengingat telah menarikku keluar dari mobil Joshua. Aku mengencangkan jubah mandiku dan berjalan menyusuri lorong. Langkah kaki Ray tepat di belakangku.

"Bell," katanya, menahan pintu ketika aku menutupnya di depan wajahnya. Dia perlahan-lahan mendorongnya terbuka dan berdiri di depanku, menunggu untuk menyemburkan amarahku.

"Kamu nggak ingat, apa yang kamu lakukan padaku semalam?" tanyaku.

"Tidak. Kenapa? Apa aku jahat padamu?" Matanya yang merah penuh dengan kekhawatiran, yang hanya memperkuat kemarahanku.

"Tidak, kamu tidak jahat padaku! Kamu kita…." Aku menutup mataku dengan tanganku, dan kemudian membeku ketika aku merasakan tangan Ray di pergelangan tanganku.

"Dari mana ini?" katanya, memelototi gelang itu.

"Ini milikku," kataku, menarik diri darinya.

Dia tidak melepaskan pandangannya dari pergelangan tanganku. "Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Itu terlihat baru."

"Memang."

"Dari mana kamu mendapatkannya?"

"Joshua memberikannya kepadaku sekitar lima belas menit yang lalu," kataku, melihat wajahnya berubah dari kebingungan menjadi kemarahan.

"Apa yang dilakukan bajingan itu di sini? Apa dia menginap semalam?" dia bertanya, suaranya meninggi.

Aku menyilangkan tanganku. "Dia beli hadiah ulang tahunku pagi ini, dan nggak tahan untuk langsung memberikannya padaku."

"Ini belum ulang tahunmu." Wajahnya berubah menjadi merah tua saat dia berusaha mengendalikan emosinya.

"Dia tidak bisa menunggu," kataku, mengangkat daguku dengan bangga.

"Tidak heran aku harus menyeret pantatmu keluar dari mobilnya, sepertinya kamu …." dia terdiam, mengatupkan bibirnya.

Aku menyipitkan mataku. "Apa? Kedengarannya seperti aku adalah apa?"

Rahangnya menegang dan dia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dari hidungnya. "Nggak ada apa-apa. Aku hanya kesal."

"Kamu selalu kesal belakangan ini Ray."

"Iya tahu. Aku juga sedang berusaha untuk nggak terus-terusan merasa kesal," katanya, berjalan kembali ke pintu. "Pakai baju sana."

Ketika dia meraih gagang pintu, dia berhenti, menggosok lengannya. Segera setelah jari-jarinya menyentuh tangannya yang berwarna ungu, dia menarik sikunya dan melihat memarnya. Dia menatapnya sejenak, lalu menoleh ke arahku.

"Aku jatuh di tangga tadi malam. Dan kau membantuku tidur…." katanya, memilah-milah gambar buram di benaknya.

Jantungku berdebar kencang, dan aku menelan ludah saat melihat kesadaran mulai menyerang. Matanya menyipit. "Kita," dia memulai, mengambil langkah ke arahku, melihat ke lemari, dan kemudian ke tempat tidur.

"Tidak, kita tidak melakukannya. Tidak ada yang terjadi," kataku sambil menggelengkan kepala.

Dia meringis, ingatan itu jelas berputar di benaknya. "Kamu membuat kaca jendela Joshua menjadi buram, aku menarikmu keluar dari mobil, dan kemudian aku mencoba untuk...," katanya, menggelengkan kepalanya. Dia berbalik ke pintu dan meraih gagang pintu, buku-buku jarinya memutih. "Kamu membuatku menjadi psikopat, Bell," geramnya dari balik bahunya. "Aku tidak bisa berpikir jernih saat berada di dekatmu."

"Jadi ini salahku?"

Dia berbalik. Matanya jatuh dari wajahku ke jubahku, ke kakiku, dan kemudian kakiku, kembali ke mataku. "Aku tidak tahu. Ingatanku agak kabur…tapi aku tidak ingat kamu mengatakan tidak."

Aku maju selangkah, siap untuk membantah fakta kecil yang tidak relevan itu, tapi aku tidak bisa. Dia benar. "Apa yang kamu ingin aku katakan, Ray?"

Dia melihat gelang itu, lalu kembali menatapku dengan tatapan menuduh. "Kamu berharap aku tidak akan mengingatnya?"

"Nggak! Aku kesal karena kamu lupa!"

Mata coklatnya menatap mataku. "Kenapa?"

"Karena jika aku mau…jika kita mau…dan kamu tidak…aku tidak tahu kenapa! Aku baru saja!"

Dia menyerbu ke seberang ruangan, berhenti beberapa inci dariku. Tangannya menyentuh setiap sisi wajahku, napasnya cepat saat dia mengamati wajahku. "Apa yang kita lakukan, Bell?"

Mataku mulai dari ikat pinggangnya, dan kemudian naik ke otot-otot dan tato di perut dan dadanya, akhirnya tertuju pada matanya yang cokelat dan hangat.

"Tell me." []