Ketika mataku akhirnya terbuka, aku melihat bahwa aku tidur beralaskan kaki yang masih memakai celana jins. Ray duduk bersandar pada tub, dan kepalanya ke tembok, tidur kedinginan. Dia kelihatan sama parahnya denganku. Aku melepas selimutku lalu berdiri, tersentak melihat bayanganku yang menakutkan dalam cermin di atas wastafel.
Aku terlihat seperti mayat.
Maskara luntur, noda air mata hitam sepanjang pipiku, lipstik belepotan dan ada rambutku diikat seperti buntut tikus di kedua sisinya.
Ada sprei, handuk dan selimut yang tergeletak di sekeliling Ray. Dia membuat alas empuk untuk tidur sementara aku memuntahkan lima belas sloki tequila yang aku minum tadi malam. Ray memegangi rambutku menjauh dari toilet dan duduk bersamaku sepanjang malam.
Aku menyalakan kran, menahan tanganku di bawah air hingga temperaturnya sesuai dengan yang aku inginkan. Menggosok wajahku yang berantakan, aku mendengar erangan dari lantai. Ray bangun, menggosok matanya, menggeliat lalu melihat ke sampingnya, dia tersentak panik.
"Aku di sini," kataku. "Kenapa kamu tidak pergi ke kamar saja. Untuk tidur lagi"
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, sambil mengusap matanya sekali lagi.
"Ya, aku baik-baik saja. Well, sebaik yang aku bisa. Aku akan merasa lebih baik setelah mandi nanti."
Dia berdiri. "Kamu sangat hebat tadi malam, asal kamu tahu. Aku tak tahu dari mana asalnya, tapi aku tidak ingin kamu melakukannya lagi."
"Aku sudah terbiasa, Ray. Bukan masalah besar bagiku."
Dia memegang pipiku dengan tangannya lalu menghapus sisa maskara luntur yang masih ada di bawah mataku dengan ibu jarinya. "Itu masalah besar bagiku."
"Baiklah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Puas?"
"Ya. Tapi, aku akan memberitahumu sesuatu, tapi janji kalau kamu tidak akan panik."
"Oh, Tuhan, apa yang telah aku lakukan""
"Kamu tidak melakukan apa-apa, tapi kamu harus menelepon Monica."
"Di mana dia?"
"Di asrama. Dia bertengkar dengan Gaffi tadi malam."
Aku mandi dengan tergesa-gesa dan memakai baju yang telah Ray siapkan untukku di atas wastafel. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Gaffi dan Ray sedang duduk di ruang tamu.
"Apa yang terjadi di antara lo dan Monic?" aku bertanya.
Wajah Gaffi tampak sedih. "Dia marah sama gue."
"Marah karena apa?"
"Gue marah sama dia karena mendorong lo untuk minum sebanyak itu. Gue pikir kita akan berakhir dengan membawa lo ke rumah sakit. Satu hal mengarah ke hal lainnya, dan selanjutnya yang gue tahu kita sedang saling berteriak. Kita berdua mabuk, Bell. Gue mengatakan sesuatu yang nggak bisa gue tarik kembali," dia menggelengkan kepalanya, menunduk.
"Mengatakan sesuatu, like what?" tanyaku, marah.
"Gue menyebutnya sebagai sesuatu yang nggak gue banggakan lalu menyuruhnya pergi."
"Lo biarin dia pergi dari sini dalam keadaan mabuk? Lo ini idiot?" kataku, lalu mengambil tasku.
"Bell, Calm down, Dia sudah cukup merasa bersalah," kata Travis.
Aku mengeluarkan ponselku dari tas, untuk menghubungi nomor Monic.
"Hallo"" dia menjawab. Dia terdengar sangat kacau.
"Gue baru aja dengar ceritanya." Aku menghela nafas.
"Are you okay Mo?" aku berjalan ke luar untuk mendapatkan privasi, dan sekali lagi melihat ke arah Gaffi dengan tatapan marah.
"I'm Okay. Dia brengsek." Kata-katanya kasar tapi aku bisa mendengar rasa sakit dalam suaranya. Monic selalu pintar menyembunyikan emosinya, dan dia dapat menyembunyikannya dari semua orang kecuali aku.
"Maaf mo semalem gue nggak pergi nemenin lo."
"Gue tahu lo juga sedang mabuk parah Bell," jawabnya dengan acuh.
"Lo bisa jemput gue sekarang nggak Mo? Kita bicarakan masalah ini."
Dia bernafas ke arah telepon. "Gue nggak mau. Gue mau ketemu sama dia."
"Gue akan menyuruhnya untuk tetap diam di dalam saat lo datang."
Dia terdiam cukup lama, lalu aku mendengar suara kunci di telepon. "Okedeh. Gue sampai sepuluh menit lagi."
Aku masuk ke ruang tamu, mengaitkan tas di bahuku. Mereka mengamatiku membuka pintu untuk menunggu Monic, dan Gaffi bergeser ke depan di atas sofa.
"Dia akan datang kemari, jemput gue."
"Dia nggak mau ketemu sama lo Gaff. Gue bilang sama dia kalau lo akan tetap di dalam."
Dia menghela nafas, dan menjatuhkan diri ke kursi. "Dia benci sama gue sekarang."
"Gue akan bicara dengannya. Tapi sebaiknya lo punya cara yang hebat untuk minta maaf."
Sepuluh menit kemudian, klakson berbunyi dua kali di luar, dan aku menutup pintu di belakangku.
Ketika aku tiba di dasar tangga, Gaffi melewatiku dengan cepat menuju mobil Monic, dan membungkuk untuk melihat ke dalam jendela mobil. Aku berhenti, melihat Monic mengumpat pada Gaffi sambil melihat lurus ke depan. Dia menurunkan jendelanya, dan Gaffi kelihatannya sedang menjelaskan, lalu mereka mulai berdebat. Aku masuk Berbalik untuk memberi mereka privasi.
"Bella," Panggil Ray, berlari kecil menuruni tangga.
"Kelihatannya buruk."
"Biarkan mereka menyelesaikannya. Ayo kita masuk," katanya, jarinya meraih jariku dan menuntunku masuk ke dalam rumah.
"Apa pertengkaran mereka semalam separah itu?" Tanyaku.
Dia mengangguk. "Lumayan parah. Mereka baru saja keluar dari masa bulan madu. Mereka akan menyelesaikannya."
"Buat seseorang yang tidak pernah punya kekasih, kamu tampak seperti tahu banyak tentang suatu hubungan."
"Aku punya empat saudara laki-laki dan teman yang banyak," jawabnya, sambil menyeringai pada dirinya sendiri.
Gaffi masuk ke dalam rumah lalu membanting pintu di belakangnya. "Dia sangat tidak masuk di akal!"
Aku mencium pipi Ray. "That's my sign."
"Good luck," bisik Ray sambil tersenyum.
Aku meluncur duduk di samping Monic, dan dia mendengus. "Dia sangat tidak masuk di akal!"
Aku tertawa, namun dia melotot ke arahku. "Maaf," kataku, memaksa senyumku agar hilang.
Kami bersiap-siap untuk pergi dan Monic berteriak, menangis dan berteriak lagi. Kadang dia mengeluarkan kata-kata kasar yang ditujukan pada Gaffi, seolah dia duduk di tempatku. Aku duduk dengan tenang, membiarkan dia mengatasinya dengan caranya sendiri.
"Dia bilang kalau gue tidak bertanggung jawab! Pada lo! Seolah gue nggak mengenal lo! Seolah gue nggak pernah melihat lo merampok minuman keras milik ayah lo yang berharga ratusan dolar yang jumlahnya dua kali lipat. Dia nggak tahu apa-apa! Dia nggak tahu gimana kehidupan lo dulu! Dia nggak tahu apa yang gue tahu, dan dia memperlakukan gue seperti gue adalah anaknya, bukan kekasihnya!" Aku memegang tangannya namun dia menariknya menjauh.
"Dia pikir lo yang akan menjadi alasan hubungan kami tidak akan berjalan dengan baik, tapi justru dia yang melakukannya sendiri. Dan berbicara tentang diri lo – apa yang lo pikirkan tadi malam bersama Joshua?"
Pergantian topik pembicaraan yang tiba-tiba ini membuatku terkejut. "Maksud lo?"
"Ray mengadakan pesta untuk lo, Bella, tapi lo malah pergi dan bercumbu dengan Joshua. Dan lo merasa heran kenapa orang lain membuat gossip tentang lo!"
"Tunggu sebentar! Gue udah bilang sama Joshua kalau kita tidak seharusnya di belakang sana. Apa masalahnya kalau Ray mengadakan pesta itu untuk gue atau bukan? Gue, kan, nggak berpacaran dengannya!"
Monic menatap lurus ke depan, menghembuskan udara dari hidungnya.
"Well, Mo. What's goin on? Lo marah sama gue sekarang?"
"Gue nggak marah sama lo. Gue hanya nggak percaya kalau gue bersahabat dengan orang yang benar-benar idiot."
Aku menggelengkan kepalaku, lalu melihat keluar jendela sebelum aku mengatakan sesuatu yang akan aku sesali… Monic selalu bisa membuatku merasa buruk saat dia menginginkannya.
"Apa lo benar-benar nggak bisa melihat situasi yang sedang terjadi?" tanyanya. "Ray berhenti bertarung. Dia tidak membawa wanita pulang sejak dua wanita murahan yang dia bwa pulang waktu lalu... belum membunuh Joshua, dan lo mengkhawatirkan tentang apa yang dibicarakan orang lain. Lo tahu kenapa itu, Bell. Because it's the truth!"
Aku berpaling, menjulurkan leherku dengan pelan ke arahnya, mencoba untuk memberikan tatapan paling marah yang aku punya padanya. "What's your problem?"
"Lo pergi berkencan dengan Joshua, sekarang, dan lo terlhita sangat bahagia, atau setidaknya mencoba untuk terlihat bahagia," katanya dengan nada menghina. "Tapi kenapa lo nggak pulang ke asrama?"
"Karena gue kalah taruhan, lo tahu itu!"
"Yang benar saja, Bell! Lo bicara tentang betapa sempurnanya Joshua, kencan lo dengannya selalu sempurna, bicara dengannya berjam-jam di telepon, lalu lo tidur di samping Ray tiap malam. Lo jelas melihat apa yang salah dengan situasi ini. Kalau lo benar-benar menyukai Joshua, semua barang lo sudah akan berada di asrama sekarang."
Gigiku terkatup dengan rapat. "Lo tahu kalau gue nggak pernah lari saat kalah taruhan Mo."
"Nope, I know you to well Bell. gue tahu apa yang mengganggu isi kepala lo," katanya, memutar tangannya dia atas kemudi. "Ray adalah orang yang lo inginkan, sedangkan Joshua hanyalah yang lo pikir lo butuhkan."
"Mungkin gue memang terlihat kayak gitu, tapi – "
"Kelihatan seperti itu oleh semua orang. Jadi jika lo nggak suka dengan cara orang lain membicarakan diri lo ya berubah. Ini bukan kesalahan Ray. Dia berubah 180 derajat buat lo. Dan lo yang dapat hadiah tapi Joshua yang mendapatkan keuntungannya."
"Seminggu yang lalu lo memaksa gue pergi dan nggak akan pernah membiarkan Ray mendekati gue lagi! Sekarang lo malah membelanya""
"Arabella! Gue lagi nggak membelanya, bodoh! Gue justru lagi jagain lo! Kalian berdua tergila-gila satu sama lain! Lakukan sesuatu tentang itu!"
"Bagaimana bisa lo berpikir gue harus bersamanya?" jawabku meratap.
"Lo seharusnya menjauhkan gue dari orang seperti dia!"
Dia menutup bibirnya rapat, jelas kehilangan kesabarannya. "Lo telah bersusah payah untuk menjauh dari ayah lo. Itu adalah satu-satunya alasan Lo mempertimbangkan Joshua! Dia bertolak belakang dengan Ayah lo. Dan lo mengira kalau Ray akan membawa lo kembali ke tempat lo dulu berada. Dia bukan ayah lo, Bella."
"Gue nggak bilang dia seperti ayah, tapi itu membuat gue dalam posisi harus menuruti segala kemauannya."
"Ray nggak akan melakukan itu sama lo. Dan yang nggak lo sadari, lo meremehkan betapa berartinya diri lo untuknya. Kalau saja lo memberitahunya-,"
"No. Kita meninggalkan semua di belakang agar semua orang di sini tidak melihat gue seperti orang-orang yang di Metropolis. Kita fokus pada masalah yang ada saja dulu. Gaffi sedang menunggu lo."
"Gue nggak mau membahasa Gaffi," Katanya, melaju pelan untuk berhenti di lampu merah.
"Dia kelihatan kacau Mo. He love you."
Matanya penuh dengan air mata dan bibir bawahnya bergetar. "I don't care."
"You do care."
"I know," dia berbisik, menyenderkan kepalanya ke bahuku.
Dia menangis sampai lampu berubah, lalu aku mencium kepalanya. "Lampunya hijau."
Dia duduk, mengelap hidungnya. "Gue jahat banget tadi sama dia. Gue yakin dia nggak mau lagi bicara sama gue sekarang."
"He'll talk to you. Dia tahu lo sedang kesal tadi."
Monic mengusap wajahnya, lalu berputar arah pelan-pelan. Aku tadinya khawatir harus terus membujuknya dulu agar dia mau pulang bersamaku, dan Gaffi sudah berlari dari dalam rumah menyebrangi halaman parkir sebelum Monic mematikan mesin mobilnya.
Dia menarik untuk membuka pintu mobil Monic lalu membantunya berdiri. "Maafkan aku, sayang. Aku harusnya mengurus urusanku sendiri, aku...aku mohon jangan pergi. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa dirimu."
Monic memegang wajah Gaffi lalu tersenyum. "Kamu adalah seorang bajingan sombong, tapi aku tetap mencintaimu."
Gaffi menciumnya berkali-kali seolah sudah tidak bertemu dengannya selama berbulan-bulan, dan aku tersenyum karena berhasil melakukan tugasku. Ray berdiri di pintu masuk, menyeringai saat aku masuk ke dalam rumah. "And they live happy after ever," katanya, sambil menutup pintu di belakangku. Aku menjatuhkan diri ke sofa, dan dia duduk di sampingku, menarik kakiku ke atas pangkuannya.
"Apa yang ingin kamu lakukan hari ini, Bell?"
"Tidur. Atau istirahat...atau tidur."
"Before that, boleh nggak aku memberikan hadiah untukmu sekarang?"
Aku mendorong bahunya. "Astaga, kamu mau memberikan aku hadiah?"
Mulutnya membentuk satu senyuman gugup. "Ini bukan gelang berlian, tapi kupikir kamu pad=sti akan menyukainya."
"Aku akan sangat menyukainya, meskipun belum melihatnya."
Dia menurunkan kakiku dari pangkuannya, lalu dia menghilang ke kamar Gaffi. Aku mengangkat satu alisku saat aku mendengar dia bergumam, lalu dia keluar sambil memegang kotak. Dia menaruhnya di bawah di dekat kakiku, lalu berjongkok di belakangnya.
"Cepatlah, aku ingin melihatmu terkejut," dia tersenyum.
"Cepat?" aku bertanya, membuka tutupnya.
Mulutku menganga, saat sepasang mata hitam besar melihat ke arahku.
"Anak anjing?" aku menjerit, mengeluarkannya dari kotak. Aku mengangkat mahluk kecil berbulu hitam tebal di depan wajahku, lalu dia menciumku dengan hangat dan basah di mulutku.
Wajah ray berseri-seri senang. "You like it?"
"Love it. Aku sangat menyukainya! kamu memberiku seekor anak anjing!"
"Itu anjing jenis Cairn Terrier. Aku harus menempuh perjalanan selama tiga jam untuk mengambilnya hari Kamis kemarin sepulang kuliah."
"Jadi waktu kamu bilang akan pergi bersama Gaffi untuk membawa mobilnya ke bengkel – "
"Kami pergi mengambil hadiahmu," dia mengangguk.
"Dia menggoyangkan ekornya." Aku tertawa.
"Setiap wanita dari Metropolis membutuhkan seekor Toto (Jenis anjing)" kata Ray, dia membantukku memegangi bola halus dan menaruhnya di atas pangkuanku.
"Dia memang mirip Toto! Aku akan memanggilnya Toto," aku berkata sambil mengerutkan hidungku pada anak anjing yang sedang menggeliat.
"Kamu bisa menyimpannya di sini. Aku akan merawatnya untukmu saat kamu kembali ke asrama," bibirnya membentuk senyuman yang dipaksakan, "Dan ini akan menjadi jaminanku agar kamu datang berkunjung ketika satu bulan ini berakhir."
Aku menutup rapat bibirku. "Bagaimanapun aku akan tetap berkunjung, Ray."
"Aku akan melakukan apapun untuk melihat senyuman di wajahmu itu saat ini."
"kayaknya kamu butuh tidur siang, Toto. Yes you need." aku mengelus Toto.
Ray mengangguk, menarikku ke atas pangkuannya lalu berdiri. "Ayo, kita tidur siang kalau begitu."
Dia menggendongku ke kamar, menarik selimut lalu menurunkanku di tempat tidur. Merangkak di atasku, dia meraih untuk menutup tirai lalu tidur di bantalnya.
"Terima kasih untuk tetap bersamaku tadi malam," kataku, membelai bulu halus Toto.
"Kamu tidak perlu tidur di lantai kamar mandi."
"Tadi malam adalah malam terbaik dalam hidupku."
Aku berpaling untuk melihat ekspresinya. Dan ketika aku melihat bahwa dia serius, aku memandangnya dengan tatapan meragukan.
"Tidur di antara toilet dan tub di atas lantai yang dingin dengan seorang idiot yang terus muntah adalah salah satu malam terbaik dalam hidupmu? Itu menyedihkan, Ray."
"Bukan, tinggal bersamamu saat kamu mual lalu kamu tertidur di atas pangkuanku adalah malam terbaikku. Memang tidak nyaman, aku tidak bisa tidur nyenyak, tapi aku merayakan ulang tahun ke dua puluhmu bersamamu, And you sweet when you are drunk."
"Aku yakin di antara saat aku muntah dan kamu membersihkannya, dan aku masih terlihat sangat menawan."
Dia menarikku mendekat, membelai Toto yang berbaring di atas leherku. "Kamu satu-satunya wanita yang aku tahu yang tetap kelihatan cantik meskipun kepalamu di atas toilet. It's mean something."
"Thank you Ray. Aku janji nggak akan menyusahkanmu lagi."
Dia berbaring di atas bantalnya. "Terserah. Tidak ada yang bisa memegangi rambutmu ke belakang sebaik aku."
Aku cekikikan lalu menutup mataku, membiarkanku tenggelam dalam kegelapan. []