"Bella?" kata Justin, mengetuk pintu. "Monic mau pergi ke downtown, dia nyuruh gue bilang ke lo, siapa tahu lo mau ikut."
Ray tidak mengalihkan pandangannya dariku. "Bella?"
"Okay," kataku menjawab Justin. "Bilang Monic gue ikut," tambahku.
"Okay, She's ready whenever you ready," kata Justin, suara langkah kakinya menghilang di lorong.
"Bella?"
Aku mengambil beberapa barang dari lemari dan berjalan melewatinya. "Boleh nggak sih kita membicarakan ini nanti? Banyak yang harus aku lakukan hari ini."
"Tentu," katanya dengan senyum yang dibuat-buat.
Aku berjalan dengan cepat ke dalam kamar mandi, dan buru-buru menutup pintunya di belakangku. Aku masih punya dua minggu tersisa untuk tinggal di rumah ini. Dan tak menemukan cara untuk menunda percakapan itu. Bagian masuk akal dari dalam kepalaku mengatakan Joshua adalah laki-laki idamanku. Menarik, cerdas, dan dia tertarik padaku. Dan perasaanku terhadap Ray adalah bagian yang sulit aku mengerti dan pahami.
Apapun alasannya, kita berdua telah menjadi sedikit gila karena satu sama lain.
Aku berpakaian dengan cepat, meninggalkan Ray dan Justin untuk pergi ke downtown bersama Monic. Dia bercerita tentang morning seksnya dengan Justin tadi pagi sambil terkikik. Dan aku hanya menganggukan kepala sebagai respon pada setiap ceritanya.
Sulit untuk fokus pada cerita Monic sementara fokusku teralihkan dengan kilauan cahaya yang memantul dari berlian di atao mobil Monic. Kilauannya mengingatkanku pada pilihan yang harus aku hadapi. Ray menginginkan jawaban dan aku tak memilikinya.
"Oke, Bell. What's happening? Lo diem aja dari tadi."
"It's about Ray… Rasanya semuanya jadi berantakan."
"Kenapa?" katanya, kacamata hitamnya terangkat saat dia mengernyitkan hidungnya.
"He asked me about what we were doing."
"What are you doing? Are you with Joshua or what"
"Gue pikir gue juga suka sama Joshua. Tapi gue jelas tahu apa yang gue lakukan dengan dia nggak berlangsung serius."
"You have feeling for Ray, don't you ?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Gue sendiri juga nggak tahu gimana perasaan gue ke Ray. Gue nggak bisa lihat kemungkinan kalau hubungan kita akan berhasil, Mo. Lo tahu sendiri gimana gaya hidupnya."
"Lo tahu Bell, masalah yang terjadi di antara lo dan Ray cuma satu. Karena nggak ada satupun dari kalian yang berusaha mengatakan apa yang kalian rasakan. Lo berdua sama-sama takut dengan kemungkinan yang akan terjadi. Itu, kan, yang buat lo mati-matian melawan perasaan lo sendiri? Gue yakin banget sih Bell. Kalau lo bilang apa yang sedang lo rasain ke Ray. Dia nggak akan berpaling ke wanita manapun."
"Lo yakin?" tanya gue malas.
"Ya yakin dong. Gue menjalin hubungan dengan seseorang yang mengahbiskan waktu hampir seumur hidupnya bareng Ray. Like you and me. "
Aku kembali tenggelam dalam pikiranku sejenak. Ray mengatakan pada Justin tentang kami. Tapi aku tahu Justin nggak mendukung kami, dan mengatakan itu pada Monic. Justin tahu kalau Monic kan mengatakan itu padaku. Meski dia belum mengatakan apapun padaku sampai seekarang. Dan besar keinginanku untuk tahu apa yang sebenarnya Ray katakan pada Justin.
"Mungkin kalau gue setuju menjalin hubungan dengan ray, atau gue yang lebih dulu menyatakan perasaan pada Ray. Akan ada kemungkinan hari di mana gue akan mengalami patah hati hebat Mo," kataku sambil menggelengkan kepala. "Gue nggak yakin dia bisa setia."
"Dia juga nggakmampu menjalin persahabatan dengan seorang wanita, tapi kalian berdua benar-benar mengejutkan seluruh kampus."
Aku meraba gelangku dan menghela nafas. "I don't know. As long as I know we just friend."
Monic menggelengkan kepalanya. "You not just a friend for him," desahnya. "You know what Bell? I'm done with this conversatition. Ayo refresing, lo butuh merapihkan rambut lo, dan merias wajah lo. Gue beliin lo gaun baru sebagai hadia ulang tahun."
"I think that's what I need," jawabku, sambil tersenyum.
Setelah berjam-jam melakukan manikur, pedikur, disikat, di-wax, dan makeup. Aku memakai sepatu hak tinggi berwarna kuning, dengan mengenakan gaun berwarna abu-abu baruku yang diberikan Monic sebagai hadiah.
"Now, that's the Bella I know and love!" dia tertawa, menggelengkan kepalanya sambil melihat penampilanku. "Lo harus memakainya ke pestamu besok."
"Bukannya memang begitu rencananya?" kataku sambil tersenyum. Ponselku berdering di dompetku, dan aku mendekatkannya ke telingaku. "Halo?"
"It's time or dinner! Where were you guys?" kata Ray.
"Having fun. You know, girls thing. Kamu sama Justin boleh menyiapkan makan malam sebelum kami datang. Boleh kan?"
"Ya boleh aja. Aku hanya khawatir. Soalnya kalian pergi sudah berjam-jam dan tanpa kabar." Aku melirik Monic dan tersenyum. "Aku baik-baik aja."
"Bilang sama Ray, kalau gue akan mengembalikan lo ke dia sebentar lagi, secepat yang gue bisa. Tapi gue harus mampir dulu ke rumah Brazil untuk mengambil beberapa catatan buat Justin. Baru kemudian kita pulang," kata Monic ke arah ponselku.
"Kamu dengar nggak Ray?" tanyaku
"Iya aku dengar, ya udah sampai ketemu nanti Bell."
Monic mengendarai mobilnya ke rumah Brazil. Monic mematikan kunci kontak, menatap rumah di depan. Dia tak bergerak.
"Kenapa Mo?"
"Jujur aja gue sedikit canggung ketemu Brazil. Terakhir kali gue ke sini sama Justin, dia dia menggoda gue."
"Mau gue temenin?kalau dia menggoda lo atau mengedipkan matanya ke lo, gue colok matanya pakai heels gue." Monic tersenyum sambil memeluk gue. "Thanks Bell."
Kami berjalan ke pintu bagian belakang, dan Monic menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Kami menunggu, tapi tidak ada yang datang.
"Kayaknya dia nggak di rumah deh?" kataku.
"Dia di rumah," katanya, kesal. Dia menggedor kayu dengan sisi tinjunya dan kemudian pintu terbuka. "SELAMAT ULANG TAHUN!" kerumunan di dalam berteriak.
Langit-langitnya dipenuhi balon berwarna merah muda dan hitam, setiap inci ditutupi oleh balon helium. Kerumunan terbelah, dan Ray berjalan mendekatiku dengan senyum lebar, menyentuh setiap sisi wajahku dan mencium keningku.
"Selamat ulang tahun, Bella."
"Ulang tahunku masih besok," kataku. Masih shock, aku mencoba tersenyum pada semua orang di sekitar kami.
Ray mengangkat bahu. "Yah, karena kamu diberi tahu, kami harus membuat beberapa perubahan di menit terakhir untuk mengejutkanmu. Terkejut?"
"Sangat!" kataku saat Feli memelukku.
"Selamat ulang tahun sayang!" kata Feli mencium pipiku.
Monicmenyenggolku dengan sikunya. "Untung gue bawa lo ke salon hari ini, kalau nggak nanti lo datang kayak gembel lagi!"
"You look beautifull," kata Ray, mengamati gaunku.
Brazil memelukku, menempelkan pipinya ke pipiku. "Dan gue harap, lo nggak percaya soal Monic bilang kalau gue menggodanya."
Aku melirik Monic dan dia tertawa. "Berhasil, kan?"
Begitu semua orang bergiliran memelukku dan mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, aku bersandar ke telinga Monic. "Di mana Joshua?"
"Dia akan berada di sini nanti," bisiknya. "Justin tidak bisa menghubunginya untuk memberi tahu dia sampai sore ini."
Brazil menaikkan volume stereo, dan semua orang berteriak. "Kemarilah, Bella!" katanya sambil berjalan ke dapur. Dia meletakkan gelas-gelas di sepanjang konter dan menarik sebotol tequila dari bar. "Selamat ulang tahun dari tim sepak bola, sayang," dia tersenyum, menuangkan setiap gelas penuh Petron.
"Beginilah cara kami merayakan ulang tahun, karena lo berusia dua puluh tahun, lo memiliki dua puluh gelas. Lo bisa meminumnya atau memberikannya, tetapi semakin banyak lo minum, semakin banyak uang yang lo dapatkan," katanya, mengipasi dua puluhan.
"Really!" Aku memekik.
"Minumlah, Bell!" kata Ray.
Aku melirik Brazil, curiga. "Gue beneran cuma minum dua puluh sloki aja kan? Nggak lebih?"
"Iya Bella, ini minumanya ringan kok. Di lihat dari kemampuan lo, gue nggak yakin lo bisa membawa uang lebih dari satu juta."
"Think again Brazil," kataku, meraih gelas pertama, menggulungnya di bibirku, memiringkan kepalaku ke belakang untuk mengosongkan gelas dan kemudian menggulungnya sepanjang jalan, menjatuhkannya ke tanganku yang lain.
"Sialan!" seru Ray.
"Lo bohong, kan?" Kataku, menyeka sudut mulutku. "Lo nuang Cuervo, bukan Petron."
Senyum puas di wajah Brazil memudar, dan dia menggelengkan kepalanya dan mengangkat bahu. "Catch it then, Gue punya dompet dua belas pemain sepak bola yang bilang kalau lo bisa menyelesaikan sepuluh sloki. "
Aku menyipitkan mataku. "Make it double then, atau gue nggak akan meminumnya sama sekali. Gue bisa menghabiskan sampai lima belas sloki."
"Wah!" Seru Justin.
"Lo nggak boleh masuk rumah sakit di hari ulang tahun lo Bell."
"She can do it," jawab Monic, sambil melirik Brazil. "Empat ratus ribu untuk satu gelas?" kata Brazil nggak yakin.
"Are you scared?" tanyaku pada Brazil.
"Nope! Gue kasih lo empat ratus ribus untuk satu gelas, dan angkanya akan gue gandakan kalau memang berhasil di gelas ke lima belas."
"Yang lo nggak tahu Brazil, begini cara orang Ibu Kota merayakan ulang tahun," kataku sambil menenggak satu gelas lagi.
Setelah satu jam dan tiga tenggakan kemudian, aku sudah berada di ruang tamu dan berdansa dengan Ray.
Dengan diiringi lagu balada rock, dan Ray menyanyikan lagu itu sambil berbisik ke telingaku sepanjang kami menari. Dia memelukku erat sepanjang lagu, dan aku membiarkan kedua tangaku mengerat di pinggangnya. Dia mengangkatku dan berputar satu kali, membuatkuku menghela napas.
"Kamu nggak boleh mengangkat tubuhku dan berputar kayak tadi, aku masih punya beberapa gelas yang harus ditenggak," kataku sambil terkekeh.
"Did I tell you how incredible you look tonight?"
Aku menggelengkan kepalaku dan memeluknya, meletakkan kepalaku di bahunya. Dia mengencangkan cengkeramannya, dan membenamkan wajahnya di leherku, membuatku melupakan keputusan menerima gelang yang kukenakan tadi pagi. Aku berada di dalam pelukan yang aku inginkan.
Ketika musik berubah menjadi ketukan yang lebih cepat, pintu terbuka.
"Joshua!" Kataku sambil berlari untuk memeluknya. "You made it!"
"Maaf aku terlambat, Bell," katanya, menempelkan bibirnya ke bibirku. "Selamat ulang tahun."
"Terima kasih," kataku, melirik Ray dari sudut mataku.
Joshua mengangkat pergelangan tanganku. "Kamu memakainya."
"Aku udah bilang kalau akau akan memakainya. You wanna dance?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Uh… aku nggak bisa."
"Oh. Kalau gitu kamu mau melihatku menenggak gelas keenamku?" Aku tersenyum, mengacungkan lembaran uang kertas. "Aku mendapat dua kali lipat jika aku dapat menghabiskan lima belas gelas."
"Itu agak berbahaya, bukan?"
Aku bersandar di telinganya. "Aku telah mengelabui mereka. Aku sudah memainkan permainan ini dengan ayahku sejak aku berusia enam belas tahun."
"Oh," katanya, mengerutkan kening tidak setuju. "Kamu minum Tequila dengan ayahmu?"
Aku mengangkat bahu. "Itu suatu kebiasaan di keluargaku."
Joshua tampak tidak terkesan saat matanya meninggalkan mataku, mengamati kerumunan. "Aku tidak bisa lama-lama. Aku harus pergi lebih awal untuk pergi berburu dengan ayahku. "
"Untung pestaku malam ini, atau kau tidak akan datang besok," kataku, terkejut mendengar rencananya.
Dia tersenyum dan meraih tanganku. "Aku akan berhasil kembali tepat waktu."
Aku menariknya ke meja pantry, mengambil gelas lagi dan menenggaknya, membantingnya ke atas meja terbalik seperti yang aku lakukan pada kelima gelas sebelumnya. Brazil memberiku empat lembar lagi, dan aku menari ke ruang tamu. Ray menarikku, dan kami berdansa dengan Monic dan Justin.
Justin menampar pantatku. "Satu!"
Monic menambahkan pukulan kedua di bokongku, dan kemudian seluruh undangan pesta bergabung, tanpa Joshua.
Di nomor sembilan belas, Ray menggosokkan kedua tangannya. "Giliran gue!"
Aku menggosok bagian belakangku yang sakit. "Pelan-pelan! pantatku sakit!"
Dengan seringai jahat, dia mengangkat tangannya jauh di atas bahunya. Aku menutup mataku rapat-rapat. Setelah beberapa saat, aku mengintip ke belakang. Tepat sebelum tangannya melakukan pukulan, dia berhenti dan memberiku tepukan lembut.
"Dua puluh!" serunya.
Para tamu bersorak, dan Monic mulai membawakan lagu Selamat Ulang Tahun dalam keadaan mabuk. Aku tertawa ketika dia menyebut namaku, dan seisi ruangan ikut mengulangnya.
Lagu lambat lainnya terdengar di stereo, dan Joshua menarikku ke lantai dansa. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mencari tahu mengapa dia tidak menari.
"Maaf," katanya setelah menginjak kakiku untuk ketiga kalinya.
Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. "Aku baik-baik saja," aku berbohong.
Dia menempelkan bibirnya ke pelipisku. "Apa yang kamu lakukan Senin malam?"
"Mau makan malam denganmu?"
"Ya. Di apartemen baruku."
"Kamu udah pindah!"
Dia tertawa dan mengangguk. "Tapi makanannya harus kita pesan. Masakanku tidak bisa dimakan."
"Meski nggak enak aku akan tetap memakannya." aku tersenyum padanya.
Joshua melihat sekeliling ruangan dan kemudian membawaku ke sebuah lorong. Dia dengan lembut menekanku ke dinding, menciumku dengan bibirnya yang lembut. Tangannya ada di mana-mana. Pada awalnya aku bermain bersama, tetapi setelah lidahnya menyusup ke bibirku, aku merasa kalau apa yang sedang aku lakukan salah.
"Oke, Jo," kataku, mendorongnya dan berbalik pergi.
"Apa yang salah Bell?"
"Aku hanya berpikir tidak sopan bagiku untuk bermesraan denganmu di sudut ruang yang gelap ketika aku memiliki tamu di luar sana."
Dia tersenyum dan menciumku lagi. "Kau benar, aku minta maaf. Aku hanya ingin memberimu ciuman ulang tahun yang tak terlupakan sebelum aku pergi."
"Kau akan pergi?"
Dia menyentuh pipiku. "Aku harus terbang empat jam lagi Bell."
Aku merapatkan bibirku. "Oke. Sampai jumpa hari Senin?"
"Aku akan menemuimu besok. Aku akan mampir saat aku kembali. " Dia membawaku ke pintu dan kemudian mencium pipiku sebelum dia pergi. Saat aku berbalik aku mendapati kalau Justin, Monic, Ray, dan semua tengah menatapku.
"Daddy's was gone!" Ray berteriak saat pintu tertutup. "Waktunya untuk memulai pesta!"
Semua orang bersorak, dan Ray menarikku ke tengah lantai.
"Tunggu... ada yang harus aku kerjakan," kataku, menuntunnya ke pantry. Aku memukul mundur satu tembakan lagi, dan tertawa ketika Ray mengambil satu tetes dari ujung bibirku, dan menghisapnya. Aku meraih gelas yang lain, dan menelannya, dan dia melakukan hal yang sama.
"Tujuh gelas lagi Bella," kata Brazil, menyodorkan delapan lembar uang kepadaku.
Aku menyeka mulutku saat Ray menarikku ke ruang tamu lagi. Aku berdansa dengan Monic, dan kemudian Justin, tetapi ketika Kris dari tim sepak bola mencoba berdansa denganku, Ray menarik kemejanya dan menggelengkan kepalanya. Kris mengangkat bahu dan berbalik, menari dengan gadis pertama yang dilihatnya.
Saat gelas kesepuluh ku tenggak, pengar langsung menyengatku, dan aku merasa sedikit pusing berdiri di sofa Brazil bersama Monic, menari seperti anak sekolah dasar yang canggung. Kami tertawa terbahak-bahak, melambaikan tangan mengikuti irama.
Aku tersandung, hampir jatuh dari sofa ke belakang, tapi tangan Ray langsung berada di pinggulku untuk menopangku.
"You got your point Bell," katanya. "Kamu sudah minum lebih banyak daripada gadis mana pun yang pernah kami lihat. I'll cut you."
"Kamu ini," umpatku. "Aku punya delapan juta yang menungguku di bagian bawah gelas sloki itu, dan jangan ragukan kemampuanku Ray."
"Kalau hanya soal uang Bell…."
"Aku nggak mau uang dari kamu," cibirku.
"Nggak, aku mau menyarankanmu untuk menggadaikan gelang itu," dia tersenyum.
Aku memukul lengannya tepat saat Monic mulai menghitung mundur hingga tengah malam. Ketika jarum jam bergerak ke angka dua belas, kami semua merayakannya.
Aku berumur dua puluh tahun.
Monic dan Justin mencium kedua sisi pipiku, dan Ray mengangkatku tubuhku lagi, memutar-mutarku. "Selamat ulang tahun, Bella," katanya dengan ekspresi lembut.
Aku menatap mata cokelatnya yang hangat sejenak, merasa tersesat di dalamnya. Ruangan itu membeku dan waktu seolah berhenti saat kami saling menatap, begitu dekat sehingga aku bisa merasakan napasnya di kulitku.
"Shot!" Kataku, tersandung ke meja pantry.
"Lo terlihat kacau Bella. It's time to call nite,"kata Brazil.
"Gue bukan orang yang mudah menyerah," kataku. "Gue mau melihat uangku." Brazil menempatkan lembaran uang di bwah gelas, dan kemudian dia berteriak pada rekan satu timnya, "Dia akan meminumnya!"
Mereka semua mengerang dan memutar mata mereka, mengeluarkan dompet mereka untuk membentuk setumpuk uang di belakang gelas terakhir. Ray telah mengosongkan empat gelas lainnya di sisi lain dari lima belas gelasku.
"Gue nggak percaya kalau gue baru aja kalah taruhan dari seorang perempuan," keluh Kris.
"Nah sekarang lo bisa liat sendiri," kataku sambil mengambil gelas di masing-masing tangan.
Aku mengambil kembali masing-masing gelas dan menunggu rasa mual yang naik di tenggorokanku mereda.
"Bella?" Tanya Ray, mengambil langkah ke arahku.
Aku mengangkat satu jari dan Brazil tersenyum. "She lose it," katanya.
"Nggak, dia nggak akan kalah," jawab Monic menggelengkan kepalanya. "Tarik napas dalam-dalam, Bella."
Aku memejamkan mata dan menarik napas, mengambil gelas terakhir. "Ya ampun Bella! Lo akan mati karena keracunan alkohol!" jerit Justin.
"She's got this," kata Monic meyakinkannya.
Aku memiringkan kepalaku dan membiarkan tequila mengalir ke tenggorokanku. Gigi dan bibirku mati rasa sejak gelas ke delapan, dan aku membanting gelas sloki ku ke atas meja pantry. Seluruh pesta meledak suara siulan dan teriakan saat Brazil memberi saya setumpuk uang.
"Terima kasih," kataku dengan bangga, menyelipkan uang itu ke dalam braku.
"Kamu sangat seksi sekarang," kata Ray di telingaku saat kami berjalan ke ruang tamu.
Kami berdansa sampai pagi, dan tequila yang mengalir di nadiku membuatku lupa. []