"Tadi itu soal apa Bell?" tanya Joshua.
"Akhir-akhir ini kami tidak akur. Pelukan itu sebagai permintaan maafku pada Ray."
"Boleh nggak sih aku khawatir? Kalau kamu akan kembali berpaling dariku" dia bertanya, membuka pintu mobilnya untukku.
"Tidak," aku tersenyum, mencium pipinya.
Saat makan malam, Joshua berbicara tentang MIT, dan House, dan rencananya untuk mencari apartemen. Alisnya terangkat. "Apakah Ray akan mengantarmu ke pesta ulang tahunmu?"
"Aku belum tahu. Dia belum mengatakan apa-apa tentang itu."
"Kalau dia nggak keberatan, aku mau menjemputmu." Dia meraih tanganku dan mencium jari-jariku.
"Aku akan bertanya padanya. Pesta itu adalah idenya, jadi…."
"Aku mengerti kok. Kalau dia nggak memberi ijin. Aku akan menemui di sana. "dia tersenyum.
Joshua kembali mengantarku ke rumah setelah makan malam kami selesai, mobilnya melambat hingga berhenti di tempat parkir. Ketika dia memberiku ciuman selamat tinggal, bibirnya menempel di bibirku. Dia menarik rem parkir saat bibirnya bergerak di sepanjang punggung rahangku ke telingaku, dan kemudian di tengah leherku. Itu membuatku lengah, dan aku menghela nafas pelan sebagai tanggapan.
"Kamu sangat cantik," bisiknya.
"Aku terganggu dan teralihkan sepanjang malam dengan rambutmu yang terikat dan menampilkan lehermu yang jenjang." Dia membumbui leherku dengan ciuman dan aku menghembuskan napas, dengungan keluar dengan napasku.
"What took you so long?" Aku tersenyum, mengangkat daguku untuk memberinya akses yang lebih baik.
Joshua memusatkan perhatian pada bibirku. Dia meraih setiap sisi wajahku, menciumku sedikit lebih dalam dari biasanya. Nggak ada ruang yang cukup di dalam mobil, tapi kami masih dapat memanfaatkan ruang seadanya.
Dia bersandar padaku, dan aku menekuk lututku saat aku jatuh ke jendela. Lidahnya menyelinap ke dalam mulutku, dan tangannya meraih pergelangan kakiku, lalu menyelipkan kakiku ke pahaku. Jendela-jendela berkabut dalam beberapa menit dengan napas kami yang terengah-engah, menempel pada jendela-jendela yang sejuk. Bibirnya menyerempet tulang selangkaku, lalu kepalanya tersentak ke atas saat kaca bergetar dengan beberapa ketukan yang kencang.
Joshua duduk, dan aku membenarkan diri, merapikan kembali pakaianku. Aku melompat ketika pintu terbuka. Ray dan Monic berdiri di samping mobil. Monic menatapku dengan wajah yang penuh dengan rasa bersalah. sementara Ray nampak memerah akibat kemarahan yang jelas terlihat.
"What the hell Ray?" teriak Joshua.
Situasi tiba-tiba terasa berbahaya. Aku belum pernah mendengar Joshua meninggikan suaranya, buku-buku jari Ray memutih saat dia mengepalkannya di sisi tubuhnya— dan aku menghalangi. Tangan Monic tampak kecil ketika dia meletakkannya di lengan besar Ray, menggelengkan kepalanya ke arah Joshua sebagai peringatan diam-diam.
"Ayo Bell. Aku Mau ngomong sama kamu, "katanya.
"Ngomong apa?"
"Ayo!" bentaknya.
Aku melihat ke arah Joshua, melihat kejengkelan di matanya. "Maaf Jo aku harus pergi."
"Nggak, nggak masalah, you can go."
Ray membantuku turun dari Porsche, lalu menendang pintu hingga tertutup. Aku berbalik dan berdiri di antara dia dan mobil, mendorong bahunya. "Kamu tuh kenapa sih? Kenapa harus gedor-gedor jendela kayak gitu!"
Saat aku melir Monic yang tampak gugup. Nggak butuh waktu lama untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Ray berbau wiski , Monic bersikeras untuk menemaninya, atau Ray memintanya untuk datang. Apapun itu kehadiran Monic di sini adalah sebagai penengah atau setidaknya dapat menahan keributan yang akan Ray timbulkan.
Roda mobil Porsche Joshua yang mengkilap keluar dari tempat parkir, dan Ray menyalakan sebatang rokok. "Lo boleh masuk sekarang Mo."
Dia menarik-narik rokku. "Ayo, Bell."
"You can stay Bell," katanya dingin. Dia mendidih.
Aku mengangguk agar Monic masuk ke dalam rumah dan dia dengan enggan menurut. Aku menyilangkan tangan, siap untuk berkelahi, mempersiapkan diri untuk menyerangnya untuk sebuah ceramah yang mungkin aja akan dia semburkan. Ray mengambil beberapa tarikan dari rokoknya, dan ketika jelas dia tidak akan menjelaskan, kesabaranku habis.
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanyaku.
"Kenapa? Karena dia menggerayangiku di depan rumahku!" dia berteriak. Matanya tidak fokus, dan aku bisa melihat bahwa dia tidak mampu melakukan percakapan yang rasional.
Aku berusaha untuk menjaga suaraku tetap tenang. "Aku mungkin tinggal di rumahmu Ray. Tapi apapun yang aku lakukan, dan dengan siapa aku akan melakukannya itu bukan urusanmu."
Dia menjentikkan rokoknya ke tanah. "Kamu jauh lebih baik dari itu, Bell. Jangan biarkan dia menidurimu di dalam mobil seperti perempuan murahan."
"Aku tidak akan berhubungan seks dengannya!"
Dia menunjuk ke ruang kosong tempat mobil Joshua tadi tinggal. "Lalu apa yang kamu lakukan?"
"Haven't you made out with someone, Ray? Haven't you messed around without letting it get that far? "
Dia mengerutkan kening dan menggelengkan kepalanya seolah-olah saya berbicara omong kosong. "Apa gunanya itu?"
"Konsepnya ada untuk banyak orang…terutama mereka yang berkencan."
"Jendelanya semua berkabut, mobilnya bergoyang… memangnya apalagi yang harus aku pikirkan?" katanya, melambaikan tangannya ke arah tempat parkir yang kosong.
"Mungkin kamu seharusnya nggak memata-mataiku!"
Dia mengusap wajahnya dan menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahan lagi dengan ini Bell. lama-lama aku bisa jadi gila."
Aku menghentakan tanganku dan memukul pahaku dengan gemas. "Kamu tidak tahan apa?"
"Kalau kamu tidur dengannya nanti, aku nggak mau tahu tentang itu. Aku bisa jadi masuk penjara untuk waktu yang lama karena hal itu. Jangan beritahu aku. Dan jangan bermain di depanku, hanya…. Don't let me know."
"Ray." kini aku mendidih. "Aku tidak percaya kamu baru saja mengatakan itu! Aku nggak percaya kalau kamu berpikir sampai kesana soal aku. It's a big step for me!"
"That's what all girls say!"
"Maksudku bukan perempuan yang biasa kamu hadapi! maksudku aku!" Kataku sambil memegang tanganku di dada. "Aku belum pernah … ugh! Sudahlah." Aku berjalan menjauh darinya, tapi dia meraih lenganku, memutar tubuhku untuk menghadapnya.
"Kamu belum pernah apa?" dia bertanya, dahinya sedikit berkerut. Aku tidak menjawab—aku tidak harus menjawabnya. Aku bisa melihat kalau dia telah mendapatkan jawaban dari wajahnya dan dia tertawa sekali. "you're a virgin?"
"Terus?" Kataku, aku yakin kedua pipiku kini merona karena panas telah menjalar hingga ke wajahku.
Matanya beralih dari mataku, pandangannya nggak fokus terlihat sedang melawan alkohol. "Jadi itu kenapa tadi Monic bilang, kalau hal itu nggak akan pernah terjadi sama kamu."
"Aku punya mantan pacar waktu di sekolah dulu. dia super alim. Jadi aku nggak pernah kenal dengan hal-hal yang biasa kamu lakukan!"
Kemarahan Ray menghilang, dan kelegaan terlihat di matanya. "Anak alim? Kalau dia anak alim kenapa kalian bisa putus, dan kamu berada di Kota ini sekarang?"
"Dia ingin menikah dan tinggal di… kampungnya. Aku nggak mau." Aku menyerah berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Rasa senang di mata Ray cukup memalukan. Aku tidak ingin dia menggali lebih jauh ke masa laluku.
Dia mengambil langkah ke arahku dan memegang setiap sisi wajahku. "A virgin," katanya sambil menggelengkan kepalanya. "Benar-benar di luar dugaan. Dilihat dari bagaimana cara kamu menari terakhir kali"
"Funny," kataku sambil berjalan menyebrangi halaman parkir.
Ray berusaha mengikutiku, tapi tersandung dan jatuh, berguling telentang dan tertawa histeris.
"Kamu ngapain sih Ray? Bangun!" kataku, membantunya berdiri.
Dia mengaitkan lengannya di leherku, dan aku membantunya berjalan menuju ke pintu rumah Justin dan Monic sudah di tempat tidur, jadi tanpa bantuan, aku lebih dulu membuka sepatu heelsku, untuk menghindari cedera pada pergelangan kakiku saat berusaha membawa Ray masuk ke dalam kamar tidurnya. Dia jatuh terlentang ke tempat tidur, menarikku bersamanya.
Ketika kami mendarat, wajahku hanya beberapa inci darinya. Ekspresinya tiba-tiba menjadi serius. Dia mencondongkan tubuh, hampir menciumku, tapi aku mendorongnya menjauh. Alis Ray tertarik.
"Stop, Ray," kataku.
Dia memelukku erat-erat sampai aku berhenti berjuang, dan kemudian dia menjentikkan tali gaunku, menyebabkannya menggantung di bahuku. "Sejak kata perawan keluar dari bibir indahmu itu… tiba-tiba aku memiliki keinginan untuk membantumu keluar dari gaun ini."
"Yah itu ide yang buruk, kamu hampir melayangkan pukulan dan hampir menghancurkan mobil Joshua saat kamu berpikir hal yang sama tentang apa yang sedang dia lakukan."
"Persetan dengannya. Dia tidak mengenalmu seperti aku."
"Ray, ayo. Ayo buka pakaianmu dan tidur."
"Itu yang lagi aku bahas Bell," dia terkekeh.
"Berapa banyak yang kamu minum?" tanyaku, akhirnya mendapatkan pijakanku di antara kedua kakinya.
"Sedikit," dia tersenyum, menarik ujung gaunku. "Kamu kayaknya habisin lebih dari satu botol," kataku, menampar tangannya menjauh dari gaunku. Aku meletakkan lututku di kasur di sampingnya, dan menarik kemejanya ke atas kepalanya. Dia meraihku lagi dan aku meraih pergelangan tangannya, mengendus bau menyengat di udara. "Ya ampun Ray, kamu bau Jack Daniels."
"Jim Beam," koreksinya dengan anggukan mabuk.
"Baunya seperti kayu bakar dan bahan kimia."
"Rasanya juga seperti itu," dia tertawa.
Aku membuka gesper ikat pinggangnya dan menariknya hingga terlepas dari celana. Dia tertawa dengan gerakan menyentak, dan kemudian mengangkat kepalanya untuk menatapku. "Lebih baik jaga keperawananmu, Bell. Kau tahu aku suka yang kasar."
"Diam," kataku, membuka kancing celana jeansnya, menariknya dari atas pinggulnya, dan kemudian dari kakinya. Aku melemparkan denim ke lantai dan berdiri dengan tangan di pinggul, terengah-engah. Kakinya tergantung di ujung tempat tidur, matanya terpejam, dan napasnya dalam dan berat.
Dia pingsan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan menuju lemari, menggelengkan kepalaku saat aku mengobrak-abrik pakaian kami. Aku membuka resleting gaunku dan menariknya di atas pinggulku, membiarkannya jatuh ke pergelangan kakiku. Menendangnya ke sudut, aku menarik ponytail holder dari rambutku, mengibaskan rambutku.
Lemari penuh dengan pakaiannya dan milikku, dan aku terengah-engah, meniup rambutku dari wajahku saat aku mencari-cari t-shirt yang berantakan. Saat aku menarik satu dari gantungan, Ray menabrak punggungku, melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Ngagetin aja sih!" kataku mengeluh.
Dia mengusap kulitku dengan tangannya. Entah apa yang membuatku ikut mabuk dan kehilangan akal sehat saat merasakan kedua tangannya yang terasa berbeda di kulitku. Tangannya bergerak lamba. Aku memejamkan mata ketika dia menarikku ke arahnya dan mengubur wajahnya di rambutku, menyembunyikannya di leherku. Merasakan kulit telanjangnya di kulitku. Butuh waktu untukku tersadar dan melayangkan protes.
"Ray…,"
Dia menarik rambutku ke satu sisi dan membawa bibirnya di sepanjang punggungku dari satu bahu ke bahu lainnya, melepaskan jepitan braku. Dia mencium kulit telanjang di pangkal leherku dan aku memejamkan mata, kelembutan hangat bibir terasa terlalu nikmat untuk membuatnya berhenti.
Erangan pelan keluar dari tenggorokannya ketika dia menekan pinggulnya ke pinggulku, dan aku bisa merasakan betapa dia menginginkanku melalui celana boxernya. Aku menahan napas, mengetahui satu-satunya hal yang menjauhkan kami dari langkah besar yang sangat aku lawan beberapa saat sebelumnya adalah dua potong kain tipis.
Ray membalikkan tubuhku untuk menghadapnya, lalu menekanku, menyandarkan punggungku ke dinding. Mata kami bertemu, dan aku bisa melihat rasa sakit pada raut wajahnya saat dia mengamati bagian kulitku yang telanjang. Aku pernah melihatnya menyentuh wanita lain sebelumnya, tapi ini berbeda. Dia tidak ingin menaklukkanku dia ingin aku mengatakan ya.
Dia membungkuk untuk menciumku, berhenti hanya satu inci jauhnya. Aku bisa merasakan panas dari kulitnya memancar di bibirku, dan aku harus menahan diri untuk tidak menariknya lagi. Jari-jarinya membelai ke dalam kulitku, dan kemudian tangannya meluncur dari punggungku ke ujung celana dalamku.
Jari telunjuknya meluncur ke bawah pinggulku, di antara kulitku dan kain yang berenda, dan pada saat yang sama ketika dia hendak membuka celana dalamku, dia terlihat ragu-ragu. Tepat ketika aku membuka mulut untuk mengatakan ya, dia menutup matanya.
"Tidak seperti ini," bisiknya, menyapu bibirnya di bibirku. "Aku menginginkanmu, tapi tidak seperti ini."
Dia tersandung ke belakang, jatuh ke tempat tidur ke punggungnya, dan aku berdiri sejenak dengan tangan disilangkan di perutku. Ketika napasnya sudah tenang, aku memasukkan lenganku ke dalam baju yang masih ada ditanganku, dan kembali memakainya.
Ray tidak bergerak, dan aku menghembuskan napas pelan, tahu aku tidak bisa menahan salah satu dari kami jika aku naik ke tempat tidur dan terbangun tatapan matanya yang mungkin tak sanggup aku lihat.
Aku bergegas ke sofa single favoritku dan jatuh ke dalamnya, menutupi wajahku dengan tangan.
Memikirkan betapa kacaunya diriku saat ini. []