"Mobilku yang silver." Lampu depan mobilnya berkedip dua kali saat dia menekan keyless entry.
Dia membuka pintu samping penumpang, dan aku tertawa. "You drive a Porsche?"
"She's not just a Porsche. She's A Porsche 911-Gt-3. There's a difference."
"Let me guess,it's the love of your life?" Kataku mengutip pernyataan Ray tentang sepeda motornya.
"Nggak juga, ini hanya mobil. Cinta dalam hidupku adalah seorang wanita dengan nama belakangku."
Aku membiarkan senyum kecil, berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh oleh apa yang baru saja dia katakana. Dia memegang tanganku untuk membantuku masuk ke mobil, dan ketika dia duduk di belakang kemudi, dia menyandarkan kepalanya ke kursinya dan tersenyum ke arahku.
"Kamu punya rencana nggak nanti malam?"
"Malam ini?" Tanyaku dungu.
"Nggak pagi ini. ya mala mini dong, niatnya sih aku nau ngajak kamu makan malam, sebelum seseroang mungkin akan menghajarku nanti."
Seringai melebar di wajahku. "Aku nggak punya rencana apa-apa malam ini."
"Kalau gitu boleh aku jemput jam tujuh malam?"
"Oke," kataku, melihatnya menyelipkan jarinya di antara jariku.
Joshua mengantarku langsung ke rumah Ray, dia menjaga laju mobilnya agar tak melaju kencang. Tanpa melepaskan tanganku. Dua puluh menit kemudian, dia berhenti tepat di belakang motor Harley milik Ray. Dia mengulang hal yang sama dengan sebelumnya. Membuka pintu untukku, dan membantuku keluar dari mobil.
Begitu aku berhasil keluar dan berdiri di hadapannya, dia membungkuk dan mendaratkan kecupan di pipiiku. Dia bahkan iku menyebrangi halaman parkir dan mengantarku sampai de depan pintu rumah.
"Istirahat gih. Sampai ketemu nanti malam," bisiknya di telingaku.
"Bye," aku tersenyum sambil melambaikan tangan padanya.
Saat aku hendak memutar kenop pintu. Tapi elum sempat kudorong, pintnya sudah terbuka. Membuatku yang tak siap menjadi sedikit oleng.
Ray meraih lenganku, sebelum aku terjatuh. "Easy there."
Aku menoleh untuk melihat Joshua yang sedang menatap kami dengan ekspresi tidak nyaman. Dia membungkuk untuk mengintip ke dalam rumah. "Apakah ada perempuan murahan dan lo campakan di sana yang perlu tumpanga gue?"
Ray melirik Joshua dengan tatapan sengit. "Don't start with me."
Joshua tersenyum dan mengedipkan mata. "I'm always giving him a hard time. Secara dia selalu sadar diri dengan membiarkan mereka pulang dengan kendaraan mereka sendiri."
"Wah, kepekaanya sangat membantu sekali," kataku, menggoda Ray.
"Kamu nggak lucu Bell."
"Kamu?" tanya Joshua.
"Ini… uh. Sudah jadi kebiasaan kami sejak awal, aku lebih senang dia memanggilku begitu. Untuk memberi perbedaan. You know?" kataku.
Ini adalah kali pertama, panggilan aku-kamu bersama Ray membuat canggung. "Kalau gitu apa aku juga harus merubah panggilan buatmu Bell. Misalnya Babe, atau sayang. Untuk membuat perbedaan." Dia kembali mengedipkan matanya lagi padaku sambil tersenyum. "Nite Bell."
"Ini udah pagi Jo," kataku sambil memperhatikannya berbalik meninggalkan kami.
"Pagi," katanya mengoreksi sambil melambaikan tangan pada kami.
Ray membanting pintu, dan aku harus menyentakkan kepalaku ke belakang untuk menghindari pintu agar tak mengenai wajahku. "Kenapa sih?" aku membentak.
Ray menggelengkan kepalanya, dan berjalan ke kamar tidurnya. Aku mengikutinya, dan mendahuluinya yang sedang berdiri di tengah kamar, kemudian aku sedikit menunduk untuk melepaskan sepatu yang kukenakan. "Dia baik, Ray."
Dia menghela nafas dan berjalan ke arahku. "Kamu akan melukai dirimu sendiri," katanya, melingkarkan lengannya di pinggangku dengan satu tangan, dan menarik tumitku dengan tangan lainnya sampai sepatuku terlepas. Dia melemparkan sepatuku ke dalam lemari, dan kemudian melepas kemejanya, berjalan ke tempat tidur.
Aku membuka ritsleting gaunku dan membukanya sampai ke pinggulku. Aku menarik t-shirt Ray dari dalam lemari sebelum mengenakannya, lalu membuka bra, menariknya melalui lengan bajuku. Ketika aku sedang menggulung rambutku menjadi sanggul, aku mendapati Ray sedang menatapku.
"Aku yakin nggak ada yang kumiliki yang belum pernah kamu lihat sebelumnya," kataku, memutar mataku.
Aku menyelinap di bawah selimut dan bersandar di bantalku, meringkuk menarik salah satu bantal panjang dan memeluknya. Dia membuka ikat pinggangnya dan menarik celana jinsnya ke bawah, dan melangkah keluar darinya.
Aku menunggu sementara dia berdiri dan diam sejenak. Lalu aku memutuskan untuk berbalik dan memunggunginya untuk menghidari kecanggungan, jadi aku menebak-nebak apa yang sedang dia lakukan, berdiri di samping tempat tidur dalam diam.
Satu menit kemudian aku merasakan tempat tidur bergoyang, saat dia akhirnya merangkak menaiki ranjang dan tergeletak di sampingku. Aku sedikit menengang saat tangannya tersampir di pinggangku.
"Aku melewatkan pertarungan malam ini," katanya. "Adam menelepon. Aku nggak akan pergi."
"Kenapa?" kataku sambil berbalik menghadapnya.
"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu akan pulang ke rumah dengan selamat."
Aku mengerutkan hidungku. "Kamu nggak perlu mengasuhku."
Dia menelusuri panjang lenganku dengan jarinya, mengirimkan getaran ke tulang punggungku. "Iya aku tahu. Aku Cuma masih merasa nggak enak soal kejadian malam kemarin."
"Sudah kubilang aku nggak peduli."
Dia mengangkat sedikit tubuhnya dan menahannya di sikunya, ada keraguan yang jelas terlihat di wajahnya. "Apa itu alasan kenapa kamu tidur di sofa kecil, karena kamu nggak peduli?"
"Aku nggak bisa tidur setelah… temanmu pergi."
"Kamu tidur nyenyak di sofa. Kenapa kamu nggak bisa tidur sama aku?"
"Maksudmu tidur bersama laki-laki yang masih berbau alkohol yang baru aja mengirim pulang dua perempuan murahan yang habis kamu pakai? I don't know, how selfish I am!"
Ray meringis. "Aku udah minta maaf kemarin."
"Dan aku bilang aku nggak peduli. Aku mau tidur," kataku, berbalik.
Setelah keheningan yang panjang. Dia menyelipkan tangannya di atas bantalku, meletakkan tangannya di atas tanganku. Dia membelai kulit halus di antara jari-jariku, dan kemudian dia menempelkan bibirnya ke rambutku. "Aku masih khawatir alau kamu nggak mau lagi bicara sama aku, menolak bertemu denganku. Atau yang lebih buruk…. Nggak menganggap keberadaanku."
Mataku tertutup rapat menahan nyeri. "What do you want from me Ray? Kamu nggak mau aku marah soal perilakumu yang serampangan kemarin. Tapi sekarang kamu mau aku peduli. Kamu bilang sama Monic soal kamu nggak bisa menjalin hubungan denganku. Tapi kamu marah waktu dengar aku mengatakan hal yang sama. Sampai kamu memilih untuk keluar rumah dan pulang dalam keadaan mabuk, Aku nggak ngerti."
"Apa itu alasan kamu bilang ke Monic kalau kamu nggak bisa menjalin hubungan denganku karena gaya hidupku? Karena kamu dengar aku biilang nggak bisa menjalin hubungan denganmu?"
Gigiku terkatup. Dia baru saja menyindir bahwa aku sedang bermain-main dengannya. Aku nggak menemukan jawaban lain selain yang ada di dalam epalaku sekarang. "Kenapa sekarang kita masih bahas masalah ini? aku kira semuanya udah baik-baik aja."
Ray menghela nafas. "Aku hanya…." dia menggaruk rambut pendeknya terlihat gugup, "Dengar Bell, apa yang aku katakana pada Monic soal nggak bisa menjalin hubungan denganmu karena, aku nggak mau merusak apapun yang sedang terjadi di antara kita sekarang. Aku masih nggak tahu bagaimana caranya supaya aku bisa menjadi laki-laki yang pantas buatmu.
"Apapun maksudnya. Aku harus tidur sekarang. Aku ada kencan malam ini," kataku berusaha menutup percakapan ini.
"Dengan Joshua?" dia bertanya, aku bisa merasakan kemarahan melalui nada suaranya.
"Ya. Jadi sekarang tolong biaran aku tidur."
"Tentu," katanya, mendorong dirinya dan keluar dari tempat tidur kemudian membanting pintu setelah keluar dari kamarnya. Aku mendengar suara kaki sofa yang berderit karena berat badannya dan kemudian suara-suara teredam dari televisi terdengar di lorong. Aku memaksa mataku untuk tertutup, mencoba tenang agar dapat tertidur.
Jam menunjukkan pukul tiga sore ketika aku membuka mata. Aku mengambil handuk dan perlengkapan mandiku, lalu berjalan dengan susah payah ke kamar mandi. Sesaat setelah aku menutup tirai yang membatasi pancuran dan wastafel, pintu terbuka dan kembali tertutup. Aku menunggunya untuk berbicara, tetapi satu-satunya suara yang terdengar adalah tutup toilet yang dibuka.
"Ray?"
"Bukan, ini gue," kata Monic.
"Lo ngapain pipis di sini? kan di kamar Justin ada kamar mandinya sendiri."
"Justin udah nongkrong di toilet lebih dari setengah jam sambil main game. Gue nggak mausk kesana."
"Dasar."
"GUe dengar lo ada kencan nanti malam. Ray kelihatan marah!"
"Jam tujuh! Dia manis banget, Mo. Dia hanya…" Aku terdiam, mendesah. Aku terus memikirkan betapa sempurnanya dia sejak saat kami bertemu. Dia adalah laki-laki yang aku butuhkan sekarang, Segala sesauatu tentang dirinya adlaha kebalikan dari Ray.
"Membuat lo terdiam?" dia terkikik.
Aku menjulurkan kepalaku dari tirai. "Gue bisa sampai lupa waktu kalau sama dia! Dia bisa di ajak ngobrol, semalam kami membicarakan banyak hal."
"Look so fun. Meski agak aneh melihat lo ada di sini sekarang. Bukannya harusnya lo nggak pulang?"
Aku merunduk di bawah air, membilas busa. "Aku menjelaskannya padanya."
Suara flash dari toilet terdengar, dan keran dihidupkan, membuat air hangat menjadi dingin sejenak. Aku berteriak dan pintu terbuka seketika.
"Bell?" kata Rays.
Monic tertawa. "gue habis nyiram Bella pakai air dingin Ray. Gue Cuma menggodanya, calm down"
"Oh. You okay Bell?"
"Aku baik-baik aja. Keluar." Pintu tertutup lagi dan aku menghela nafas. "Mo kalau keluar tolong kunci puntunya." Monic nggak menjawab. "Mo?"
"Gue sedikit kecewa sih ternyata lo malah jalan sama Joshua bukannya Ray. Lo satu-satunya gadis yang bisa memiliki …. " dia menghela nafas. "Sudahlah. Lupain aja."
Aku mematikan air dan membungkus diriku dengan handuk. "Lo nggak ada bedanya sama Ray. Labil. Kemarin lo marah karena gue terlalu dekat dengan dia, sekarang lo malah kecewa. Apa perlu gue ingatkan kalau sekarang juga masih perang dingin sama tuh anak?"
"Iya gue tahu," katanya sambil mengangguk lalu keluar.
Aku menyalakan pengering rambut baruku yang kemarin dibelikan oleh Ray dan mulai bersiap untuk kencan bareng Joshua. Aku mengeriting rambutku, dan mengecat kuku dan memakai lipstik dengan warna merah tua. Itu sedikit berlebihan untuk kencan pertama. Aku mengerutkan kening pada diriku di cermin. Bukan Joshua yang ingin kubuat terkesan.
Aku kembali mematut diri di cermin sekali lagi, tiba-tiba rasa bersalah merayapiku. Ray sedang berusaha menjelaskan dan meyakinkanku, aku tahu. tapi aku tetap keras kepala dengan mengabaikannya. Ini memang terdengar salah. Tapi aku sudah terlanjur basah.
Aku kemnarik napas demi memantapkan hati sebelum keluar dan berjalan ke ruang tivi. Ray tersenyum padaku, bukan reaksi yang kuharapkan sama sekali.
"Kamu cantik."
"Terima kasih," kataku, bingung dengan tidak adanya frustasi atau kecemburuan dalam suaranya.
Justin bersiul. "Good choice Bell. All Red. You look hot"
"Gue suka sama rambutnya," tambah Monic.
Bel pintu berdenting dan Monic tersenyum, dia terlihat excited "Have fun!"
Aku membuka pintu. Joshua memegang buket bunga kecil, mengenakan setelan jas dan dasi. Matanya bergerak cepat, dari gaunku ke sepatuku dan kemudian kembali ke atas.
"Kamu adalah makhluk paling indah yang pernah saya lihat," katanya, terpikat.
Aku melihat ke belakang untuk melambai ke Monic, yang senyumnya begitu lebar hingga aku bisa melihat setiap giginya. Aku melirik Justin yang terlihat seperti seorang ayah yang bangga, sementara Ray terus menatap televisi.
Joshua mengulurkan tangannya, menuntunku ke Porsche-nya yang mengilap. Begitu kami berada di dalam, dia mengeluarkan menghela napasnya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Harus kukatakan, aku agak gugup menjemput wanita yang Ray cintai…dari rumahnya. Kamu nggak tahu, kan, berapa banyak orang yang mengatakan kalau aku gila."
"Ray tidak jatuh cinta padaku. Dia hampir tidak tahan berada di dekatku kadang-kadang."
"So it's hate/love relationship between you? Karena saat aku memberitahu teman-temanku kalau aku akan mengajakmu keluar malam ini, mereka semua mengatakan hal yang sama. Kalau aku ini sudah gila karena bermain api dengan Ray"
"Mereka salah," aku bersikeras.
Atau aku yang salah. []