"Masuk," Kataku, saat mendengar suara ketukan di pintu.
Ray masuk, dan membeku di ambang pintu. "Wow."
Aku tersenyum dan melihat gaunku. Bustier yang memanjang sudah kupotong menjadi rok pendek, memang lebih berani daripada yang pernah aku pakai dulu. Bahannya tipis, hitam dan tembus pandang di atas akulitku yang telanjang. Dennis akan hadir di pesta itu, dan aku punya niat untuk mencari perhatiannya.
"You look gorgeous," katanya saat aku berdiri dan bersiap.
Aku mengangguk setuju sambil melirik kemeja putih dan jeansnya. "You look good too."
Lengan bajunya di gulung hingga ke atas sikunya, memperlihatkan tato rumit di lengan bawahnya. Aku melirik jam tangan kulit berwarna hitam favoritnya, tepat saat dia memasukan tangannya ke dalam saku.
Saat kami melangkah menuju ruang tamu, aku mendapati Monic dan Justin yang sudah menunggu dan siap pergi.
"Dennis pasti langsung mabuk kepayang melihat lo," Kata Monic sambil terkiki saat Gaffi menggiring kami jalan ke mobil.
Ray membuka pintu, dan aku duduk di kursi belakang Mobil Gaffi. Meskipun kami telah menduduki kursi itu berkali-kali sebelumnya, entah kenapa tiba-tiba aku terasa canggung untuk duduk di sebelahnya.
Mobil berbaris di jalan, beberapa bahkan diparkir di halaman depan. House nampak dipadati oleh hampir seluruh mahasiswa, ditambah orang-orang masih berjalan menyusuri jalan dari asrama menuju tempat pesta yang mungil. Gaffi menepi ke halaman rumput di belakang, dia memarkirkan mobilnya, aku dan Monic mengikuti kedua laki-laki di depan kami menyebrangi lapangan berumput menuju House.
Ray sempat menghilang lalu kembali dengan membawakanku gelas plastik merah penuh bir, lalu membungkuk untuk berbisik di telingaku. "Jangan terima minuman dari siapapun kecuali dari aku atau Gaffi. Aku nggak mau kamu meminum yang bisa jadi sudah dicampur oleh apapun itu oleh para bajingan di sini."
Aku memutar mataku. "Tidak ada yang akan memasukkan apa pun ke dalam minumanku, Ray."
"Just don't drink anything but me or Gaffi, oke? Kamu bukan sedang berada di dalam pesta sekolah lagi Bella."
"Yeah, like i never heard about that," kataku sarkastik, sambil minum.
Satu jam telah berlalu, dan Dennis masih belum muncul. Aku melirik Monic dan Gaffi sedang menari mengikuti lagu pelan di ruang dansa ketika Ray menarik-narik tanganmu. "Mau berdansa?"
"No thanks," kataku. Raut wajahnya jelas menampakan kekecawaan.
Aku menyentuh bahunya. "Aku hanya lelah, Ray."
Dia meletakkan tangannya di tanganku, dan mulai berbicara, tetapi ketika aku melihat ke belakang bahunya, aku melihat Dennis sedang berjalan ke arah kami. Ray memperhatikan ekspresiku dan berbalik.
"Hei, Bella! Lo beneran datang!" sapa Joshua sambil tersenyum.
"Ya, kita sudah berada di sini selama satu jam atau lebih," kataku, menarik tanganku dari genggaman Ray.
"You look beautifull!" dia berteriak melawan suara musik. "Terima kasih!" Aku menyeringai, melirik ke Ray. Bibirnya terkatup rapat, dan rahangnya mulai mengeras.
Dennis mengangguk dan menunduk ke ruang dansa dengan dagunya. "You wanna dance?"
Aku mengerutkan hidungku dan menggelengkan kepalaku. "No, I'm bit tired."
Dennis menatap Ray, lalu. "Gue pikir lo nggak akan datang."
"Gue berubah pikiran," kata Ray, terlihat kesal karena dia harus menjelaskan.
"I see," jawab Dennis, melihat ke arahku. "Butuh udara segar nggak Bell?"
Aku mengangguk, lalu mengikuti Dennis menaiki tangga. Dia berhenti, meraih tanganku saat kami naik ke lantai dua. Ketika kami sampai di lantai paling atas, dia membuka sepasang pintu bergaya Prancis menuju ke balkon.
"Kamu kedinginan nggak Bell?" Tanyanya kemudian.
"Agak dingin," kataku, tersenyum ketika dia melepas jaketnya dan menutupi bahuku, "Terima kasih."
"Kamu datang bareng Ray?"
"Kami menumpang mobil Gaffi, kita berangkat bersama."
Dia mengangguk, mencoba untuk tak terganggu pada seriangainya yang melebar dan kemudian dia melihat ke halaman rumput. Sekelompok gadis berkerumun bersama-sama, lengan saling terkait untuk melawan dingin. Kertas krep dan kaleng bir berserakan di rumput, bersama dengan botol-botol minuman keras yang kosong
Dennis menggelengkan kepalanya. "Aku yakin tempat ini akan berubah menjadi kacau besok pagi. Setelah pesta usai. Aku jadi mikirin tim bersih-bersih, mereka pasti kewalahan."
"Kamu punya kru pembersih?"
"Ya," dia tersenyum, "Kebanyakan mahasiswa baru, atau anggota baru."
"Termasuk Gaffi? Aku dengar dia baru aja bergabung di The Circle."
"Dia nggak termasuk. Dia mendapat izin karena dia sepupu Ray, dan dia tidak tinggal di asrama."
"Kamu pernah tinggal di asrama Denn?"
Dennis mengangguk. "Hanya di tahun pertama. Terus langsung pindah ke Apartemen. Aku butuh tempat yang lebih tenang untuk belajar."
"Kenapa?"
"Karena aku harus menyiapkan diri untuk melanjutkan kuliah S2 di MIT. Aku udah mengulang semester sebanyak dua kali Bell."
"Kamu langsung nerusin ke S2? Tanpa jeda?" dia menganggukan kepalaya dengan pasti.
"Ayahku mau aku kuliah di sana, dia lulusan sana. Aku sudah pernah mengecewakannya karena gagal mengambil jurusan kedokteran. Jadi dia sedikit lebih menuntutku untuk hal yang satu itu."
"Ayahmu seorang dokter?"
Dennis kembali menganggukan kepala dengan senyumnya. "Ahli bedah ortopedi."
"Awsome."
"Kalau kamu gimana Bell?" Tanyanya.
"Gimana apanya? Rencana S2? Nggak ada, aku hanya perlu menyelesaikan ini lalu mencari kerja dan memulai hidup baru."
"Kamu nggak mau mencoba hal yang lain? Kan, bisa melanjtkan S2 sambil bekerja."
Aku menghela nafas dengan dramatis. "Aku nggak sepandai itu dalam mengatur waktu. Nilaiku juga nggak begitu menunjang. Jadi aku hanya fokus untuk lulus di setiap mata kuliah, dan pergi mencari kerja."
"Aku dengar kamu dapat beasiswa dikampus?" aku mengangguk sekali lagi.
"Aku daftar menggunakan surat keterangan tidak mampu. Aku payah dibidang akademik."
"Kemarin namamu masuk ke dalam daftar sepuluh mahasiswa terbaik di kelasmu."
Aku tersenyum sambil memainkan ujung rambutku "Matematika agak mudah untukku sekarang."
"That's cool," katanya.
Kami berdiri di balkon selama lebih dari satu jam, berbicara tentang segala hal mulai dari makanan terfavorit, waran kesukaan hobi masing-masing sampai bagaimana aku bisa bersahabat dengan Ray.
"Sebenarnya aku nggak mau menyinggung ini, tapi belakang kalian berdua sedang dalam topik perbincangan yang hangat."
"Padahal kita biasa aja," gumamku.
"Tapi nggak biasa kalau sudah bersangkutan dengan Ray. Dia nggak berteman dengan wanita. Dia cenderung membuat mereka membencinya, terlebih setelah… you know." Katanya sambil mengangkat bahu.
"Oh I know. Tapi dia nggak seburuk itu kok. Ray lebih baik dari yang terlihat."
Dennis tertawa, wajahnya terlihat manis dengan dua lubang yang cukup dalam di kedua pipinya. "Orang-orang nggak mengerti hubungan kalian. Kalian terlalu menempel satu sama lain. Jadi nggak salah juga kalau mereka punya anggapan lain. "
"Dan kamu percaya?"
Dia tersenyum. "Kamu nggak akan berada di sini bersamanya jika mereka salah. Aku sudah mengenal Ray sejak lama Bell, kami teman satu sekolah dulu sejak SMP. Aku tahu jam terbangnya. Makanya aku sedikit penasaran dengan hubungan persahabatan di antara kalian berdua."
"Nggak ada yang aneh apalagi istimewa," aku mengangkat bahu. "Kami hang out, makan, menonton TV, belajar, dan berdebat. Itu aja. Sama dengan pertemanan lain."
Dennis tertawa terbahak-bahak, menggelengkan kepalanya mendengar jawabanku. "Ku dengar kamu adalah satu-satunya orang yang boleh masuk dan tidur di dalam kamarnya. Menurut wanita-wanita yang menggilai Ray. Itu adalah gelar yang luar biasa." Aku mendengus tak percaya mendengarnya.
"Terserah orang mau percaya atau nggak, tapi yang jelas kami hanya berteman. Dan Ray nggak seburuk yang orang pikirkan." Langit berubah ungu dan kemudian merah muda saat matahari terlihat bersiap terbit di atas cakrawala.
Dennis melirik jam tangannya, lalu melirik pada kerumunan yang jumlahnya mulai menipis di halaman. "Kayaknya pestanya sudah selesai."
"Kalau gitu kayakanya sekarang aku harus balik ke bawah dan mencari Monic juga Gaffi."
"Aku antar ya? bolehkan?" Tanyanya.
Aku mencoba sekuat tenaga untuk nggak tersenyum kegirangan. "Boleh. Aku kasih tahu Monic dulu kalau gitu ya." Aku buru-buru beranjak dan berjalan melewati pintu, tapi kemudian berbalik kembali karena teringat sesuatu. "Dennis, kamu tahu rumah Ray?"
Alis tebal dan cokelat Dennis tertarik. "Ya, kenapa?"
"Di situlah aku tinggal," kataku, bersiap untuk reaksinya.
"Kamu tinggal bareng Ray?"
"Aku kalah taruhan, dan harus tinggal di tempatnya selama satu bulan."
"Sebulan?"
"Ceritanya panjang," aku mengangkat bahu malu-malu.
"Tapi kalian hanya berteman?"
"Ya."
"Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang ke rumah Ray," dia tersenyum.
Aku berlari menuruni tangga untuk mencari Monic, dan melewati Ray yang nampak cemberut, dan tampak kesal dengan gadis mabuk yang berbicara dengannya. Dia mengikutiku ke aula saat aku mencolek bahu Monic.
"Kalian pulang duluan aja, gue pulang bareng Dennis."
"What?" Seru Monic dengan girang.
"What?" Kali ini suara Ray yang menyusul terdengar marah.
"Kenapa? Ada masalah?" Tanya Monic pada Ray.
Raya menatap Monic dengan kedua mata yang membeliak, dan kemudian menarikku ke sudut, rahangnya mengetat, seperti sedang menahan marah. "Kamu bahkan nggak kenal sama, tuh, laki-laki Bell."
Aku menarik lenganku dari genggamannya. "Ini bukan urusanmu, Ray."
"Hell no. Aku nggak akan membiarkan kamu pulang bareng orang yang nggak kamu kenal. Kamu nggak takut dia akan melakukan sesuatu padamu di tengah perjalanan kalian?"
"Ya kalau dia sampai melakukan sesuatu sama aku bagus dong. Aku kenal Dennis. And I know him! Okay."
Raut wajah Ray berubah dari terkejut menjadi marah, dan aku bersiap untuk apa yang akan dia katakan selanjutnya. "Dennis Bell? kamu benar-benar milih Dennis Pangestu?" ulangnya dengan nada meremehkan. "Kamu bahkan nggak menganl baik dia."
Aku menyilangkan tanganku. "Hentikan, Ray. Jangan jadi teman yang menyebalkan. "
Dia membungkuk, tampak bingung. "Aku akan membunuhnya jika dia menyentuhmu."
"Aku menyukainya," kataku, menekankan setiap kata.
Dia tampak tercengang mendengar pengakuanku, dan kemudian raut wajahnya berubah pias. "Okay, kalau sampai dia menahanmu di kursi belakang dan melucuti gaunmu. Jangan datang menangis padaku."
Mulutku terbuka, tersinggung dan langsung marah. "Jangan khawatir, aku— itu nggak akan terjadi," kataku, lalu berjalan meninggalkannya
Ray kembali meraih lenganku dan menghela nafas, menatapku dari balik bahunya. "Aku nggak bermaksud begitu, Bell. Jika dia menyakitimu—jika dia bahkan membuatmu merasa tidak nyaman— please tell me."
Kemarahan sedikit mereda dari wajahnya, dan suaranya juga terdengar sedikit tenang. "Aku ngerti maksud kamu, aku tahu kamu khawatir. You act like my old brother."
Ray tertawa sekali. "Aku sedang tidak berperan sebagai kakakmu Bell. More than that."
Dennis muncul di belakangku, dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku, sambil menatapku. "Jadi pulang?"
Ray mengatupkan rahangnya, dan aku melangkah ke sisi lain Dennis untuk mengalihkan perhatiannya dari ekspresi Ray terlihat kembali mulai marah. "Ya, ayo pergi."
Aku meraih lengan Dennis dan berjalan bersamanya beberapa langkah sebelum berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal pada Ray, tapi dia menatap tajam ke arah Dennis. Matanya bergeser ke arahku dan kemudian wajahnya melembut.
"Hentikan," kataku dalam diam. Sambil mengikuti Dennis menuju mobilnya yang terparkir. []