Aku kembali menghempaskan punggungku pada sofa single, membiarkan semua yang terjadi di minggu lalu memutar ulang dalam kepalaku, Gaffi marah padaku, Monic kecewa padaku, dan Ray… aku gagal mengartikan perasaanku sendiri, aku nggak pernah melihat Ray sebahagia tadi sepanjang aku mengenalnya. Lalu dalam sekejap aku merampasnya dengan kalimat pernyataan yang bisa jadi menyakitinya. Karena sedikit banyak aku juga merasakan sakit yang sama.
Aku terlalu malu untuk masuk ke dalam kamar dan merangkak masuk ke dalam selimut yang sama dengannya. Aku menatap jarum jam yang bergerak dari menit ke menit.
Satu jam telah berlalu aku mendengar suara pintu kamar yang terbuka dan Ray keluar dari kamarnya dan menyusuri lorong menuju ke ruang tivi. Sebenarnya aku berharap kalau dia datang memintaku untuk masuk ke dalam kamar. Tapi dia muncul dengan pakaian yang rapi dan terlihat siap untuk pergi.
Dia mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja di dekat sofa yang aku duduki. Aku tak bisa mencari tahu apa yang sedang dia pikirkan sekarang karena matanya terhalang oleh kacamata hitam yang dia kenakan, dia memasukan sebatang rokok ke dalam mulutnya sebelum meraih gagang pintu.
"Kamu mau pergi?" tanyaku ragu, "mau kemana Ray?"
"Keluar," membuka pintu lebar, lalu membantingnya hingga kembali menutup di belakangnya.
Aku menghempaskan kepalaku pada punggung kursi, memikirkan kembali kalimatku yang menyakiti Ray. Dan nggak menemukan cara untuk memperbaikinya.
Aku menatap jam di atas televisi, yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku menyerah dan memilih untuk masuk ke dalam kamar Ray untuk tidur. Ranjangnya terasa sepi tanpa dia, dan keinginan untuk menghubunginya terus merayap di benakku.
Aku hampir tertidur ketika mendengar suara motor Ray berhenti di tempat parkir. Dua pintu mobil tertutup tak lama kemudian, dan kemudian beberapa pasang langkah kaki berjalan menyusuri halaman parkir. Aku bisa mendengar kalau Ray sedang kesulitan membuka kunci pintu, dan kemudian pintu terbuka.
Dia tertawa dan bergumam, dan kemudian aku mendengar bukan hanya satu, tapi dua suara wanita. Tawa mereka terpotong oleh suara ciuman dan erangan yang berbeda. Denyutan yang menyakitkan terasa menghujam jantungku. Mataku terpejam ketika salah satu gadis memekik, dan kemudian aku yakin suara berikutnya adalah mereka bertiga ambruk ke sofa panjang yang sering Ray pakai untuk sebuah pelepasan bersama wanita-wanita jalang.
Rasanya ingin sekali aku berlari dan meminta kunci mobil Monic, tapi kamar Gaffi berada tepat di sebrang sofa, dan aku yakin aku nggak akan tahan menyaksikan pertunjukan yang sedang mereka gelar.
Aku membenamkan kepalaku di bawah bantal, lalu memejamkan mata saat pintu terbuka. Ray berjalan melintasi ruangan, membuka laci meja atas, mengambil semangkuk kondom, lalu menutup laci, berlari menyusuri lorong. Gadis-gadis itu terkikik selama setengah jam, dan kemudian sunyi.
Beberapa detik kemudian, suara erangan, desahan dan teriakan memenuhi penjuru rumah. Kedengarannya seperti sebuah film porno sedang difilmkan di ruang tamu. Aku menutupi wajahku dengan tangan, dan menggelengkan kepalaku.
Garis apa pun yang telah kabur atau hilang dalam seminggu terakhir kembali membentang, aku kembali membangun dinding di antara kami. Aku berusaha menepis perasaan apapun yang sedang aku rasakan sekarang, memaksa diriku untuk sedikit lebih tenang. Ray adalah Ray, dan kami, hanya teman.
Teriakan dan suara-suara memuakkan lainnya mereda setelah satu jam, diikuti oleh rengekan, dan kemudian gerutuan oleh para wanita setelah pertunjukan diberhentikan. Ray mandi dan sepuluh menit kemudian dia ambruk ke sisi tempat tidurnya, memunggungiku.
Bahkan setelah mandi, aku masih dapat mencium bau alkohol yang menyengat. Entah kenapa aku masih bisa merasakan kemarahan karena memikirkannya yang mengendarai motor dalam keadaan yang mabuk berat.
Entah sudah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk menenangkan diriku. Aku masih tidak bisa tidur. Ketika aku bisa merasakan kalau Ray telah jatuh tertidur dengan pulas, aku duduk untuk melihat jam.
Matahari akan terbit dalam waktu kurang dari satu jam. Aku menyibak selimut, berjalan keluar dari kamar dan mengambil selimut lain dari lemari di ruang tivi. Aku melirik dua paket kondom kosong di lantai, yang membuktikan kalau pertunjukan yang tadi kudengar benar-benar nyata. Aku melangkahi mereka dan jatuh ke sofa single yang belakangan menjadi sofa favoritku.
Aku memejamkan mata sejenak. Ketika aku membukanya lagi, Monic dan Gaffi sedang duduk diam di sofa sambil menonton televisi yang dimatikan suaranya. Matahari sudah berada di tengah, dan aku merasa nyeri ketika punggungku bergerak, untuk memperbaiki posisi tubuhku.
Monic mengalihkan perhatiannya padaku. "Bell?" katanya, bergegas ke sisiku.
Dia memperhatikanku dengan mata waspada. Mungkin dia sedang menunggu kemarahan, atau air mata, atau ledakan emosi lainnya.
Gaffi tampak menyedihkan. "Gue minta maaf soal semalam Bell. Ini salah gue."
Aku tersenyum. "Nggak masalah. Lo nggak perlu meminta maaf ini bukan salah lo."
Monic dan Gaffi bertukar pandang, lalu dia meraih tanganku. "Ray pergi ke supermarket. Dia ... ugh, gue nggak peduli apa yang dia lakukan. Gue udah mengemasi barang-barang lo, dan gue akan bawa lo balik ke asrama sebelum dia pulang jadi lo nggak perlu berurusan dengannya."
Entah kenapa rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya. Jadi aku telah di usir. Aku berusaha untuk menjaga suaraku agar tak bergetar sebelum aku berbicara. "Apa gue masih punya waktu untuk mandi?"
Monic menggelengkan kepalanya. "Ayo pergi, Bell, gue nggak mau lo ketemu sama dia. Dia nggak pantas untuk—,"
Pintu terbuka, dan Ray masuk, tangannya dipenuhi oleh kantung belanjaan. Dia berjalan langsung ke dapur, terlihat sibuk untuk memasukkan kaleng dan kotak ke dalam lemari.
"Kalau Bella udah bangun bilang sama gue, oke?" katanya dengan suara lembut. "Gue beli spagheti, dan panekuk instan, dan stroberi, dan Oatmeal dengan rasa coklat, dia suka sereal rasa vanilla kan Mo?" dia bertanya sambil berbalik.
Ketika dia melihat keberadaanku, dia membeku. Setelah jeda yang lama dan terasa canggung, raut wajahnya sedikit melembut. "Hei, Bell." suaranya yang berubah menjadi lembut dan terdengar manis membuat gue bingung. Rasanya gue sedang berada di dimensi lain.
Gagal mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Aku kira dia telah mengusirku, tapi kemudian dia datang dengan kantung belanjaan yang dipenuhi oleh makanan favoritku.
Dia mengambil beberapa langkah ke ruang tivi, dengan gugup memasukkan tangannya ke dalam saku. "Kamu lapar nggak Bell? Aku akan membuatkanmu pancake. Atau ada...ada oatmeal. Dan aku membawakanmu beberapa pisau cukur berawarna yang sama dengan yang kamu miliki, dan pengering rambut, dan...a.... sebentar, ada di sini," katanya, bergegas ke kamar tidur.
Pintu terbuka, tertutup, dan kemudian kembali muncul di hadapanku dalam sekejap, wajahnya terlihat pias. Dia menarik napas dalam-dalam dan alisnya tertarik. "Barang-barangmu sudah dikemas."
"Aku tahu," kataku.
"Kamu pergi," katanya, kalah.
Aku melihat ke arah Monic, yang menatap tajam ke arah Ray seolah dia siap membunuhnya. "Lo pikir dia masih mau tinggal?"
"Sayang," bisik Gaffi.
"Don't start with me. Jangan berani-beraninya kamu membela dia di depanku," gerutu Monic pada Gaffi.
Semantara Ray tampak putus asa. "Maafkan aku, Bell. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa."
"Ayo, Bell," kata Monic. Dia berdiri dan menarik lenganku.
Ray mengambil satu langkah ingin mendekat, tapi lantas terhenti saat Monic mengarahkan jarinya ke arahnya. "Stop Ray! Kalau lo mau coba buat menghalangi kami, gue bersumpah akan menyiram lo dengan bensin dan menyulutkan api!"
"Monica," kata Gaffi, terdengar agak putus asa.
Aku bisa melihat bahwa dia terpecah antara sepupunya dan wanita yang dicintainya, dan aku semakin merasa tidak enak padanya. Situasi ini adalah situasai yang dia coba hindari selama ini.
"Gue baik-baik aja," kataku, jengkel dengan ketegangan di ruangan ini.
"Maksudnya lo baik-baik aja?" Tanya Gaffi, hampir berharap.
Aku memutar mataku. "Ray membawa pulang wanita dari bar tadi malam, lalu kenapa?"
Kini Monic menatapku dengan kedua mata yang terbelalak. "Hah, Bell. Lo masih bilang baik-baik aja dengan apa yang sedang terjadi?"
Aku menatap mereka satu persatu dengan tenang. Atau berusaha tenang. "Ray bisa membawa pulang siapa pun yang dia mau. Ini rumahnya."
Monic menatapku seolah aku sedang kehilangan akal sehat, Gaffi hampir tersenyum, dan Ray terlihat lebih buruk dari sebelumnya.
"Kamu nggak mengemasi barang-barangmu?" Tanya Ray.
Aku menggelengkan kepalaku dan melihat jam. Sudah hampir jam dua belas siang. "Nggak, dan sekarang aku harus membongkar semuanya. Aku masih harus makan, mandi, dan berpakaian…." Kataku sambil berjalan ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup di belakangku, aku bersandar pada pintu, dan meluncur ke lantai.
Aku yakin aku telah membuat Monic kesal, tapi aku sudah lebih dulu berjanji pada Gaffi, aku hanya sedang menepati janjiku padanya.
Ketukan lembut di pintu terdengar di atasku. "Bella?" kata Ray.
"Ya?" kataku, berusaha terdengar normal.
"Kamu beneran akan tetap tinggal?"
"Aku bisa pergi kalau kamu mau, tapi taruhan tetap taruhan."
Pintu bergetar akibat benturan lembut dahi Ray pada pintu. "Aku nggak mau kamu pergi, tapi aku nggak akan menyalahkanmu kalau kamu mau pergi."
"Apa itu artinya aku dibebaskan dari taruhan?"
Ada jeda panjang. "Kalau aku bilang iya, apa kamu akan pergi?"
"Ya iyalah, aku kan nggak tinggal di sini, bodoh," kataku, memaksakan tawa kecil.
"Kalau begitu nggak, taruhannya masih berlaku."
Aku mendongak dan menggelengkan kepalaku, merasakan air mata menyengat mataku. Aku nggak tahu pasti untuk apa aku menangis. "Aku boleh mandi sekarang?"
"Ya…," dia menghela nafas.
Aku mendengar suara sepatu Monic datang mendekati pintu kamar mandi, lalu kemudian dia terdengar sedang menghentakan kakinya pada Ray. "Lo bajingan paling egois," geramnya, dia berjalan cepat dan membanting pintu kamar Gaffi.
Aku mendorong diriku dari lantai, menyalakan pancuran, dan kemudian menanggalkan pakaian, lalu menarik tirai di belakangku.
Nggak lama kemudian suara ketukan pada pintu kembali terdengar, sebelum Ray berdeham. "Bella? Aku bawain baju ganti dan beberapa perlengkapan mandi punya kamu. "
"Taruh aja di wastafel, nanti aku ambil."
Ray masuk dan menutup pintu di belakangnya dia berdiri di balik tirai yang membatasi kami. "Aku marah. Aku mendengar semua percakapanmu dengan Monic semalam dan itu membuaku kesal. Aku hanya bermaksud keluar dan minum-minum dan mencoba memikirkan beberapa hal, tetapi sebelum aku menyadarinya, aku mabuk dan gadis-gadis itu…," dia berhenti.
"Aku bangun pagi ini dan nggak menemukan kamu di atas ranjang. Waktu aku keluar dan melihat kamu jatuh tertidur di sofa single yang sempit, dan melihat bungkusnya tergeletak di atas lantai. Aku merasa mual."
"Kamu hanya perlu menjelaskan ini padaku Ray dari pada harus menghabiskan uangmu di supermarket hanya untuk menyuapku agar tetap tinggal."
"Aku nggak peduli dengan uangnya, Bell. Aku takut kamu akan pergi dan nggak akan pernah berbicara denganku lagi. Yang lebih buruk kamu nggak mau melihatku lagi."
Aku bergidik ngeri mendengar penjelasannya. Aku nggak bisa berhenti untuk memikirkan bagaimana perasaannya mendengar aku berbicara tentang betapa salahnya dia bagiku, dan sekarang situasinya terlalu kacau untuk diselamatkan.
"Aku nggak bermaksud menyakiti perasaanmu," kataku, berdiri di bawah air.
"Aku tahu. Dan aku juga tahu kalau apapun yang aku katakan sekarang nggak akan mengembalikan keadaan. Karena aku mengacaukan segalanya… seperti yang selalu aku lakukan."
"Ray?"
"Ya?"
"Jangan mengemudi dalam keadaan mabuk lagi, oke?"
Aku menunggu satu menit penuh sampai dia akhirnya menarik napas dalam-dalam dan berbicara. "Ya, oke," katanya, menutup pintu di belakangnya, bersamaan dengan air mataku yang meluncur. []