"Aku mau ikut bertaruh, double untuk Ray." Kemudian aku menyerahkan sejumlah uang pada Adam. Sambil berdoa agar dia benar-benar tak kalah dalam pertarungan.
Kedua alis Adam terangkat sambil menatap heran ke arahku, dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman yang aku sambut dengan penuh semangat. "Jadi benar kata Ray, kalau lo itu beda."
Aku ingin lanjut bertanya tentang maksudnya, tapi kami teralihkan pada sebuah teriakan. Tubuh Brandon memang jauh lebih besar dari Ray. Aku menilik raut wajah Ray yang tidak menunjukan sedikit kekhawatiran sama sekali. Dia justru tertawa, saat melihat Brandon mengepalkan tangannya, dan mengacungkan tinjunya ke hadapan Ray.
Adam kembali menunduk dan berbisik padaku, "Tutup telinga."
Aku menangkupkan kedua tanganku di setiap sisi kepalaku, dan Adam membunyikan sirine dari pengeras suara, menandakan kalau peratrungan dimulai. Bukannya menyerang, Ray mundur beberapa langkah. Brandon mengayunkan tangannya, dan Ray menghindar ke kanan. Brandon mengayun lagi, dan Ray merunduk dan melangkah ke samping.
"Apa-apaan? Ini bukan pertandingan tinju, Ray!" Adam berteriak.
Ray mendaratkan pukulan di hidung Brandon. Lalu volume teriakan di ruang bawah tanah memekakkan telinga. Ray menancapkan hook kiri ke rahang Brandon, dan aku spontan menutup mulutku ketika Brandon mencoba beberapa pukulan lagi, tapi semua pukulannya meleset. Brandon terjatuh ke arah rombongannya ketika Ray menyikut wajahnya.
Tepat ketika aku pikir kalau pertarungan mereka hampir berakhir, Brandon kembali bangkit dia keluar dari kerumunan dan tangannya berayun lagi. Tinjunya terus mengudara tapi tak sekalipun mengenai Ray, Brandon sepertinya tidak bisa mengimbangi, dia mulai kelihatan sedikit lelah.
Kedua pria itu berkeringat, dan aku tersentak ketika Brandon melewatkan pukulan lain, tinjunya meleset hingga menghantam ke pilar semen. Ketika dia berguling kesakitan, Ray datang untuk membalas pukulannya.
Dia tak kenal lelah, pertama-tama membawa lututnya ke wajah Brandon, dan kemudian memukulnya berulang-ulang sampai Brandon tersandung dan jatuh ke tanah. Suara teriakan kembali menggelegar ketika Adam meninggalkan sisiku untuk melemparkan kain merah ke wajah Brandon yang berlumuran darah. Menandakan kalau dia telah kalah dalam pertarungan.
Ray menghilang, dia tenggelam dalam kerumunan pendukungnya, dan aku menempelkan punggungku ke dinding, lalu kembali ke jalan menuju pintu tempat kami masuk untuk menghindari kerumunan. Sedikit merasa lega saat berhasil sampai di lorong yang di terangi dengan lentera, tempat di mana Ray meninggalkanku sebelum masuk ke arena pertarungan.
Mataku tetap fokus pada ambang pintu, memperhatikan tanda-tanda kerumunan yang tumpah ke ruangan kecil itu. Setelah beberapa menit dan tidak ada tanda-tanda Ray akan kembali, aku bersiap untuk kembali ke arah jendela yang sempat kami jadikan sebagai pintu masuk.
Saat aku melangkah ke dalam lorong yang gelap, suara langkah kaki berderak pada lantai beton terdengar gusar. Ray mencariku dengan panik. "Bella!"
"Aku disini!" seruku, berlari ke pelukannya.
Ray menundukan wajahnya sambil mengangkat daguku. "Kamu bikin aku takut! Aku hampir aja memulai pertarungan baru hanya untuk mencarimu. Aku menghampirimu di sudut ruangan dekat lentera, dan kamu nggak ada di sana!" Meski aku nggak yakin apakah dia dapat melihatku atau tidak di dalam kegelepan, aku tetap mencoba tersenyum demi menenangkannya.
"I'm glad you found me, aku tadi coba menghindari kerumunan. Kamu nggak kelihatan dimana-mana. Jadi aku kembali ke sini." Setelah beberapa saat, akhirnya aku merasakan kekhawatiran telah menghilang darinya. Lalu senyumnya ikut terbit di balik pencahayaan yang redup.
"Kayaknya kamu kalah taruhan," katanya.
Tapi aku belum sempat menjawab, karena Adam melangkah masuk, menatapku, lalu menatap tajam ke arah Ray. "Gue mau ngomong sebentar."
Ray mengedipkan mata padaku. "Jangan kemana-mana. Aku akan segera kembali."
Mereka menghilang ke dalam kegelapan. Adam meninggikan suaranya beberapa kali, tapi aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Ray kembali, memasukkan segepok uang ke dalam sakunya, dan kemudian dia tersenyum. "Kayaknya kamu perlu mengambil pakaian dan perlengkapan yang kamu butuhkan selama sebulan."
"Kamu beneran mau aku tinggal sama kamu selama sebulan?"
"Kamu kalah taruhan Bell." Aku menganggukan kepala sambil tertawa, mungkin ini adalah kali pertama aku merasa senang karena kalah taruhan.
"Kalau gitu antar aku dulu ke asrama untuk ambil pakaian dan barang-barangku." Senyum Ray semakin mengembang, matanya semakin terlihat bersinar.
"This should be interesting."
Should be.
Adam kembali menghampiri kami, tapi kedatangannya bukan untuk Ray. Dia menghampiriku, dan memberiku sejumlah uang, karena aku telah memenangkan taruhan. Lalu kembali lagi ke dalam kerumunan tanpa sepatah kata.
Ray mengangkat kedua alisnya tinggi. "Kamu ikut taruhan?"
Aku tersenyum sambil mengangkat bahu, "Untuk yang ini aku menang."
Dia terkekeh dan kembali membawaku ke jendela, dia kemudian memanjatnya dan merangkak keluar, dia berbalik dan menjulurkan tangannya untuk membantuku keluar. Dan menyambut malam yang entah kenapa terasa menyenangkan.
Ray kembali melajukan sepedar motornya, kali ini dengan tenang dan pelan. Membiarkanku menikmati suara jangkrik, suara ilalang yang bergoyang karena tertiup angin. Aku mengangkat kepala menengadah ingin merasakan angin yang sama. Dinginnya tidak menusuk, melainkan sejuk. Aku kembali meletakan daguku di atas bahunya berusaha menatapnya. "Ray?"
"Hhmm?"
"Kenapa kamu mau aku tinggal sama kamu?" tanyaku penasaran.
Ray mengangkat bahu, lalu tersenyum. "Aku nggak tahu pasti. Tapi rasanya semuanya terasa baik-baik aja kalau aku bisa sedekat mungkin sama kamu."
Kehangatan yang kurasakan dari kata-katanya dengan cepat memudar ketika melihat noda merah di kemejanya. "Bajumu kena percikan darah."
Ray melihat ke bawah dengan acuh tak acuh, lalu memarkirkan motornya di halaman asrama. Dia menarik tanganku melewati gerbang asrama, kami berjalan menuju kamarku dalam diam. Sebagian besar karena nggak mau menggangu penghuni kamar lain. Sebagian lagi aku nggak tahu pasti apa yang dia pikirkan. Dia membuka pintu kamarku, memberi isyarat agar aku masuk ke dalam.
Aku melewati Kiara yang belajar di tempat tidurnya, ditawan oleh buku-buku teks yang mengelilinginya.
"Listriknya nyala, airnya juga sudah menyala," katanya.
"I know," kataku, mengobrak-abrik lemariku.
"Hai," sapa Ray pada Kiara.
Wajah Kiara seketika berubah saat dia mengamati tubuh Ray yang berkeringat dan berdarah.
"Ray, ini teman sekamarku Kiara Lin. Kiara, Gallean Ray," kataku mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Hallo," kata Kiara, mendorong kacamatanya ke atas pangkal hidungnya. Dia melirik tasku yang menggembung. "Lo mau pindah?"
"Nggak. Gue kalah taruhan."
Ray tertawa terbahak-bahak, sambil meraih tasku. "Ready?"
"Tapi, gimana caranya aku bawa semua barangku? Memangnya bisa kalau kita naik motor?"
Tanpa menjawab Ray tersenyum dan mengeluarkan ponselnya. Dia membawa barang bawaan ke luar sambil mengangguk untuk berpamitan pada Kiara, aku ikut melambai padanya sebelum menutup pintu dan menyusul Ray yang sudah berjalan lebih dulu.
Lima menit kemudian mobil sedan hitam milik Gaffi sudah berada tepat di depan motor Ray yang terparkir di depan asrama. Jendela sisi penumpang terbuka bersamaan dengan Gaffi yang keluar untuk membantu Ray memasukan barang-barangku ke dalam bagasi.
"Hai Babe."
"Hei you back. Listrik di asrama udah nyala, airnya juga udah dibenerin. Lo balik ke asrama atau masih nginap bareng Gaffi?"
Dia mengedipkan mata. "Gue nginep malam ini. Katanya lo kalah taruhan?"
Sebelum aku menjawab pertanyaan Monic, Ray sudah kembali menutup pintu bagasi dan Gaffi melesat pergi bersama Monic, yang memekik tak siap.
Aku dan Ray berjalan ke Harley-nya kembali duduk di belakangnya, dan ketika aku memeluknya dari belakang, dia meletakkan tangannya di atas tanganku.
"Aku senang kamu ada di RedRing malam ini Bell. Aku belum pernah merasa sesenang ini karena menang, sepanjang aku bertarung."
Aku menenggelamkan daguku di bahunya dan tersenyum. "Itu karena kamu mencoba memenangkan taruhan, kan."
Dia memiringkan lehernya menghadapku. "Right."
Tidak ada kesenangan di matanya, dia serius, dan dia ingin aku melihatnya.
Alisku terangkat. "Apakah itu alasan kenapa hari ini kamu bad mood? Karena kamu tahu kalau listrik dan air di asrama sudah diperbaiki dan aku aku akan kembali ke asrama?"
Ray tidak menjawab dia hanya tersenyum sambil menyalakan motornya.
Perjalanan ke rumah terasa tidak seperti biasanya. Di setiap lampu lalu lintas, Ray akan menutupi tanganku dengan tangannya, atau dia akan meletakkan tangannya di lututku. Garis-garis yang membatasi kami itu kabur lagi, dan aku bertanya-tanya bagaimana kami akan menghabiskan satu bulan bersama dan tidak merusak segalanya.
Ujung persahabatan kami yang longgar terjerat dengan cara yang nggak pernah aku bayangkan.
Ketika kami tiba di tempat parkir rumah, mobil Justin sudah lebih dulu terparkir di sana. langkahku lantas tepat di depan gerbang rumah. "Aku selalu merasa nggak enak, ketika tahu kalau mereka sudah lebih dulu berada di rumah. Rasanya seperti kita akan menganggu mereka."
"Biasakan. Ini adalah tempatmu selama empat minggu ke depan," Ray tersenyum dan membelakangiku sambil berjongkok.
"Sini."
"Ngapain?" Aku tersenyum.
"Ayo, aku akan menggendongmu."
Aku terkikik dan melompat ke punggungnya, mengaitkan jari-jariku di dadanya saat dia berlari melintasi halaman parkir menuju pintu. Monic membuka pintu bahkan sebelum kami berhasil sampai.
"Look at you guys. If I didn't know better – "
"Sayang, stop." Kata Gaffi menyelak Monic.
Monic tersenyum seolah dia sudah bicara terlalu banyak, lalu membuka pintu lebar-lebar agar kami berdua bisa masuk. Ray langsung ambruk ke sofa single. Aku memekik saat dia bersandar padaku.
"Lo keliatan seneng banget malam ini Ray. Tumben."
Aku membungkuk untuk melihat wajahnya. Aku belum pernah melihatnya begitu senang.
"Gue baru aja memenangkan banyak uang, Mo. Dua kali lipat dari yang gue kira. Gimana nggak senang?"
Monic menyeringai. "Nope, gue yakin karena yang lain," katanya, mata Monic memperhatikan tangan Ray yang menepuk pahaku. Monic benar, dia terlihat berbeda.
"Sayang," panggil Gaffi sekali lagi dengan nada penuh peringatan.
"Okay, aku akan membicarakan hal lain. Bell, katanya Dennis mengundang lo ke pesta di House akhir pekan ini ?"
Senyum Ray seketika menghilang dan dia menoleh ke arahku, menunggu jawaban.
"Eh… ya? Bukannya kita semua akan pergi?"
"Gue pergi," kata Gaffi, matanya tetap lurus menatap televisi. "Dan itu artinya gue juga akan pergi," Tambah Monic, sambil tersenyum menatap Ray penuh harap.
Ray memperhatikanku sejenak, lalu menyenggol kakiku. "Dia mau jemput kamu atau gimana?"
"Nggak, dia cuma bilang kalau House mengadakan pesta, dan aku di undang."
Senyum Monic berubah menjadi senyum menggoda yang penuh arti. "Tapi dia bilang, dia akan menunggu lo di sana. he's sweet by the way."
Ray melirik kesal ke arah Monic dan kemudian menatapku. "Kamu mau datang?"
"Aku udah bilang kalau aku akan datang." Aku mengangkat bahu. "Kamu mau datang nggak?" tambahku
"Ya," katanya tanpa ragu-ragu.
Perhatian Gaffi beralih ke Ray dari televisi. "Minggu lalu lo bilang kalau lo nggak mau datang."
"Gue berubah pikiran, kenapa masalah?"
"Nggak," gerutunya, lalu berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar tidurnya.
Monic mengerutkan kening pada Ray. "Lo tahu dimana masalahnya buat Gaffi," katanya.
"Kenapa lo nggak berhenti membuatnya gila dan selesaikan ini dengan cepat aja." Dia bangkit dan berjalan menyusul Gaffi di kamarnya, dan suara mereka berkurang menjadi gumaman di balik pintu yang tertutup.
"Yah, aku senang semua orang tahu, dan hanya aku yang nggak mengerti tentang apa semua ini," kataku.
Ray berdiri. "Aku mau mandi."
"Ada apa sih sama Gaffi?" Tanyaku.
"Nggak ada, dia hanya paranoid."
"Itu karena kita," tebakku. Mata Ray berbinar dan dia mengangguk.
"Kenapa?" tanyaku, menatapnya curiga.
"Kamu benar. Itu karena kita. Jangan tertidur, oke? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."
Dia berjalan mundur beberapa langkah, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Aku memelintir rambutku di sekitar jariku, merenungkan cara dia menekankan kata kami, dan raut wajahnya ketika dia mengatakannya. Membuatku semakin bertanya-tanya apakah pernah ada garis yang terbentang di antara kami, dan apakah hanya aku satu-satunya yang menganggap kalau Ray dan aku hanya berteman saja.
Gaffi keluar dari kamarnya, dan Monic mengejarnya. "Gaffi, stop!" dia memohon.
Dia melihat kembali ke pintu kamar mandi, dan kemudian ke arahku. Suaranya pelan, tapi marah. "Lo udah janji Bell. Waktu gue bilang sama lo kalau butuh kesabaran untuk menghadapinya agar membuatnya sedikit tenang dan nggak tempramental. Bukan berarti lo akan menjalin hubungan lebih jauh. Gue kira kalian cuma berteman aja."
"Kami," kataku, terguncang oleh serangan mendadaknya.
"Bukan kami Bell, tapi ini lo! Soal lo." Dia marah.
Monic menyentuh bahunya. "Sayang stop, udah kubilang kalau mereka akan baik-baik saja."
Dia menarik diri dari cengkeraman Monic. "Kenapa kamu mendukung mereka Mo? Aku udah bilang sama kamu apa yang akan terjadi!"
Monic menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya. "Dan aku bilang itu tidak akan terjadi! Apa kamu nggak percaya sama aku?"
Gaffi menghela nafas, menatapnya, ke arahku, dan kemudian masuk ke kamarnya.
Monic menghempaskan punggungnya pada sofa di sampingku, napasnya terdengar sedikit terengah-engah. "Gue ngerti apa yang sebenarnya terjadi di antara lo dan Ray, Bell. Tapi apapun itu gue akan mendukung keputusan lo. Gue juga udah jelasin ke Gaffi, kalau apapun yang terjadi di antara kalian berdua nggak akan mempengaruhi hubungan kita. Dia cuma lagi emosi, nggak usah di dengerin. Hhmm?"
"Lo lagi ngomongin apa, sih? Nggak ada yang terjadi di antara gue dan Ray. Kami hanya berteman. Gue dengar percakapan kalian kemarin. Kalau dia…. Nggak tertarik sama gue."
"Lo dengar?" Aku hanya mengangguk tanpa menjawabnya.
"Dan lo percaya sama semua omongan Ray?"
Aku mengangkat bahu. "It's okay with me. Soal dia yang bilang kalau nggak ada hubungan yang akan terjadi di antara kami selain persahabatan. Gue dengar dia bilang, dia nggak tertarik menjalin hubungan lebih dengan gue. Dan gue ngerti kalau dia memang memiliki trauma pada sebuah komitmen. So do I, and you know that."
"Karena Gaffi nggak mengenal lo sebaik gue, dan gue tahu kalau lo merasakan sesuatu Bell… Gaffi juga udah nanya sama Ray, Bell."
"Nannya apa?"
"Mo?" Panggil Gaffi dari kamar tidur.
Monic menghela nafas. "Lo adalah sahabat terbaik gue Bell. Gue mengenal lo lebih baik dari diri lo sendiri. Gue melihat sesuatu di antara kalian berdua saat bersama, dan satu-satunya perbedaan antara gue dan Gaffi, Lo dan Ray, adalah gue dan Justin bercinta sementara lo nggak. Selain itu? Nggak ada perbedaan."
"Ada perbedaan yang sangat besar. Apakah Gaffi membawa pulang gadis yang berbeda setiap malam? Apakah lo akan pergi ke pesta besok untuk hang out dengan seorang pria dengan status hubungan yang pasti? lo tahu gue nggak bisa menjalin hubungan dengan Ray, Mo. Dia predator, dia sudah mencoba membuka banyak pasang kaki perempuan secara acak. Dan gue nggak mau berakhir menjadi perempuan karena telah melakukan hal yang sama. Gue bahkan nggak tahu kenapa kita harus membahas soal ini. You know me."
Raut wajah Monic berubah menjadi kekecewaan. "I didn't know Bell. Lo udah menghabiskan hampir setiap momen bersamanya selama sebulan terakhir. Akui saja, kalau lo punya perasaan padanya."
"Stop Mo," kata Ray, mengencangkan handuk di pinggangnya.
Monic dan aku terlonjak mendengar suara Ray, dan saat mataku bertemu dengannya, aku bisa melihat kesenangan yang tadi terpancar itu hilang. Dia berjalan menyusuri lorong tanpa sepatah kata pun sebelum masuk ke dalam kamar, dan Monic menatapku dengan penuh kesedihan.
"You make a mistake Bell," bisiknya.
"Lo nggak perlu pergi ke pesta itu hanya untuk mencari teman kencan, sementara di sini ada yang sedang tergila-gila sama lo," tambahnya meninggalkanku sendirian. []