Suasana di dalam rumah berubah menjadi tegang dan juga semangat pada saat yang bersamaan. Tapi Ray yang paling nampak nggak peduli, seolah pertandingan ini hanyalah urusan sepele untuknya, dia memakai sepatu botnya dengan santai seolah sedang bersiap untuk berangkat kerja. Monic menarik tanganku dan mengajakku masuk ke dalam kamar Ray.
"Ayo ganti baju, lo nggak bisa datang ke pertarungan hanya dengan mengenakan pakaian kayak gini lagi. Terakhir kali gue bawa lo ke sana, rasanya gue kayak bawa anak hilang."
"Nggak ada yang salah dengan pakaian yang gue pakai kemarin, lagian lo nggak protes sama sekali waktu itu," protesku.
"Yang terakhir kali itu di luar prediksi, kehadiran lo waktu itu nggak di rencana." Dia melemparkan setumpuk pakaian ganti ke arahku. "Nih, pakai ini aja."
"Lo gila? Gue nggak mau pakai baju kayak gini!"
"Ayo buruan guys, waktunya mepet."
"Udah buruan ganti deh." Lalu dia berlari menuju kamar Gaffi meninggalkan gue.
Aku menghela napas, sambil mengenakan tanktop hitam. Atasan halter berwarna putih, dan celana jeans ketat yang tadi Monic lemparkan padaku. Kemudian memakai heels berwarna hitam, sebelum menyambar sisir, aku menyisir rambutku sambil berjalan kembali ke ruang tamu.
"Oh hell no! are you trying to get me killed?! Nggak bisa, kamu boleh pakai baju kayak gini Bell. ganti ya please."
"Nggak ada yang salah sama bajunya Bella, Ray, biarin aja kenapa sih." Sahut Monic.
Ray menarik tanganku dan kembali membawaku ke dalam kamarnya, mengabaikan Monic. "Pakai t-shirt oversize punyaku, celana jeans panjang dan sneaker yang biasa kamu pakai ke kampus."
"Kenapa?" aku memang nggak terlalu menyukai pakaian yang aku kenakan sekarang, tapi mendengar protesnya sediit banyak menyentil egoku juga.
"Karena aku akan lebih mengkhawatirkan setiap pasang mata yang akan melihat belahanmu, dan pahamu mulus, daripada lawanku nanti Bell," katanya, dia berbalik dan hendak menutup pintu, tapi menahannya sejenak sebelum pintu tertutup sempurna. "Ganti ya please. Atau kita nggak akan berangkat."
"Katamu kamu nggak peduli dengan yang orang lain pikirkan tentangku." Dia kembali mendorong daun pintunya hingga terbuka lebar.
"Ini beda Bella. Astaga!" kedua matanya yang sedang menatap mataku, mulai beralih menatap dadaku. "Kamu nggak boleh pakai baju seksi ke dalam arena pertarungan Bell. Di sana banyak bajingan. Jadi please ganti ya?"
Saat dia menutup pintunya, aku melemparkan sepasang heels hingga mengenai pintu, lalu bergerak dengan cepat menyambar kemeja kotak-kotak milik Ray yang tergantung. Dan mengganti celanaku menjadi celana jeans panjang dengan sedikit sobekan di lutut.
Memakai sneakers yang dimaksud Ray, dan kembali ke ruang tivi sambil menguncir rambutku menjadi ekor kuda. Kalau sampai mereka memintaku untuk mengganti pakaian lagi, aku bersumpah akan menggelar pertarungan di dalam rumah.
"Happy?" kataku sebal.
"Absolutely!" seru Ray dengan wajah sedikit lega. "Ayo jalan."
Kami bergerak dengan cepat, Ray menarikku menuju motornya yang terparkir, sementara Monic bersama dengan Gaffi berangkat menggunakan mobil milik Gaffi. Aku memeluk pinggang Ray dengan erat saat dia membawa motornya melaju dengan kecepatan tinggi. Entah ini karena laju motor Ray yang tinggi atau, karena pertarungan yang akan dihadiri Ray, atau bisa jadi karena wangi tubuh Ray. Yang jelas apapun itu telah mendorong adrenalinku melonjak hingga ke ujung kepala.
Ray memarkirkan motornya jauh di belakang gedung tua dengan simbol huruf F di belakang kampus. Dia mendorong kacamata hitamnya ke atas kepala, dan kemudian meraih tanganku. Dia sempat melemparkan senyumnya padaku sebelum mengajakku masuk ke dalam gedung dan menuju tangga yang terputus menuju lantai dasar. Dia berjalan melewati tangga dan berhenti pada sebuah jendela yang terbuka.
Kedua mataku sontak melebar. "Kamu bercanda kan?" Ray tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Ini pintu masuk VIP, kita nggak bisa masuk lewat depan terlalu banyak kerumunan orang."
Rasa panik datang menyerangku saat melihat Ray masuk ke dalam jendela dan menghilang. Aku lantas membungkukan badan dan berteriak. "Ray!"
"Di bawah sini Bell. Masuk aja dulu, nanti aku tangkap."
"Kamu gila ya? Aku nggak mau lompat, apalagi di dalam gelap banget gitu."
"Aku tangkap nanti Bell. Janji. Ayo cepat sekarang lompat aja dulu." Aku menghela napas, sambil memegang kepalaku yang mulai berdenyut. "Lo gila Bell!"
Lalu kemudian aku masuk dan duduk di jendela. Lalu beringsut sampai separuh tubuhku tergantung. Aku menahan tubuhku yang tergantung dan berbalik, mengarahkan kakiku, untuk merasakan lantai atau apapun untuk pijakan. Sampai kakiku merasakan kedua tangan Ray. Dia menariknya sampai aku kehilangan peganganku.
Aku memekik saat terjatuh ke dalam pelukan Ray, dia berhasil menangkapku.
"Udah aku bilang pasti aku tangkap," katanya sambil terkekeh.
Dia menurunkan tubuhku dari gendongannya, dan kemudian kembali menarikku lebih jauh ke dalam, tanpa penerangan. Setelah belasan langkah, aku bisa mendengar teriakan familiar yang menriakan nomor dan nama, dan kemudian ruangan menjadi terang. Sebuah lentera duduk di sudut, menerangi ruangan. Sehingga aku bisa kembali melihat wajah Ray.
"Apa yang kita lakukan?"
"Menunggu. Adam harus membuka acara, memanggil nama petarung sebelum aku masuk. "
Aku gelisah. "Haruskah aku menunggu di sini, atau haruskah aku masuk? Aku harus kemana setelah pertarungan dimulai? Monic sama Gaffi mana?"
"Mereka masuk melalui pintu utama, aku yakin mereka ada di suatu tempat bersama kerumunan. Kamu sama aku aja, aku nggak mau kamu ada di lubang buaya tanpa ada aku. Tetap di samping Adam nanti. Dia akan menjagamu. Aku nggak bisa menjagamu dan bertarung pada saat yang bersamaan."
"Adam juga akan sibuk Ray, aku bisa jaga diriku sendiri." Dia menggelengkan kepala, sambil menatapku dengan kerutan di wajahnya.
"No!" katanya padaku seperti sedang memberi perintah larangan kepada anak berusia lima tahun. "Akan ada lebih banyak orang yang datang malam ini Bell. Brandon, adalah petarung pemula, yang sedang naik daun di klub martial, yang datang dari Sin City. Dia lahir dari komunitas yang besar, lebih besar dari komunitas ini. Dan artinya jumlah kerumunan berlipat ganda. Dan aku nggak mau kamu tenggelam bersama kerumunan."
"Kamu gugup?" Tanyaku.
Dia tersenyum, menatapku. "Nggak, tapi kamu yang kelihatannya gugup."
"Mungkin, aku takut. Kamu nggak bakal kenapa-kenapa, kan?"
Dia bergeser sehingga tubuhnya menghadap ke arahku sepenuhnya, "Aku janji nggak akan membiarkan dia menjatuhkanku, nggak sekalipun."
"Memangnya bisa?"
Dia mengangkat bahunya tak acuh. "Biasanya sih, aku memang membiarkan lawanku, memberi satu atau dua pukulan supaya terlihat adil."
"Kamu membiarkan orang memukulmu? Aku nggak ngerti."
Dia mengangguk sekali. "Aku nggak bisa menang tanpa perlawanan, jadi aku menyerahkan diri agar mendapatkan satu atau dua pukulan, sebelum menghajarnya. Itu aku lakukan hanya sebagai hiburan semata, supaya pertarungannya nggak kelihatan membosankan."
"What a bullshit," kataku, menyilangkan kedua tangan.
Ray mengangkat alis. "Kamu nggak percaya? Aku lagi nggak mengarang cerita Bell. Itu kenyataan."
"Mana yang bisa di percaya? Kamu yang menyerahkan diri untuk mendapatkan pukulan atau keluar sebagai pemenang tanpa perlawanan."
"Mau taruhan?" katanya dengan senyum gemilang dan mata yang berbinar.
Aku membalas senyumnya. "Boleh, aku yakin kamu nggak akan semudah itu menang, Brandon akan menghajarmu."
"Dan kalau dia nggak bisa menghajarku dan aku keluar sebagai pemenang. Aku dapat apa?" aku mengangkat bahuku, bersamaan dengan suara teriakan di sisi gedung berubah menjadi raungan. Adam memulai acara, lalu membacakan beberapa peraturan dan jumlah taruhan semua penonton yang datang.
Aku kembali melirik Ray, yang menyunggingkan senyumnya semakin lebar. "Kalau kamu menang, aku nggak akan berhubungan dan meniduri siapapun selama satu bulan." Aku mengangkat kedua alisku tinggi, sementara dia mengedipkan sebelah matanya. "Tapi kalau aku yang menang, kamu harus tetap tinggal sama aku selama satu bulan."
"Taruhan macam apa sih itu? Lagian aku udah tinggal sama kamu seminggu ini." jawabku dengan suara sedikit kencang melawan kebisingan yang baru saja dimulai.
"Listrik dan air di asrama sudah menyala hari ini Bell." aku memutar mataku malas, saat Ray mengedipkan matanya sekali lagi.
Dia benar, aku memang berencana kembali tidur di asrama besok, "Apa aku punya kesempatan untuk menolak?" dia menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Deal kalau gitu."
"Watch me," katanya bersamaan dengan Adam yang meneriaki namanya.
Ray mencium pipiku, sebelum berjalan keluar dari lorong tempat kami bersembunyi. Aku sementara berdiri di belakangnya. Dia memintaku untuk ke sisi lain sementara dia berlari menuju ke arena pertarungan.
Aku sedikit terkejut dengan jumlah penonton yang datang, jumlah berkali-kali lipat dari yang terakhir kali aku ingat. Nggak ada ruang untuk duduk, semua orang berdiri, dan berdesakan. Teriakan menjadi bergema saat Ray mengangkat kedua tangannya bersemangat di tengah arena. Dia menganggukan kepalanya ke arahku. Kemudian tangan Adam sudah berada di pundakku dan menarikku tepat disisinya.
Aku menarik bahu Adam, memintanya agar sedikit menunduk sebelum aku berbisik di telinganya, "Aku mau ikut bertaruh, double untuk Ray." Kemudian aku menyerahkan sejumlah uang pada Adam. Sambil berdoa agar dia benar-benar tak kalah dalam pertarungan []