Chereads / My Sweet Friend / Chapter 13 - 13

Chapter 13 - 13

"Dia pasti lagi ngeliatin lo," bisik Monic, lalu tubuhnya sedikit di condongkan ke arahku, sambil menolehkan kepalanya.

"Mo, nggak usah pakai nengok juga kali. Nanti dia tahu." Seperti nggak mendengar Monic menyunggingkan senyumnya dan melambaikan tangan. "Dia lihat gue. Salah. Dia masih ngeliatin lo."

Aku ragu-ragu sejenak, dan akhirnya mengumpulkan cukup keberanian untuk melihat ke arahnya. Dennis menatap tepat ke arahku, sambil tersenyum.

Aku membalas senyumannya, lalu berpura-pura mengetik sesuatu di laptopku.

"Dia masih ngeliatin gue?" Aku bergumam.

"Ya," jawab Monic sambil terkikik geli. Sementara gue hanya menggelengkan kepala, dan kembali berkonsentrasi dengan tugasku.

Setelah kelas selesai, Dennis menghampiriku saat aku sedang berjalan menyebrangi lobby bersama Monic untuk menyusul Ray dan Gaffi di kantin. "Hai, Bell. Masih ingat sama pesta yang diadakan di House akhir minggu ini? jangan lupa datang ya."

"I will," kataku, berusaha untuk tidak mengedipkan mata atau melakukan hal konyol lainnya. Aku memilih untuk menyunggingkan senyum sambil kembali menarik Monic menuju kantin. Monic tertawa dan meledekku sepanjang perjalanan ketika Gaffi dan Ray menyambut kami.

"Hei, Baby," kata Monic sambil mencium pipi pacarnya.

"Apa yang lucu?" tanya Gaffi.

"Oh, ada mahasiswa yang satu kelas dengan kami, dia nggak berhenti ngeliatin Bella. He's cute."

"Oh ya? Selama dia nggak melirik kamu, I'm okay with it." Gaffi mengedipkan matanya pada Monic, sebelum mendaratkan kecupan di ujung hidungnya.

"Siapa?" kali ini Ray yang bertanya.

Aku menepis tangan Ray, yang hendak mengambil tas dari tanganku. Lalu meletakannya sendiri di sandaran kursi sebelum memukul dadanya pelan. "Monic lagi halu, nggak usah didengerin."

"Lo yang halu Bell! Dennis nggak berhenti ngeliatin Bella sepanjak kelas berlangsung. Gue yakin tuh dia udah sampai ngiler-ngiler ngeliatin lo. Mukanya aja muka ngarep gitu."

"Dennis Pangestu?" tanya Ray dengan raut wajah yang berubah drastis.

Monic belum sempat menjawabnya, karena Gaffi sudah keburu menarik tangannya dan mengajaknya memesan makanan, "Mau makan apa sayang? Makan ramen kayaknya enak ya?" Monic mencium tangan Gaffi sebagai jawaban, dan Ray melengos mengikuti keduanya.

Sepuluh menit kemudian, dia meletakan mangkuk berisi ramen juga es teh manis di hadapanku, dia tak menempati kursi di sebelahku atau di seberang mejaku. Melainkan di samping Feli yang duduk di samping Monic. Jaraknya dua kursi dari kursiku sendiri. Saat itulah aku menyadari kalau ada yang aneh dengan dirinya.

"Kamu lagi ada masalah Ray?" tanyaku.

"Nggak. Kenapa?" katanya, raut wajahnya yang mulanya terlihat kaku, kini berubah melembut.

"Kamu diam aja dari tadi."

Beberapa anggota tim sepak bola mendekati meja kami dan duduk, tertawa terbahak-bahak. Aku masih menatap Ray yang menarik mangkuk miliknya sendiri saat gerombolon itu datang.

Axel melemparkan potongan kentang goreng ke mangkuk Ray. "Muka lo kenapa lesu gitu Ray? Gue dengar kemarin lo abis joget bareng Laura? Dia habis ngomel-ngomel sama anak satu kelas karena nggak berhasil dibawa ke kamar sama lo."

"Bacot," bentak Ray, tapi alih-alih menatap wajah Axel dengan sinis dia justru tetap fokus pada mangkuk ramennya.

Aku mencondongkan tubuh ke depan untuk menarik perhatian Axel yang bertubuh besar dengan kulit yang gelap dan wajah yang dipenuhi janggut. "Jangan ganggu Ray, Xel ."

Kini Ray menoleh dan menatap ke mataku. "Gue bisa jaga diri gue sendiri Bell."

"Maaf, aku…."

"Gue nggak mau dengar lo meminta maaf. gue juga nggak butuh pembelaan. Lo nggak perlu menjadi apapun di hidup gue." Bentaknya, lalu mendorong tubuhnya menjauh dari meja dan berjalan dengan cepat meninggalkan kantin.

Feli menatapku dengan alis terangkat dan penuh tanya. "Wah. Dia kenapa? Lagi PMS?"

Aku mengangkat sumpit dan mulai memakan ramen milikku sendiri. "Gue nggak tahu."

Gaffi menepuk punggungku pelan. "Bukan salah lo, lo nggak melakukan apapun yang salah, nggak usah terlalu diambil hati."

"Dia cuma lagi banyak pikiran, dan sedikit masalah," tambah Monic.

"Masalah apa?" tanyaku.

Gaffi mengangkat bahu dan mengalihkan perhatiannya ke piringnya. "Gue udah bilang sebelumnya sama lo Bell, butuh tenaga dan kesabaran ekstra buat menghadapi Ray. Dia punya dunianya sendiri, gaya hidupnya dengan kita jelas beda."

Aku menggelengkan kepalaku. "Itu Ray yang orang lain lihat… bukan Ray yang gue lihat." Dia nggak biasanya begitu, menaikan emosi karena hal kecil yang mulai menggangu.

Gaffi mencondongkan tubuhnya mendekatiku, "Nggak ada yang beda, Ray selalu sama di mata semua orang, hanya bagaimana cara kita aja yang menghadapinya. And you just need make him calm."

***

Setelah menyelesaikan kelas soreku, aku dan Monic langsung kembali ke rumah. Sesampainya kami di sana, aku nggak menemukan sepeda motor milik Ray. Artinya dia nggak di rumah, atau bisa jadi belum pulang sejak tadi. Aku lagsung masuk ke dalam kamarnya, dan meringkuk memeluk diriku sendiri di tempat tidur miliknya.

Memikirkan apa yang sedang menggangu Ray, dia masih baik-baik saja pagi tadi. Sebanyak waktu yang kami habiskan bersama, aku nggak percaya kalau aku masih nggak bisa melihat atau membaca sesuatu yang menganggunya. Tapi lebih dari pada itu, gimana bisa Monic tahu apa yang mengganggu Ray, sementara aku nggak. Aku menghela napas sambil memejamkan mata.

Entah berapa lama aku tertidur, ketika aku membuka mataku, langit malam telah menyapaku dari balik jendela kamar Ray. Ada suara-suara teredam terdengar dari ruang tivi. Aku berjalan mengikuti suara dengan langkah yang tenang, kemudian seketika berhenti saat mendengar namaku.

"Bella pasti mengerti, Ray. Jangan menyalahkan diri sendiri," kata Gaffi.

"Lagian lo berdua udah pergi ke pesta kencan di House berdua, kalian tidur di dalam kamar yang sama. Memang apa salahnya kalau kalian beneran menjalankan hubungan?" tanya Monic.

Aku menegang, menunggu tanggapannya. "Gue nggak mau menjalin hubungan apapun sama Bella. Gue cuma mau berada di dekatnya aja. She's…. different."

"Berbeda bagaimana?" tanya Monic sekali lagi terdengar kesal.

"She doesn't put up with my bullshit! Dia bahkan nggak peduli sama sekali sama kehadiran gue. lo sendirikan yang bilang sama gue Mo, kalau gue bukan tipenya Bella."

"Lo ada laki-laki ang paling mendekati tipe Bella, lo cuma nggak sadar, dan Bella nggak bilang."

Akku melangkah mundur sepelan mungkin untuk menjauh, namun ketika lantai kayu berderit karena kakiku. Aku lantas menarik pintu kamar Ray yang terbuka, sebelum berbali dan berjalan kembali ke arah mereka, dengan wajah setenang mungkin, meksi degup jantungku berkata lain.

"Hai Bell, how's your nap?"

"Kenapa lo nggak bangunin gue? gue tidur siang selama hampir lima jam dan lo diem aja?" kataku sedikit menggerutu, mencoba mengalihkan diri seolah tak mendengar apapun.

Ray menatapku sejenak, dan ketika aku tersenyum padanya, dia berjalan lurus ke arahku, meraih tanganku, dan menarikku kembali menuju kamarnya. Dia menutup pintu, dan aku merasakan jantungku berdegup kencang, menguatkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang lain untuk menghancurkan egoku.

Alisnya tertarik. "Maafin aku Bell. Aku kasar banget sama kamu tadi di kantin."

Aku merasakan sedikit kelegaan, terlebih saat melihat penyelasaan di matanya. "Aku malah nggak tahu kalu kamu marah. Memangnya kamu marah?"

"Aku nggak marah sama kamu, aku… Bell, aku punya kebiasaan jelek. Aku biasanya akan jadi temperamental dan sedikit sensitive kepada orang-orang yang aku sayang. Aku tahu kalau alasan ini nggak masuk di akal, tapi, aku tetap harus meminta maaf," katanya sambli menarikku ke dalam pelukannya.

Aku menempelkan pipiku di dadanya, merasakan degup jantung yang berdetak sama kacau nya dengan milikku sendiri. "Apa yang membuat kamu marah?"

"Udah nggak penting lagi. Sekarang yang paling penting kamu mau maafin aku atau nggak? Aku takut kamu sakit hati, karena aku menyemburmu dengan kemarahan tanpa alasan."

Aku bersandar pada pintu dan sedikit melonggarkan pelukan kami agar bisa menatapnya. "Aku bisa mengatasi amarahmu."

Matanya mengamati wajahku selama beberapa saat sebelum senyum kecil menyebar di bibirnya. "Aku nggak tahu kenapa kamu bisa bertahan sejauh ini di sampingku, dan aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan, kalau kamu sampai menjaga jarak Bell."

Aku bisa mencium bau campuran rokok dan mint pada napasnya, saat aku menatap bibirnya dengan jarak yang sangat dekat, ada reaksi aneh pada tubuhku saat tubuh kami semakin merapat. Raut wajah Ray berubah dan napasnya terengah-engah—dia juga merasakannya.

Dia mencondongkan kepala dan semakin medekatkan bibirnya, tapi suara dering dari ponselnya menyadarkanku, dan lantas menjauh. Dia menghela nafas, sambil mengeluarkan ponselnya dari sakunya.

"Hallo? Kapan? All right. That'll be an easy grand. Pemula?" Aku terkekeh saat melihatnya mengedipkan sebelah matanya padaku. "Kita kesana, sekarang," katanya sambil mematikan sambungan telepon dan meraih tanganku. "Come with me." Dia menarikku keluar dari kamar dan kembali ke ruang tivi.

"Adam nelepon gue," katanya pada Gaffi. "Lawan pemula, di gedung F lantai dasar, satu jam lagi."

Tanpa menjawab, Gaffi menganggukkan kepala sambil mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Entah menelepon siapa, tapi Gaffi terdengar mengulang informasi yang Ray berikan tadi pada siapapun di seberang telepon. Lalu mematikannya lagi dan kemudian mengulanginya lagi. Dia terus melakukan hal yang sama sambil berjalan masuk ke dalam kamarnya.

"Here we go!" Monic berseru girang. "We better freshenup!" []