"Hai cantik, kok cemberut?" Kata seorang pria yang baru saja muncul di sebelahku. "Apa dia pacarmu? Yang sekarang sedang menggelar pertunjukan"
"Nope, kita berteman," kataku menahan kesal.
"Ah, jadi kenapa wajahmu kesal? Apa karena malu?" dia memutar tubuhnya hingga menghadap ke lantai dansa, tempat di mana Ray sedang membuat pertunjukan bersama wanita murahan.
"So?" kataku, lalu menenggak vodka keduaku, rasa pahit yang menyengat langsung membakar tenggorokanku.
"So?" katanya bertanya balik, membuatku menoleh ke arahnya dengan kedua alis yang mengerut, sementara dia menatapku sambil tersenyum. "Aku Galang."
"Bella." Aku menyambut tangannya yang terulur. Kemudian dia mengangkat tangan dan mengacungkan dua jari pada bartender. Aku tersenyum sebagai tanda terima kasih karena dia mengisi ulang gelasku. "Thank you."
"Jadi di mana kamu tinggal cantik?"
"Asrama, aku mahasiswi Andalanesia University."
"Aku tinggal di Midway City, Kota sebelah."
"Jadi sekarang sedang berlibur? Kenapa memilih berlibur ke sini? nggak banyak wisata di tempat ini selain jajaran universitas dan bar."
"Aku alumni Andalanesia, aku lulus tahun lalu. Adikku satu kampus denganmu, tapi mungkin kalian berbeda jurusan. Aku sedang mengunjunginya untuk seminggu ke depan sambil menunggu panggilan kerja."
"Selamat datang, di kehidupan nyata. Gimana rasanya? Menurut cerita, dunia kerja terkadang buat sakit kepala."
Galang tertawa, "kamu mau coba? Aku bisa mencarikanmu pekerjaan kantoran kalau kamu mau."
Aku mengeluarkan lipgloss dari dalam sakuku, dan mengoleskannya pada bibirku dengan menggunakan cermin yang menempel di dinding belakang bar. "Nice shade," katanya kemudian, saat melihatku menempelkan kedua bibir untuk meratakan lipgloss.
Kemudian sebuah ide terlintas, akibat kemarahan yang bergejolak pada Ray dan mungkin dengan sedikit dorongan dari dua gelas vodka, "Mungkin kamu bisa mencobanya nanti."
Mata Galang berkilat senang saat aku mencondongkan tubuh lebih dekat padanya, dan aku memberinya senyuman semanis yang aku punya saat dia menyentuh lututku. Tapi dia buru-buru kembali menarik tangannya saat Ray berdiri di antara kami.
"Ayo pulang Bell," katanya datar.
"Kamu nggak liat? Aku lagi ngobrol Ray," kataku, mendorongnya mundur. Kemejanya basah karena pertunjukan di lantai dansa, dan aku langsung mengusapkan tanganku pada dressku.
Dia mengernyit sebentar. "Memangnya kamu kenal sama orang ini?"
"Ini Galang," kataku, mengirim senyum genit terbaik yang bisa kulakukan kepada teman baruku.
Dia mengedipkan mata padaku, lalu menatap Ray, mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu."
Ray melirikku dan aku menghela nafas. "Galang, ini Ray," gumamku.
"Gallean Ray," katanya, menatap tangan Galang seolah ingin merobeknya.
Mata Galang melebar dan dia dengan canggung menarik kembali tangannya. "Gallean Ray? Sang petarung handal dari Andalanesia?"
Aku menopang kepalaku dangan sebelah tangan menatap keduanya, menanti sebuah pertunjukan testosterone, yang mungkin akan terjadi di antara mereka.
Ray merentangkan tangannya di belakangku untuk bersandar pada punggung kursi yang aku duduki. "Ya, ada apa?"
"Gue datang ke pertarungan lo melawan Jinx tahun lalu, Bro. Pertarungannya gokil sih, tinju lo keren banget memang."
Ray memelototinya. "Apa lo mau mencobanya juga?"
Galang tertawa sekali, matanya bergerak bolak-balik di antara kami. Ketika dia menyadari kalau yang dikatakan Ray terdengar serius, dia tersenyum padaku meminta maaf dan pergi.
"Ayo pulang, sekarang!?" bentaknya.
"Kamu benar-benar brengsek, kamu tahu itu?"
"Aku dipanggil lebih buruk," katanya, membantuku turun dari bangku.
Kami mengikuti Monic dan Gaffi ke mobil, dan ketika Ray mencoba meraih tanganku untuk membawaku melintasi tempat parkir, aku menariknya menjauh. Dia berputar dan aku tersentak berhenti, bersandar pada mobil saat wajahnya hanya beberapa inci saja dari wajahku
"Aku bisa aja menciummu sekarang dan membawamu pulang!" dia berteriak. "Kamu konyol! Aku mencium lehermu, terus kenapa?"
Aku bisa mencium bau bir dan rokok di napasnya dan aku mendorongnya menjauh. "Aku bukan teman bercintamu, Ray."
Dia menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Aku tidak pernah bilang begitu! Kamu ada di sekitarku selama dua puluh empat jam penuh, kamu tidur di tempat tidurku, kamu marah karena nggak mau terlihat berjalan bersamaku!"
"Aku datang ke sini bersamamu!"
"Aku tidak pernah memperlakukanmu dengan tidak hormat, Bell."
Aku berdiri di tempatku. "Tidak, kamu hanya memperlakukanku seperti milikmu. Kamu tidak berhak mengusir Galang seperti itu!"
"Apakah kamu tahu siapa Galang?" Dia bertanya. Saat aku menggelengkan kepalaku, dia mendekat. "Let me tell you. Dia ditangkap tahun lalu karena pelecehan seksual, tetapi tuduhan itu dibatalkan."
Aku menyilangkan tanganku. "Oh, jadi kalian punya kesamaan?"
Mata Ray menyipit, dan otot-otot di rahangnya mengetat. "Aku bukan seorang bajingan Bell, aku mungkin brengsek. Tapi aku nggak pernah memaksa siapapun. Kamu pikir aku serendah itu?" katanya dengan nada rendah dan dingin.
Aku mengatupkan bibirku, bahkan lebih marah karena dia benar. Aku telah mendorongnya terlalu jauh. "Tidak, aku hanya kesal padamu!"
"Aku mungkin sedang mabuk, oke? wajahmu tiga inci dari wajahku, dan kamu cantik, dan kamu sangat harum saat berkeringat. Aku memang mencium lehermu! Aku minta maaf! Lupakan!"
Sudut mulutku terangkat. "Menurutmu aku cantik?"
Dia mengerutkan kening dengan heran. "Kamu cantik dan kamu tahu itu. Sekarang kenapa malah senyum-senyum?"
Sulit sekali untukku menahan senyum. "Nggak ada. Ayo pulang."
Ray tertawa sekali dan menggelengkan kepalanya. "What…? kamu…? Kamu menyebalkan tahu nggak! " dia berteriak, memelototiku. Aku tidak bisa berhenti tersenyum, dan setelah beberapa detik, senyum Ray ikut tersungging. Dia menggelengkan kepalanya lagi, dan kemudian mengaitkan lengannya di leherku. "Kau membuatku gila. Kamu tahu itu kan?"
***
Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri yang penuh dengan keringat dan rambut yang lepek. Ketika aku membuka tirai, Aku menemukan baju dan juga boxer yang aku kenali sebagai milik Ray di tempat di mana dia selalu meletakan perlengkapan mandiku.
T-shirt miliknya yang terlalu besar hampir saja menelan tubuhku, saat membuka kamar aku sudah menemukan Ray berbaring di atas ranjang sambil menatapku. Ada sebuah desiran di dada yang hampir membuatku sesak. Mungkin ini hanya pengaruh alkohol dan hormonku saja.
"Nite Bell," bisiknya, kemudian berbalik memunggungiku.
Aku belum mengantuk. "Ray?" kataku sambil mencondongkan tubuh untuk menyandarkan daguku di bahunya.
"Ya?"
"Aku tahu aku mabuk, dan kita baru saja bertengkar hebat karena ini, tapi…."
"Aku tidak akan berhubungan seks denganmu, jadi berhentilah bertanya," katanya, tanpa berbalik.
"Bukan gitu!" Kataku dengan suara hampir bergetar bahkan terdengar ingin menangis di telingaku sendiri.
Ray tertawa dan berbalik, menatapku dengan lembut. "Kenapa Bella?"
Aku menghela nafas. "Ini…," kataku, meletakkan kepalaku di dadanya dan merentangkan tanganku di atas perutnya, meringkuk sedekat mungkin dengannya.
Dia menegang dan mengangkat tangannya, seolah-olah dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. "Bell kamu mabuk."
"Aku tahu," kataku, terlalu mabuk untuk merasa malu.
Dia mengendurkan satu tangannya di punggungku, sementara tangannya yang lain membelai rambutku yang basah, lalu menempelkan bibirnya ke dahiku. "Kamu adalah wanita paling membingungkan yang pernah kutemui."
"Itu yang paling bisa kamu lakukan setelah menakuti satu-satunya pria yang mendekatiku malam ini."
"Maksudmu Galang si otak mesum? Ya, aku berhutang maaf padamu untuk yang itu."
"Sudahlah," kataku, merasakan awal penolakan datang.
Dia meraih lenganku dan menahannya di perutnya agar aku tidak menarik diri. "Tidak, aku serius. kamu harus lebih berhati-hati. Kalau tadi aku nggak ada di sana, aku nggak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi padamu Bell. Dan sekarang kamu mau aku meminta maaf karena mengusirnya?"
"Aku tidak ingin kamu meminta maaf. Ini bahkan bukan tentang itu."
"Lalu tentang apa?" dia bertanya, mencari sesuatu di mataku. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku, dan aku bisa merasakan napasnya di bibirku.
Aku mengerutkan kening. "Aku mabuk, Ray. Itu satu-satunya alasan yang saya miliki."
"Kamu hanya ingin aku memelukmu sampai kamu tertidur?" aku tak menjawab.
Dia bergeser untuk menatap lurus ke mataku. "Harusnya aku menolak, harusnya aku bilang nggak mau, biar kamu percaya kalau aku nggak akan menidurimu Bell," katanya, dengan kedua yang alisnya menyatu. "Tapi aku akan membenci diriku sendiri nanti jika aku mengatakan tidak dan kamu tidak pernah memintaku untuk memelukmu seperti ini lagi nanti."
Aku menyandarkan pipiku di dadanya, sementara dia mengeratkan pelukannya, sebelum mendesah. "Kamu nggak butuh alasan hanya untuk memintaku memelukmu Bell, kamu hanya perlu meminta. "
***
Aku merasakan sengat dari sinar matahari yang masuk melalui jendela dan suara alarm meraung ke telingaku. Ray masih tertidur, melilitku dengan kedua tangan dan kakinya. Aku menggerakkan lenganku yang bebas untuk meraih dan menekan tombol power pada alarm.
"Ya Tuhan," bisikku, bertanya-tanya bagaimana kami bisa berakhir dengan saling melilit. Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya saat aku berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.
"Stop bell, aku sedang tidur," gumamnya, semakin mengeratkan tubuhku ke tubuhnya.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya aku terlepas dari cengkeramannya dan duduk di tepi tempat tidur, melihat kembali tubuhnya yang setengah telanjang terbungkus selimut. Aku memperhatikannya sejenak dan menghela nafas. Semalam kami diluar batas.
Tangannya menjalar dari bawah selimut dan dia menyentuh jari-jariku. "Kenapa Bell?" katanya, sambil berusaha membuka matanya melawan kantuk.
"Aku mau ambil minum, kamu mau diambilin juga nggak?" Ray menggelengkan kepalanya dan memejamkan matanya kembali.
"Pagi, Bell," sapa Gaffi dari sofa single, saat aku berjalan menuju dapur.
"Monic mana?"
"Masih tidur. Lo tumben udah bangun pagi-pagi. Kepala lo nggak pengar?" tanyanya sambil melihat jam.
"Alarmnya berbunyi, tapi sebenarnya gue selalu bangun lebih awal kalau habis mabuk."
"Gue juga," katanya, sambil mengangguk.
"Kayaknya lo harus bangunin Monic deh, dia ada kelas pagi satu jam lagi," kataku, sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas. Gaffi mengangguk, tapi terlihat nggak peduli. "Biarin aja tidur, dia mabuk berat semalam."
Aku menggelengkan kepalaku. "Lo harus bangunin dia, atau lo akan kena semprot karena dia melewatkan kelas di mata kuliah ini. Dia udah absen lebih dari tiga kali."
"Oh," katanya sambil berdiri. "Kalau gitu gue bangunin dia deh." Tapi sebelum kakinya melangkah dia kembali berbalik menghadapku. "Bell?"
"Ya?"
"Gue nggak tahu apa yang sedang terjadi di antara lo dan Ray. Tapi gue yakin kalau suatu saat nanti dia akan bertindak bodoh hanya untuk membuat lo marah dan kesal. Ini sifat jeleknya. Dia nggak pernah dekat dengan siapapun, nggak pernah menjalin hubungan dengan siapapun, dia bahkan nggak membiarkan siapapun masuk ke dalam kamarnya. Dan memperlakukan lo beda. Artinya lo memang berbeda untuk dia. Mungkin sebagian besar caranya salah Bell, dia nggak tahu cara mengungkapkan perasaannya dengan benar. Lo harus ekstra sabar buat ngertiin dia."
"Udah gue bilang nggak perlu khawatir, nggak terjadi apapun di antara gue dan Ray."
Gaffi mengangkat bahu, lalu melangkah dan masuk kembali ke kamar tidurnya. Aku mendengar gumaman lembut, erangan protes, dan kemudian tawa manis Monic.
Saat aku sedang mencampur oatmeal dengan susu dan potongan buah ke dalam mangkuk, Ray muncul hanya mengenakan celana boxer bermotif kotak-kotak berwarna hijau. Dia berjalan menghampiriku sambil menguap dan mengusap kedua matanya.
"Kok nyebelin sih lo, saran sendirian."
Lo?
"Good morning to you too," kataku sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir.
"Dengar-dengar ulang tahun lo sebentar lagi ya?" tanya Ray. Dia menyeringai, matanya terlihat sembab dan memerah. Jelas sekali terlihat kalau dia habis masuk.
"Iya, tapi aku nggak peduli sih, aku nggak pernah merayakan ulang tahunku. Tapi mungkin Monic akan mengajakku makan malam atau apalah, biasanya dia yang lebih heboh dari aku," kataku masih berusaha tersenyum mengabaikan sikapnya yang sedikit berbeda.
"But you can join us if you want," tambahku.
"Boleh, masih minggu depan kan?"
"Yaps, kalau ulang tahunmu kapan?"
"Satu april." Dia menuangkan sereal ke dalam mangkuk dan mencampurnya dengan susu.
"Shut Up!" seru ku tak percaya.
"Serius," katanya sambil mengunyah.
"Ulang tahunmu di April Mop?" Aku bertanya lagi, mengangkat alis. Dia tertawa. "Iya! udah sana cepat mandi udah siang nanti lo telat."
"Aku berangkat bareng Monic."
Aku tahu dia sengaja bersikap dingin ketika dia mengangkat bahu. "Terserah," katanya, memunggungiku untuk menghabiskan serealnya. []