Ini sudah putaran kedua Gaffi mengelilingi halaman parkir Dragonfly, yang di penuhi oleh kendaran pengunjung lain. Dan aku yakin akan menemui teman-teman atau mahasiswa satu kampus di sana. Karena pasalnya hanya tempat ini yang ramah pada mahasiswa.
Setelah makan malam di restoran Sushi, kami langsung bergegas ke tempat ini karena merasa nggak enak hati pada pengunjung lain yang rata-rata keluarga. Kami hanya berempat, tapi meja kami terlalu ramai seperti meja anak TK yang gemar berteriak.
"Mataharinya keburu terbit sayang," gumam Monic mulai tak sabaran.
"Sabar dong. Aku nggak mau parkir mepet-mepet di tempat yang sempit, nanti mobilku lecet."
Lima belas menit kemudian Justin menyerah karena Monic terus saja mengomel, meski tak mendapatkan parkir yang luas, tapi tempat ini nggak lantas membuat mobilnya lecet karena sempit. "Padahal di depan tadi ada yang kosong, luasnya juga sama. Memangnya mau seluas apa sih? Lapangan sepak bola?" kata Ray yang ikut menggerutu.
"Gue nggak mau nanti ada yang mabuk terus malah jadi ngelecetin cat mobil gue." Aku memukul tangan Ray, untuk menegurnya agar tak ikut menggerutu. Kemudian menyambutnya yang hendak membantuku keluar dari dalam mobil.
"Aku yakin ini bukan kali pertama kamu menghabiskan malam di klub malam, tapi yang aku dengar club di Metropolis sulit di jangkau oleh mahasiswa."
"There's some card we used to passed away," jawab Monic santai.
"Some card?" tanya Ray.
"Koneksi Ray, kita harus punya koneksi untuk bersenang-senang di club. Thank's to you Bell." Monic mengedipkan sebelah matanya sambil teresenyum genit.
"Ya ampun sayang." Gaffi, menarik tangan Monic dan menggandengnya berjalan melewati jalan yang lumayan berkerikil. Karena Gaffi parkir jauh di belakang kami harus berjalan sedikit jauh untuk sampai ke pintu masuk. "Awas ya kamu ngedipin mata sembaranga kayak tadi ke laki-laki lain."
Kedua alis Ray menyatu, dan wajahnya nampak kebingungan. "Tunggu sebentar Mon, maksudnya gimana sih? Kartu koneksi gitu? Kalian bisa punya kartu itu gimana caranya?"
"Bella punya beberapa teman lama yang – "
"Bisa buat Id palsu," jawabku memotong dengan cepat. "Kita masih tetap harus membayar Ray, meskipun punya kartu pass palsu. Nggak ada yang gratis kan?" aku melirik Monic yang memalingkan muka dari Ray.
"Oh." Ray mengulurkan tangan ke arahku. Aku menyambut genggamannya dan mencoba mengabaikan ekspresinya yang nggak puas dengan jawabanku.
"Let's get party! I need a drink!" kataku mencoba untuk mengalihkan topik.
"Shot!" teriak Monic penuh semangat. Membuat Gaffi memutar matanya dengan malas. Tapi sedetik kemudian senyumnya mengemang, "Shot!" teriak Gaffi menyusul
Begitu memasuki club, Monic langsung menarikku ke lantai dansa. Dia berjingkarkan dengan kepala yang bergerak tak tentu arah. Dan bibir yang sedikit di majukan agar wajahnya terlihat imut. Membuatku tertawa terbahak daripada ikut berdansa.
Kami terus berjingkrakan selama dua putaran lagu penuh, sebelum kembali bergabung dengan para pria di di sofa yang di pesan Gaffi dan Ray. Saat aku tiba, aku sudah mendapati seorang gadis berambut pirang dengan pakaian minim di samping Ray. Aku melirik Monic yang sedang menatap ke arahnya jijik. Mungkin kira-kira begitulah ekspresiku sekarang.
"This is gonna be like this all night Mo, just ignore them," kata Gaffi, sambil menganggukan kepalanya ke arah kerumunan wanita yang bergaya sama dengan si pirang di samping Ray.
"I feels like spending a night in cheap bars somewhere in Sin City," jawab Monic semakin mencibir.
Aku mengambil tempat duduk di samping Monic di seberang Ray. Melihatnya menyalakan sebatang rokok sambil memesan dua bir kepada bartender. Nggak butuh waktu lama sampai pesanan bir yang di pesan Ray datang. Aku melirik si pirang yang tengah mengigit bibirnya seolah sedang menggoda Ray sambil menjulurkan tangan hendak mengambil salah satu bir yang Ray pesan. Tapi Ray langsung menariknya dari tangan si pirang.
"Bukan buat lo," katanya sambil menyerahkannya padaku.
Sebenarnya yang terlintas dalam pikiranku saat ini adalah membuang botolnya ke dalam tempat sampah. Tapi melihat wanita itu nampak tersinggung, aku lantas menyunggingkan senyum sambil mengambil minuman itu dari tangan Ray. Dalam sekejap si pirang pergi meninggalkan sofa kami dengan wajah yang cemberut, membuatku terkekeh geli, karena sadar Ray tak mengindahkan kehadirannya sejak tadi.
"Dia pikir gue segampang itu membelikan minuman untuk para wanita? Gue nggak pernah membelikan satu gelaspun minuman kepada siapapun." Dia menggelengkan kepalanya, aku lantas mengangkat gelasku dan mengacungkan padanya. Kalau nggak pernah membelikan lalu kenapa dia membelikan minuman untukku. "Except you, because you different."
Aku mendnetingkan gelasku dengan miliknya, " Menjadi satu-satunya wanita yang tidak di tiduri oleh seorang laki-laki yang nggak memiliki standart."
"Are you kidding me?" tanyanya tak terima, dia mencondongkan tubuhnya kepadaku saat aku mengangkat bahu tak peduli.
"Pertama, I have standart… aku nggak pernah tidur dengan wanita yang nggak cantik. Never. Kedua. Aku jelas ingin sekali menidurimu Bell. Keinginkaku untuk melemparmu ke atas sofa dan membuka kakimu lebar untukku sungguh sulit sekali di abaikan. Tapi aku memilih untuk nggak melakukannya. Karena aku nggak mau memperlakukan kamu sama seperti mereka. Dan itu bukan berarti aku nggak tertarik sama kamu. Tapi karena aku tahu kalau kamu lebih pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari wanita manapun."
Aku tidak bisa menahan senyum puas yang merayap di wajahku. "Kamu pikir aku terlalu baik untukmu."
Dia mencibir pada penghinaan kedua saya. "Aku tidak bisa memikirkan seorang pria lajang yang kukenal cukup baik untukmu."
Ketegangan mulai mencair, dan tergantikan oleh senyum yang saling kami lemparkan satu sama lain. "Thank you Ray," kataku, meletakkan gelas kosongku di atas meja.
Ray menarik tanganku. "Ayo," katanya, menarikku melewati kerumunan di lantai dansa.
"Aku sudah minum banyak! Aku akan jatuh!"
Ray tersenyum dan menarikku ke arahnya, meraih pinggulku. "Diam dan menari."
Monic dan Gaffi muncul di samping kami. Gaffi bergerak seolah dia adalah penari handal yang sering tampil di atas panggung. Ray membuatku hampir panik dengan caranya menekanku. Jika dia menggunakan salah satu gerakan itu di sofa, aku bisa mengerti mengapa begitu banyak gadis yang mendapat penghinaan di pagi hari.
Dia melingkarkan tangannya di pinggulku, dan aku melihat ekspresinya berbeda, hampir serius. Aku mengusap dada dan perutnya yang six-pack, terasa sempurna saat tangan-tangan itu meregang dan menegang di balik kemeja ketatnya mengikuti alunan musik. Aku berbalik memunggungi dia, tersenyum ketika dia melingkarkan tangannya di pinggangku.
Mungkin dua gelas pertama sudah mulai memperngaruhi otakku yang sedikit kacau karena mulai berpikir hal-hal bersama Ray yang seharusnya nggak aku pikirkan.
Lagu berikutnya bercampur dengan lagu yang kami nyanyikan sehari-hari, dan Ray tidak menunjukkan tanda-tanda ingin kembali ke sofa. Keringat bercucuran di bagian belakang leherku, dan lampu strobo warna-warni membuatku merasa sedikit pusing.
Aku memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Dia meraih tanganku dan menariknya ke atas dan melingkari lehernya. Tangannya menuruni lenganku, turun ke tulang rusukku, akhirnya kembali ke pinggulku. Ketika aku merasakan bibirnya, dan kemudian lidahnya di leherku, aku lantas menarik diri darinya.
Dia tertawa kecil, terlihat sedikit terkejut. "Kenapa sih Bell?"
Emosiku berkobar, membuat kata-kata tajam yang ingin kukatakan tersangkut di tenggorokan. Aku mundur berbalik menuju Bar dan memesan satu botol bir lagi. Ray mengambil bangku di sampingku, mengangkat jarinya untuk memesan satu untuk dirinya sendiri. Segera setelah bartender meletakkan botol di depanku, aku menenggaknya dan meminum setengah isinya sebelum membantingnya ke meja bar.
"Kamu pikir itu akan mengubah pikiran siapa pun tentang kita?" Kataku, menarik rambutku ke samping, menutupi tempat dia mencium.
Dia tertawa sekali. "Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan tentang kita."
Aku menatapnya dengan sangat kesal dan kemudian berbalik menghadap ke depan. "Bell," katanya, menyentuh lenganku.
Aku menarik diri darinya. "Jangan. Aku nggak akan pernah menajdi mabuk, agar kamu bisa bawa ke sofamu dan membuka kakiku lebar-lebar Ray."
Wajahnya berubah marah, tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, seorang wanita cantik berambut gelap dengan bibir yang merah merona, dan mata yang menggunakan lensa berwarna biru dengan pakaian yang hampir tak menutupi dada menghampirinya.
"Well, it's nice to meet Ray again in here," katanya, mendekatkan tubuhnya pada Ray dan sedikit menggesekan dadanya ke lengan Ray. Aku ingin muntah.
Dia minum, lalu matanya menatap mataku. "Hai Lexa."
"Perkenalkan aku pada pacarmu," dia tersenyum. Aku memutar mataku melihat betapa murahanya dia.
Ray menengadahkan kepalanya ke belakang untuk menghabiskan birnya, lalu menyelipkan botol kosongnya ke bawah bar. "Dia bukan pacarku."
Dia meraih tangan Lexa, dan Lexa dengan senang hati berjalan di belakangnya ke lantai dansa. Ray berdiam diri dan membiarkan tangan Lexa meraba ke hampir seluruh tubuhnya. Sampai lagu ketiga di putar, kerumunan mulai ribut bersiul dan meneriaki keduanya, karena tanga Lexa sudah mulai meraba ke tempat yang nggak seharusnya. Dan ketika Lexa berjongkok tepat di hadapan Ray. Aku lantas berbalik memunggungi mereka.
Mengedarkan pandangan ke sembarangan arah untuk mecari lawan.
Well, if you wanna play, let's play. []