Feli menghembuskan gumpalan asap dari dalam mulutnya sekali lagi, sebagian keluar dari hidungnya, sebelum menghisap kembali rokoknya. Dia sedang bercerita tentan malam yang baru saja dia habiskan bersama teman barunya di sebuah club malam.
"Kenapa lo terima dan mengiyakan begitu aja waktu dia menawarkan diri untuk membelikan lo minum, kalau nggak mau berakhir di atas tempat tidurnya." Kataku setengah tertawa, karena dia nggak berhenti mengeluh.
"Ya sederhana aja sih sih Bell, karena gue nggak punya duit. Dan gue baru aja di putusin, and… I need some orgasm."
Aku tertawa lagi mendengar dia mengeluh dengan cara mengagumi kesalahannya, lalu Feli menyenggol pinggangku dengan sikunya saat dia melihat Ray berjalan ke arah kami.
"Hei, Ray," Sapa Feli sambil mengedipkan matanya padaku.
"Fel," jawab Ray sambil menganggukan kepala. Ray menggantung kuncinya di hadapanku. "Aku mau pulang, Bell. Mau bareng nggak?"
"Aku baru mau ke asrama," kataku, menyeringai padanya melalui kacamata hitamku.
"Kamu nggak pulang ke rumah malam ini?" tanyanya, wajahnya nampak terkejut dan kecewa.
Begitupun denganku yang sedikit terkejut dengan kalimatnya yang mengatakan pulang ke rumah, rasanya terdengar asing di telingaku. Tapi terdengar nyaman, dan aku suka.
"Pulang, aku cuma mau ambil beberapa barang aja kok."
"Barang apa?"
"Pisau cukur, salah satunya. Kenapa sih?"
"Ah, memang harus di cukur sih, semalam aku memang merasakan sesuatu menusuk-nusuk kulitku, kayaknya itu dari bulu-bulumu," jawabnya dengan seringaian nakal.
Feli dengan cepat menoleh ke arahku, dengan mata yang mendelik karena terkejut, lalu bergeser menatap Ray. "Jadi gossip soal kalian itu benar?"
Aku menatap Feli dan menggelengkan kepala dengan cepat, "Aku memang tidur di kamarnya, hanya tidur, okey? Jangan mikir yang aneh-aneh."
"Right absolutely," jawab Feli dengan senyum sama nakalnya dengan milik Ray.
Aku memukul lengannya lalu berbalik menuju ke asrama. Saat aku sampai di gedung asrama, Ray sudah kembali berada di sampingku.
"Jangan marah. Aku hanya bercanda."
"Semua orang sudah menggossipkan kita kalau kita sudah berhubungan. Dan kamu malah buat tambah buruk. "
"Siapa yang peduli dengan apa yang mereka pikirkan?"
"Aku Ray! Aku peduli!" aku membuka pintu kamarku, lalu masuk ke dalam mengabaikan tatapannya. Dan mulai memasukan baran-barang yang aku perlukan ke dalam tas kecil, lalu kembali keluar, tanpa menoleh ke arah Ray yang masih berdiri bersandar pada dinding di samping pintu kamar.
Dia tertawa saat dia mengambil tas dari tanganku, dan aku memelototinya. "Kok ketawa sih Ray? Nggak ada yang lucu kali. Apa memang kamu maunya satu kampus menganggapku salah satu wanita murahan yang berhasil kamu tiduri?"
Ray mengerutkan kening bingung. "Nggak ada yang menganggapmu begitu. Dan kalaupun ada, mungkin mereka berharap kalau aku nggak pernah mendengarnya atau… you know what I'm gonna do, Bell."
Dia menahan pintu gerbang asrama yang terbuka untukku, dan setelah berjalan, aku berhenti tiba-tiba di depannya.
'Wah!' katanya, saat tubuhnya menubrukku.
Aku berbalik dengan cepat. "Gosh! Orang-orang mungkin sudah berpikir kalau aku sudah membuka kakiku untuk kamu Ray, dan kamu nggak ada malunya sama sekali malah menambahkan? With your life style…. Aku sekarang pasti terlihat menyedihkan!" kemudian aku tersadar satu hal? Apa bedanya dengaku yang sekarang malah mengikutinya kembali ke rumah?
"Kayaknya aku nggak jadi pulang ke rumahmu, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi deh. Harusnya kita menjauh untuk sementara waktu, setidaknya sampai gossip itu mulai mereda." Aku mengambil tasku darinya dan dia mengambilnya kembali.
"Nggak ada yang berpikir sampai sejauh itu Bell, nggak ada yang berpikir kalau kita telah menjalin hubungan. Kamu nggak perlu khawatir, and stop calling your self like that. Okey? Kamu nggak sama dengan mereka, you different."
Untuk sesaat, aku dan Ray terlihat seperti sedang bermain tarik tambang dengan menggunkan tas jinjingku. Aku terus berusaha menarik kembali tasku sementara Ray tak melepaskannya dengan mudah. Membuatku menggeram frustasi.
"Memangnya ada seorang perempuan dengan status teman yang tinggal di rumahmu? Tidur di atas ranjang yang sama denganmu? Apakah kamu pernah memberi tumpangan pada seorang wanita dari rumah sampai ke kampus dan begitupun sebaliknya? Apakah kamu menghabiskan makan siang, makan malam bersama wanita-wanita itu setiap hari? Atau bahkan menjemputnya di setiap kelas mata kuliah yang berbeda."
Dia berjalan ke tempat parkir, menyandera barang-barangku. "Aku akan memperbaiki ini, oke? Aku tidak ingin ada orang yang memikirkanmu begitu, karena aku," katanya dengan ekspresi merasa bersalah. Ada kilatan aneh yang melintasi matanya entah apa, belum sempat aku artikan dia sudah menutupinya dengan senyuman. "Biarkan aku yang menebusnya untukmu. Gimana kalau kita pergi ke Beer brothers nanti malam?"
"Itu bar untuk anak motor," aku mencibir, melihatnya mengikatkan tas jinjingku ke bagian belakang motor Harley miliknya. "Oke, kalau begitu ayo pergi ke club malam. Aku akan mengajakmu makan malam lebih dulu dan kita bisa pergi ke DragonFly."
"Gimana bisa pergi makan malam dan kemudian ke klub bersama dapat menyelesaikan masalah? Ketika orang-orang melihat kita bersama dan semakin menempel, itu akan memperburuk keadaan."
Dia mulai menyalakan mesin sepeda motornya. "Coba kamu pikir deh Bell. Aku, mabuk, di ruangan yang penuh dengan wanita berpakaian minim? Tidak akan lama bagi orang-orang untuk mengetahui bahwa kita bukan pasangan."
"Terus setelahnya aku harus apa? Membantu seorang pria yang mabuk pulang dari Bar bersama dengan wanita yang siap dia tiduri?"
"Nggak gitu maksudnya, kamu nggak perlu ikut membawa mereka juga." Aku memutar mataku dengan malas sebelum duduk di belakangnya. "Beberapa gadis acak akan mengikuti kita pulang dari bar? Itu yang kamu bilang akan menebusnya untukku? "
"Kamu nggak lagi cemburu, kan, Bell?"
"Cemburu pada apa? Pada wanita murahan dan gampangan yang mungkin aja punya penyakit seksual yang menular, dan menghadapimu yang akan mengeluh setelah tersadar?"
Ray tertawa, lalu menyalakan Harley-nya. Dia melajukan motornya menuju rumah dengan kecepatan dua kali lipat dari yang aku ingat, membuatku kembali memejamkan mata dan menyembunyikan wajahku di lekuk lehernya.
Setelah sampai rumah, aku buru-buru turun dari motornya sambil memukul bahunya dengan gemas. "Kau lupa kalau bawa aku?"
"Sulit untuk melupakanmu di belakangku ketika kamu memelukku begitu erat dari belakang." Seringai datang dengan pemikiran berikutnya. "Aku nggak bisa memikirkan cara yang lebih baik untuk mati, sebenarnya."
"There's must be something wrong with you."
Pintu rumahnya terbuka bahkan sebelum Ray sempat membukanya. "Gue dan Gaffi punya rencana keluar malam ini, kalian mau ikut nggak?"
Aku menatap Ray dan tersenyum. "Kita akan mampir ke tempat sushi sebelum kita pergi ke Dragonfly."
Senyum Monic mengembang cerah. "Sayang!" dia berlari ke kamar Gaffi sambil berteriak. "Kita akan keluar malam ini!"
Aku adalah orang terakhir yang mandi, jadi Monic, Gaffi dan Ray dengan tidak sabar berdiri di dekat pintu ketika aku keluar dari kamar mandi dengan dress hitam selutut dan sepatu pink.
Monic bersiul sesaat setelah melihatku. "You look Hot!"
Aku tersenyum sambil mengedipkan sebelah mataku pada Monic untuk menyamarkan rasa malu, sebelum meraih tangan Ray yang terulur. "What a beautifull legs."
"Thank's to pisau cukur ajaib?"
"Nope, thank's to a beautifull Bella."
Senyum itu datang lagi, senyum yang belakangan menghangatkan hati dan jantungku. []