Rasanya belum lama aku memejamkan mata ketika mendengar alarm berbunyi. Aku mengulurkan tangan untuk mematikannya, tapi belum sampai mematikan alarm, aku buru-buru menarik kembali tanganku, ketika merasakan kulit yang hangat di bawah tanganku yang lain.
Aku mencoba mengingat kembali di mana aku berada. Di kamar Ray. Lalu tiba-tiba rasa malu menyerangku saat aku tanpa sengaja memeluk Ray dalam tidurku.
"Ray? Alarmmu," bisikku. Sambil berusaha bergeser dengan pelan, melepaskan pelukan.
Dia tetap nggak bergerak, "Ray!" kataku sekali lagi dengan suara sedikit kencang, sambil menyenggol tubuhnya.
Dia tetap tidak bergerak, aku baru menjulurkan tanganku, meraba-raba sampai aku merasakan bagian atas jam. Aku nggak tahu bagaimana cara mematikannya, jadi aku tetap memukul-mukul bagian atas jam dengan sembarangan, sampai merasakan sebuah tombol. Sebelum kembali menjatuhkan kepalaku ke bantal dengan sebal.
Sedetik kemudian suara tawa Ray mengudara, jadi dia udah bangun?
"Udah bangun Bell?" tanya dengan suara serak khas bangun tidur.
Dan terdengar seksi.
"Aku janji akan berpura-pura nggak tahu, dan nggak akan mengatakan pada siapapun tentang kamu yang tidur sambil memelukku. Atau tubuhmu yang kerap menimpa tubuhku."
"Aku nggak tidur sambil memelukmu, aku juga nggak menimpa tubuhmu," jawabku melayangkan protes.
"Aku nggak punya pilihan lain, tanganku nggak bisa menggapai jam alarmmu." Sedetik kemudian alarmnya kembali menyala. "Ngomong-ngomong, alarmmu bunyinya berisik banget. Suaranya kayak kucing kejepit."
Ray mengulurkan tangan untuk mematikan kembali alarmnya, membuatku sadar kalau tadi aku hanya menekan tombol menunda.
"Kamu mau sarapan apa Bell?"
Aku meliriknya, sambil menggelengkan kepalaku. "Aku nggak lapar."
"Tapi aku lapar. Temenin aku jalan nyari sarapan."
"Kurasa aku tidak bisa mengatasi kurangnya keterampilan mengemudimu pagi-pagi begini," kataku. Aku mengayunkan kakiku ke sisi tempat tidur dan memasukkannya ke dalam sandalku, berjalan terseok-seok ke pintu.
"Kamu mau kemana?" Dia bertanya.
"Mandi, ganti baju dan siap-siap berangkat ke kampus, aku ada kelas pagi. By the way Ray, kamu kebanyakan nanya, kamu butuh jadwal kesibukanku dalam sehari nggak selama aku tinggal di sini?"
Ray menggeliatkan tubuhnya sesaat, lalu berjalan ke arahku, masih dengan celana boxernya. "Kenapa masih pagi udah marah-marah? atau marahmu akan berkurang setelah aku meyakinkanmu kalau aku nggak mencoba untuk membuka pakaianmu?" Tangannya menangkup bahuku dan aku merasakan ibu jarinya membelai kulitku secara bersamaan.
Hangat.
"Aku nggak marah."
Dia mendekat dan berbisik di telingaku. "Aku nggak akan menidurimu Bell. Aku terlalu menyukaimu."
Dia berjalan melewatiku ke kamar mandi, dan aku berdiri, tertegun. Kata-kata Kiara kembali terngiang-ngiang di pikiranku. Ray Gallean tidur dengan setiap wanita yang mendekatinya. Lalu sebuah pemikiran aneh datang, merasa kurang menarik hingga membuat Ray tak memiliki keinginan untuk meniduriku.
What the hell, Bella!
Aku hampir terlonjak kaget saat pintu kamar kembali terbuka, tapi bukan Ray yang berdiri di balik pintu melainkan Monic yang hendak masuk ke dalam kamar. "Bangun! Bangun! Ayo sarapan!" katanya dengan wajah riang dan senyum yang mengembang.
"You're sound like your mom." Aku berjalan menuju koperku, untuk mengambil beberapa pakaian ganti yang aku butuhkan.
"Hhmm, lo semalem nggak tidur Bell? diapain sama Ray?"
"Gue tidur dengan nyenyak. Dan gue nggak di apa-apain. Dia bahkan nyaris nggak bernapas ke arah gue," kataku dengan tajam.
Tapi tetap membuat senyum Monic semakin mengembang. "Oke deh," lalu berbalik dan berjalan kembali masuk ke dalam kamar Gaffi.
Saat aku berjalan menuju kamar mandi, aku melihat Ray sedang berdiri di dapur, dia bernyanyi pelan sambil memasak entah apa. "Kamu beneran nggak mau Bell? omelet." Tanya Ray sekali lagi.
"Beneran. Thank's anyways." aku menutup pintu kamar mandi, dan mandi dengan cepat.
Lima belas menit kemudian aku kembali ke ruang makan dengan tampilan yang segar dan siap berangkat ke kampus. Bersamaan dengan Gaffi dan Monic yang sama-sama sudah rapi. Gaffi berjalan menuju lemari piring dan mengeluarkan dua piring sebelum menyerahkannya pada Ray.
Ray kemudian meletakan omelet ke masing-masing piring. Gaffi meletakan piring tersebut di meja pantry, dan menarik Monic duduk di sampingnya, sementara aku menarik kursi di samping Monic.
Keduanya makan dengan tenang meski aku nggak bisa mengabaikan kalau Gaffi menoleh ke arah Monic, dengan wajah penuh harap. Apa merea baru saja bertengkar?
"Jangan menatapku seperti itu. Aku nggak akan pergi sayang," kata Monic.
"Sayang, House The Circle mengadakan pesta kencan bersama pasangan hanya dua kali dalam satu tahun," jawab Gaffi sambil mengunyah sarapan di mulutnya. House? Kemarin Dennis mengajakku pergi ke sana.
"Acaranya masih seminggu lagi kok, kamu masih punya waktu untuk cari baju pesta, pergi ke salon atau perawatan apalah. And I'ts on me."
"That's sweet, tapi sayang, nggak perlu sampai kamu yang bayarin aku juga akan membeli gaun atau perawatan atau apapun yang tadi kamu sebutkan. Tapi masalahnya aku nggak mau, karena aku nggak kenal sama siapapun di sana."
"Banyak perempuan yang nggak mengenal siapapun di sana," Jawab Gaffi sekali lagi, kali ini wajahnya sedikit terkejut. Mungkin karena Monic menolak tawarannya yang ingin membiayai apapun yang sedang mereka bicarakaan.
Monic mendesah, "Tapi mahasiswi yang gemar berpesta pasti akan datang, dan nggak mungkin mereka nggak mengenal satu sama lain. Kamu, kan, tahu aku nggak suka clubbing, jadi aku nggak punya relasi seperti mereka."
"Ayo dong sayang, jangan buat aku datang sendirian, padahal aku punya pacar." Wajah Gaffi kembali mengeras, seperti sedang memberitahu Monic kalau dia nggak punya pilihan lain.
"Atau, kita cari aja seseorang yang bisa mengajak Bella. Kalau Bella ikut aku jadi punya teman," jawab Monic, sambil menatapku lalu berailh ke Ray.
Ray mengangkat kedua alisnya tinggi sementara Gaffi menggelengkan kepala. "Ray nggak akan pergi ke pesta itu, pesta itu kayak prom night tahu, kebanyakan orang datang bersama pasangan atau mencari pasangan. Ray nggak menjalin hubungan, kamu kan tahu sendiri."
Monic mengangkat bahunya tak acuh, "Well, kita kan bisa jodohin mereka," jawab Monic berbisik namun masih dapat terdengar ke penjuru rumah.
"Gue dengar tahu nggak?" kataku menyelak sambil menyipitkan mata ke arahnya.
Monic menatap gue dengan memelas, wajahnya penuh pengharapan dengan kedua tangan yang ditangkupkan ke depan dada, "Please Bell." Membuatku mendesah malas.
"Kita akan cariin lo pasangan yang lucu, yang keren, yang imut, and you know, I'll make sure he's hot… gue janji lo pasti bakal happy! Dan siapa yang tahu? Mungkin pulang dari pesta lo beneran jadi punya pacar seksi kan? "
Ray melemparkan wajan ke dalam bak cuci. "Siapa yang bilang kalau gue nggak mau nemenin Bella?" Aku memutar mataku. "Don't try to help me Ray."
"Kenapa nggak sih Bell? pesta itu memang di peruntukan untuk pasangan atau seseorang yang sedang mencari pasangan. Kamu tahu aku nggak suka menjalin sebuah hubungan, dan kamu juga sedang nggak mengharapkan, ngerti kan maksudnya?"
Monic semakin menjulurkan bibirnya. "Please ya Bella yang cantik?"
"Don't look at me like that!" kataku sedikit mengeluh. "Ray nggak ingin pergi, gue nggak ingin pergi...kita nggak akan bersenang-senang."
Ray menyilangkan tangannya dan bersandar di bak cuci. "Aku nggak bilang kalau aku nggak akan pergi. Kayaknya seru juga kalau kita pergi berempat," katanya sambil mengangkat bahu.
Lalu semua mata menju padaku, menunggu keputusanku. "Kenapa kita nggak nongkrong di sini aja sih?buat acara sendiri."
Monic mendesah dengan wajah yang semakin cemberut, sementara Gaffi mencondongkan wajahnya ke arahku dengan wajah yang terlihat serius. "Karena gue harus pergi Bell. Gue anggota baru di The Circle, gue juga bagian dari penyelenggara, jadi gue harus memastikan kalau semua acara berjalan dengan lancar."
Ray berjalan melintasi dapur dan melingkarkan lengannya di bahuku, menarikku ke sampingnya. "Ayolah, Bell. Pergi sama aku ya?"
Aku melirik Monic, lalu beralih ke Gaffi. Dan menatap Ray, "Ya udahlah," jawabku sambil menghela napas. Rasanya percuma juga menolak, mereka nggak akan berhenti merayu sebelum aku setuju.
Monic memekik kegirangan dan memelukku, lalu aku merasakan tangan Gaffi di punggungku. "Thank you Bell," kata Gaffi.
Nggak lama kau merasakan Ray menunduk dan mendekatkan bibirnya di telingaku, "We'll have some fun, I promise you," bisiknya kemudian.
Tunggu sebentar, apa dia baru saja mencuri kecupan di pipiku?