Chereads / My Sweet Friend / Chapter 8 - 8

Chapter 8 - 8

Delapan

Setengah jam kemudian aku sudah duduk di dalam mobil Monic. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk kembali ke asrama. Tapi aku juga nggak bisa kembali ke sana karena terlalu kesal menghadapi Kiara. Setelah aku meneriakinya, Monic menarikku keluar dari kamar, tepat sebelum aku menjulurkan tangan untuk menarik rambutnya. Monic menyuruhku untuk menunggu di dalam kamarnya sementara dia mengemasi barang-barangku.

Nggak butuh waktu lama, untuk kami sampai di rumah Ray. Gaffi keluar sesaat setelah Monic membunyikan klakson. Dia bergegas membantu kami untuk mengeluarkan dua koper milik kami dari dalam bagasi.

Aku berjalan mengikuti Monic, menaiki anak tangga bersamaan dengan Gaffi yang menarik dua koper sekaligus di belakangku.

"Pintunya nggak dikunci," katanya terengah-engah.

Monic membuka pintu dan menahannya agar terbuka, membiarkan Gaffi masuk terlebih dahulu. Dia sibuk menggerutu karena tas kecil milik Monic berkali-kali jatuh ke lantai. "Kamu bawa apa aja sih sayang? Ini kamu kayak mau pindahan tahu nggak? Kopermu malah dua kali lipat lebih besar dari punya Bella."

Belum sempat aku membantu Gaffi menarik koper kami. Tubuhku sudah lebih dulu tergugu saat melihat seorang wanita muncul dari dalam kamar mandi, sambil mengancingkan blusnya.

"Hai," sapanya dengan wajah yang juga sama terkejutnya. Aku mengenalnya, dia gadis yang sama yang mendekati Ray tadi siang saat di kantin. Wanita si rambut merah. Aku melirik Monic yang sedang menoleh ke arah Gaffi dengan mata yang melotot.

"Ray, dia datang sama Ray," jelas Gaffi.

Nggak lama Ray muncul dari balik pintu kamar, yang hanya mengenakan celana boxer sambil menguap. Lalu dia menepuk punggung si rambut merah. "Tamuku sudah datang, sebaiknya kamu pulang."

Si rambut merah tersenyum dan memeluk Ray, dia mendaratkan ciuman di lehernya. "Aku akan meninggalkan nomorku."

"Nggak perlu," kata Ray dengan nada santai.

"Apa?" dia bertanya, sambil melepaskan pelukannya pada Ray dan menatapnya tak percaya.

"Ini sudah jadi kebiasaanya," Kata Monic menyelak keduanya. "Kenapa terkejut? Dia sudah dikenal sebagai playboy brengsek yang gemar memainkan wanita seperti lo." Monic menoleh ke arah Gaffi yang sudah melingkarkan kedua tangannya di pinggang Monic, lalu berbisik untuk memintanya tenang.

Si rambut merah, menyipitkan matanya pada Ray, lalu dia menyambar tasnya yang tergeletak di lantai di dekat sofa panjang sebelum berjalan dengan cepat keluar rumah sambil membanting pintunya.

Ray berjalan ke dapur, dengan santai seolah sedang tak terjadi apa-apa.

Monic menggelengkan kepalanya, dan berjalan memasuki kamar Gaffi tanpa lagi menoleh ke arahku atau Ray. Gaffi mencolek lenganku dan meberi kode kalau dia meninggalkan koperku di dekat sofa, sementara dia menarik koper milik Monic menyusul sang pemilik.

Aku menghempaskan punggung pada sofa single di dekat pintu. Dan bertanya-tanya apakah aku gila karena setuju untuk datang. Aku tahu reputasi Ray buruk terhadap seorang wanita hanya saja aku nggak mengira kalau dia akan memperlakukannya sekasar tadi.

Ray berdiri di belakang meja pantry yang membatasi ruang tivi dan ruang makan, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan tersenyum.

Tersenyum.

"Kenapa Bell? Muka lo kelihatan kusut."

Lo.

Aku menggelengkan kepala, sambil mendengus . "Nggak, cuma lagi jijik aja."

"Sama gue ?" Dia tersenyum.

"Iya kamu. How can you use someone like that, and treat them that way?"

"How did I treat her? She offered her number. I declined."

Mulutku menganga, rasanya aku semakin ingin marah saja. "Kamu berhubungan seks dengannya, tetapi kamu tidak menjalin hubungan dengannya. Atau setidaknya terima nomor teleponnya untuk mengirimi pesan terima kasih karena sudah di layani."

Ray bersandar pada meja, "Aku nggak perlu bertukar nomor, aku nggak akan menghubunginya dan nggak tertarik untuk menjalin hubungan dengannya."

"Kalau gitu kenapa kamu meniduri dia kalau nggak akan menghubunginya?"

"Aku tidak menjanjikan apapun kepada siapapun, Bell. Aku nggak menjalin hubungan pada siapapun. Dia datang mengikutiku dan menawarkan diri untuk membuka kakinya di atas sofaku."

Aku menatap sofa dengan jijik. "Dia putri seseorang, Ray. Bagaimana kalau nanti ada seseorang yang memperlakukan putrimu seperti itu?"

"Putriku lebih baik tidak menjatuhkan celana dalamnya untuk beberapa bajingan yang baru saja dia temui, anggap saja seperti itu."

Aku menyilangkan tanganku. "Jadi, selain mengakui bahwa kamu seorang bajingan, kamu mengatakan bahwa karena dia tidur denganmu, dia pantas dibuang seperti kucing liar?"

"Aku udah bilang sama dia sebelum membawanya ke sini, dia mengerti dan setuju. Dia wanita dewasa Bell. Dia yang merayuku, dia yang menggodaku lebih dulu. "

"Aku yakin dia nggak begitu mengerti dengan niatmu."

"Wanita biasanya membenarkan tindakan mereka dengan apa pun yang mereka pikirkan di kepala mereka. Dia nggak bilang sama aku kalau dia mengharapkan sebuah hubungan, dan aku mengatakan kalau aku hanya melakukan one-night Stand without any relationship. Apa bedanya?"

"Aku rasanya pengen banget manggil kamu kampret."

Ray mengangkat bahu dengan santai. "Aku pernah dipanggil lebih buruk."

Aku menatap sofa, bantal-bantalnya masih miring dan menumpuk nggak karuan karena baru saja digunakan. Aku menggelengkan kepala saat sebuah bayangan apa saja yang mereka lakukan sebelum aku datang.

"Kayaknya aku tidur di sofa ini aja," gerutuku.

"Kenapa?" tanya Ray dungu.

Aku memelototinya, semakin kesal karena wajahnya terlihat bingung. "Aku nggak akan tidur di tempat dimana kalian berbagi keringat Ray!"

Seperti nggak peduli dengan kemarahanku, Ray berjalan mengambil koperku dan membawanya. "Kamu nggak akan tidur di sofa, kamu tidur di kamarku."

"Nggak ada tempat yang lebih baik dari sofa ini. Aku yakin ranjangmu lebih berantakan dari sofa." Perut rasanya sedikit mual.

"There's never been anyone in my bed but me."

Aku memutar mataku. "Percaya!"

"Aku serius Bell. Mereka aku unboxing di sofa, aku nggak pernah membiarkan satu orangpun masuk ke dalam kamarku, selain aku."

"Lalu kenapa aku diizinkan masuk dan tidur di ranjangmu?"

Salah satu sudut mulutnya tertarik membentuk seringai nakal. "Apakah kamu berencana berhubungan seks denganku malam ini?"

"Kamu pikir aku gila!"

"That's why. Sekarang bangunlah, mandi air panas, dan kemudian kita bisa belajar matematika bisnis."

Aku menatapnya sejenak dan kemudian dengan enggan melakukan apa yang dia perintahkan.

Aku butuh mandi.

Aku nggak peduli lagi berapa lama aku berdiri di bawah pancuran. Untuk menikmati air hangat yang mengalir membasuh tubuhku. Kamar mandinya nyaman, dengan mengusung gaya vintage, kamar mandi yang luasnya hampir sama dengan kamar yang aku huni. Meski tirai yang membatasi antara bathup dengan wastafel juga toilet terlihat tua dan usang karena warnanya yang terlalu gelap, tidak mengganggu konsep vintage yang mereka usung. Aku nggak keberatan untuk tidur di dalam bathup yang di letakan di bawah pancuran ini.

Aku memijat botol shampoo yang isinya masih banyak sambil menghela napas. Betapa nikmatnya mandi di kamar mandi pribadi. Nggak ada lagi sandal jepit yang bertebaran, nggak ada tas perlengkapan alat mandi yang berserakan, atau bayangan seseorang yang melintas saat berdiri dibawah pancuran.

Tapi nggak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, "Mo?"

"It's me." Suara berat milik Ray terdengar dari balik tirai. Karena terbiasa berbagi kamar mandi dengan penghuni asrama aku jadi lupa mengunci pintu kamar mandi. Dan bersyukur karena telah menarik tirai penutup.

Aku secara otomatis melingkarkan tanganku di bagian yang tidak ingin dia lihat. Meski kami masih dibatasi oleh tirai yang berwarna gelap.

"Apa yang kamu lakukan disini? Keluar!" teriakku.

"Kamu lupa handuk, dan aku membawa pakaianmu, dan sikat gigimu, dan krim wajah aneh yang kutemukan di tasmu."

"Kau memeriksa barang-barangku?" Aku menjerit.

Dia tidak menjawab. Sebaliknya, aku mendengar keran menyala dan suara sikat giginya mengenai giginya.

Aku mengintip dari tirai plastik, dan menempelkannya di dadaku. "Keluar, Ray."

Dia melihat ke arahku, bibirnya tertutup busa dari pasta giginya. "Aku nggak bisa pergi tidur tanpa menyikat gigi."

"Maju selangkah aja mendekati tirai, aku bersumpah akan mencongkel matamu. Lagian memangnya kamu nggak bisa menungguku selesai mandi apa?"

"Aku nggak akan ngintip Bell, kamu udah satu jam di kamar mandi. Kelamaan." Dia terkekeh.

Aku menunggu di bawah air dengan tangan terbungkus rapat di dada, sambil mencoba mendengar pergerakan Ray dari balik tirai. Dia mulai berkumur, membuangnya dari mulut lalu berkumur lagi, lalu nggak lama aku mendengar pintu tertutup.

Aku buru-buru membilas sabun dari kulitku, mengeringkan secepat mungkin, lalu memakai kaus dan celana pendekku, memakai kacamataku, dan menyisir rambutku dengan sisir. Pelembab malam yang dibawakan Ray menarik perhatianku, dan aku nggak bisa untuk ngga tersenyum.

He sweet, sometimes.

Ray membuka pintu lagi. "Ayo dong Bell, lama banget sih."

Aku reflek melemparkan sisir di tanganku ke arahnya dan dia menunduk, menutup pintu dan tertawa sendiri sepanjang perjalanan ke kamarnya. Aku menyikat gigiku dan kemudian berjalan menyusuri lorong, melewati kamar tidur Gaffi.

"Night, Bell." Teriak Monik dari dalam kamar. Bagaimana dia tahu kalau aku yang baru saja melintas?

"Night Mo."

Aku berdiri dengan ragu, sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar Ray.

"Masuk Bell, nggak perlu ketuk pintu. "

Dia membuka pintu dan aku masuk, melihat ranjang besi hitamnya sejajar dengan jendela di seberang pintu. Berbeda dengan dinding di ruang tamu dan ruang tivi, dinding kamarnya kosong. Tidak ada lukisan wanita tanpa busana, atau poster wanita yang digunting dari majalah playboy. Ini diluar dugaanku.

Tempat tidurnya hitam, karpetnya abu-abu, semua yang ada di ruangan itu putih. Kamarnya masih terlihat baru.

"Piyama yang bagus," kata Ray,

Dia memperhatikan celana olahraga berwarna usang lainnya juga t-shirt bertuliskan nama kampus. Dia duduk di tempat tidurnya dan menepuk bantal di sampingnya. "Yah, ayolah. Aku tidak akan menggigitmu."

"Aku tidak takut padamu," kataku, berjalan ke tempat tidur dan menjatuhkan buku catatan matematika bisnis milikku di sampingnya. "Kamu punya pulpen nggak?"

Dia mengangguk ke meja nakas di samping tempat tidur. "Laci atas."

Aku meraih ke seberang tempat tidur dan membuka laci, menemukan tiga pena, pensil, dan mangkuk kaca bening yang penuh dengan paket kondom dari berbagai merek. Menggelengkan kepala sekali lagi. Sebelum mengambil pulpen dan menutup laci.

"Kenapa?" dia bertanya, membalik halaman bukuku.

"Apakah kamu merampok klinik kesehatan?"

"Nggak, kenapa sih?"

Aku menarik tutup pulpen, tidak bisa menahan ekspresi muak dari wajahku. "Pasokan kondom seumur hidup."

"Lebih baik aman daripada menyesal, kan?"

Aku memutar mataku. Ray kembali ke buku catatanku, senyum masam merekah di bibirnya. Dia membacakan catatan itu kepadaku, menyoroti poin-poin utama sementara dia mengajukan pertanyaan kepadaku dan dengan sabar menjelaskan apa yang tidak aku pahami. Aku suka versi Ray yang satu ini, atau aku suka versi Ray yang lain juga?

Setelah satu jam, Aku melepas kacamata dan mengedipkan mataku yang mulai lelah. "Aku capek, kayaknya aku nggak bisa mengingat satu rumus lagi deh."

Ray tersenyum, menutup bukuku. "Okey."

Aku berhenti, tidak yakin dengan pengaturan tidur kami. Ray meninggalkan kamar dan berjalan menyusuri lorong, menggumamkan sesuatu ke kamar Gaffi sebelum menyalakan shower. Aku membalik selimut dan kemudian menariknya ke leherku, mendengarkan rengekan bernada tinggi dari air yang mengalir melalui pancuran.

Sepuluh menit kemudian, air mati, dan lantai berderit saat Ray melangkah. Dia berjalan melintasi kamar dengan handuk melilit pinggulnya. Dia memiliki tato di salah satu dadanya, dan juga tato lain yang aku nggak mengerti artinya berada di masih-masing bahu. Di lengan kanannya, tato tribal membentang dari bahu ke pergelangan tangannya, sementara lengan di kiri, tato berhenti di sikunya, dengan satu baris tulisan di bawah lengan bawahnya.

Aku berbalik saat dia melepaskan handuknya untuk memakai celana boxer. Lalu mematikan lampu, dia merangkak ke tempat tidur di sampingku.

"Kamu juga tidur di sini?" tanyaku, berbalik untuk menatapnya.

Kamarnya memang sudah gelap, tapi aku masih mampu melihat bayangan wajahnya.

"Ini tempat tidurku."

"Aku tahu, tapi aku…." aku berhenti.

Satu-satunya pilihanku adalah sofabed atau sofa single.

Ray menyeringai dan menggelengkan kepalanya. "Kamu nggak percaya sama aku? Aku janji nggak akan ngapa-ngapain." Dia mengacungkan dua jarinya lagi.

Aku tidak membantah, aku hanya berbalik dan meletakkan kepalaku di atas bantal, menyelipkan selimut di belakangku sehingga ada penghalang yang jelas antara tubuhnya dan tubuhku.

"Good night Bell," bisiknya di telingaku. Aku bisa merasakan napas mintnya di pipiku, membangunkan bulu-bulu halus di belakangku leherku.

Beruntung kamarnya mati, jadi dia nggak perlu melihat pipiku yang aku yakini sekarang sedang merona. []