Wajah-wajah yang kini familier memenuhi meja dan kursi di sudut kantin yang belakangan menjadi tempat favoritku. Kini ada tiga meja yang di rapatkan dan di jadikan satu. Aku duduk di antara Monic dan Feli, Gaffi duduk di samping Monic bersama dengan teman-teman satu timnya di klub sepak bola. Suara riuh rendah dari meja kami terdengar memenuhi area kantin.
Aku nggak tahu kenapa orang-orang terlihat energik, meski cuaca hari ini cukup terik dan udara sedikit lembab.
"Woy Gas," sapa Gaffi pada seseorang yang baru aku ketehaui namanya adalah Bagas. Sambil meletakan piring berisi siomay dan gelas berisi es teh manis, Bagas menempati kursi di depanku.
Sebagai anggota tim sepak bola tubuh tinggi Bagas lebih cocok menjadi pemain klub bola basket menurutku. Meski begitu kulitnya yang berwarna kuning langsat, dan mata yang berwarna gelap membuat dirinya nampak menawan, menggunakan topi bertuliskan nama klub sepak bola, dengan t-shirt berwarna biru tua yang juga bertuliskan nama yang sama, membuatnya nampak gagah.
"Semalem lo gue tunggin, anak-anak juga nungguin. Karena lo nggak datang gue jadi harus menghabiskan lima sampai enam gelas jatah lo nyuk." Katanya menggerutu tapi masih menampilkan seriangaian. "Sorry, gue udah kirim pesan ke grup kalau nggak bisa datang, gue nemenin Monic cari makan malam," jawab Gaffi seraya mencondongkan kepala untuk mendaratkan kecupan pada sisi kepala Monic.
"Lo duduk di kursi gue, Gas."
Bagas menoleh untuk melihat Ray berdiri di belakangnya, dan kemudian beralih menatapku, terkejut. "Oh, apakah dia salah satu cewek lo Ray?"
"Absoulutely no," kataku sambil menggelengkan kepala.
Bagas menatap Ray, yang menatapnya penuh harap. Bagas mengangkat bahu dan kemudian membawa piring dan gelasnya ke ujung meja.
Ray tersenyum padaku saat dia duduk di kursi. "Hai Bell, kenapa?"
"Apa itu?" tanyaku, tidak bisa mengalihkan pandangan dari nampannya. Nampan berisi kotak atau plasticware berisi beraneka ragam makanan, dengan tampilan yang sulit aku gambarkan karena terlihat aneh di mataku sendiri.
Ray tertawa sambil menyambar gelas minuman milikku. "Para wanita di kafetaria membuatku takut. Aku tidak akan berani mengkritik keterampilan memasak mereka."
Aku lantas melirik gerombolan wanita yang sedak duduk di sudut lain kantin, ada ekspresi penuh harap saat mereka menatap Ray. Aku berusaha menahan senyum geli, saat salah satu di antara mereka menatapku sengit, dan terlihat tak suka.
"Ugh… hari ini ada kuis di mata kuliah Matematika Bisnis," kata Monic menegeluh di sampingku.
"Lo udah belajar?" tanyaku.
"Mana bisa belajar, semalam gue sibuk menghabiskan waktu untuk meyakinkan Gaffi kalao lo nggak akan berakhir di atas tempat tidur Ray."
Lalu sejurus kemudian suara riuh rendah dari ujung meja yang di tempati oleh teman-teman tim sepak bola Gaffi tiba-tiba terhenti. Dan saat mereka menundukan kepala, atau sebagian di anataranya melirik ke arahku dengan penuh minat, saat yang sama aku tahu kalau mereka sedang mencuri dengar. Aku memelototi Monic, tapi dia nampak tak peduli dan memilih untuk menyandarkan kepalanya di bahu Gaffi.
"Wah, segitunya banget lo sama gue," kata Ray menggerutu, sambil melemparkan saus sambal kemasan ke arah sepupunya. Gaffi tidak menjawab juga tak mengelak. Tapi cukup membuatku tersenyum melihat tingkah Ray yang tak lantas meledak marah karena tersinggung.
Monic mengalungkan kedua tangannya memeluk bahu Gaffi, "Dia hanya khawatir, butuh waktu baginya untuk percaya kalau Bella nggak akan terlena sama rayuan Ray."
"Gue belum merayu, dan tidak sedang mencoba untuk merayu Bella." Ray mendengus, tampak tersinggung. "Gue dan Bella hanya berteman."
Aku menatap Gaffi. "Gue sudah bilang. Lo nggak perlu khawatir. "
Gaffi menoleh ke arahku, dia menatap ke dalam mataku, mungkin untuk mencari tahu apa yang aku katakan adalah benar. Aku lantas tersenyum saat melihat matanya yang berubah cerah.
"Kamu udah belajar Bell?" tanya Ray.
Aku mengerutkan kening. "Nggak, belum. Mau belajar sekalipun aku nggak akan mengerti. Aku dan matematika nggak pernah akur."
Ray berdiri. "Ayo."
"Kemana?"
"Ayo ambil catatanmu. Aku akan membantumu belajar."
"Ray…."
"Ayolah Bell, aku akan mengajarimu, aku janji kamu akan mendapatkan nilai terbaik di kelasmu."
Aku lantas menarik sedikit rambut panjang Monic sebagai salam perpisahan. "Sampai ketemu di kelas Beb."
Monic tersenyum menatapku, "Kalau gitu gue akan menjaga kursi tepat di samping gue untuk lo Bell. Gue butuh semua jawaban dari apapun yang Ray ajarkan."
Ray mengajakku untuk ke asramaku karena asramaku yang paling dekat dengan kampus, nggak perlu mengendarai mobil atau motor. Kami hanya perlu berjalan kaki lima menit, karena letak Asrama tepat di belakang gedung fakultasku.
Ray mengikutiku ke kamar, dan aku mengeluarkan buku catatanku sementara dia membuka buku panduan. Dia menanyakan soal padaku tanpa henti, dan kemudian mengklarifikasi beberapa hal yang aku tidak mengerti. Dalam cara dia menjelaskannya, konsepnya berubah dari membingungkan menjadi mudah di cerna.
Ini kali pertama belajar matematika terasa menyenangkan untukku. Meski untuk beberapa saat aku sempat merasakan kantuk datang menghinggapiku. Seperti sekarang.
Dia memukul bagian atas kepalaku dengan kertas-kertas. "Bell, fokus. Sampai sini kamu ngerti atau nggak? Atau aku perlu mengulang lagi dari awal?"
Aku menghela nafas. "Nggak usah… aku udah mengerti." Sebagian besar, sudah lebih dari tiga puluh menit dia mengajariku. Kelas matematika akan dimulai dalam sepuluh menit lagi mungkin. Jadi aku kembali merapihkan perlengkapan yang aku butuhkan masuk ke dalam tas dan sebelum Ray mengajakku kembali ke kampus.
"Aku akan mengantarmu ke kelas. Sambil bertanya ulang. "
Aku mengunci pintu di belakang kami. "Kamu tidak akan marah jika aku gagal dalam ujian ini, kan?"
"Kamu tidak akan gagal, Bell. Lain kali kita akan belajar lebih awal lagi, kalau bisa satu hari sebelum kuis." dia mengantarku sampai ke depan kelas dan benar-benar menayakan ulang setiap soal yang tadi kami pelajari.
"Bagaimana kamu akan mengajariku, mengerjakan pekerjaan rumahmu, belajar dan berlatih untuk pertarunganmu?"
Ray tertawa. "Aku tidak berlatih untuk pertarunganku. Adam cukup meneleponku satu jam sebelum pertarungan dimulai, memberi tahuku di mana pertarungan itu, dan pergi."
Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya saat dia memegang kertas di depannya untuk mengajukan pertanyaan berikutnya. Kami hampir menyelesaikan putaran kedua dari panduan belajar ketika kami mencapai kelas.
"Good luck," dia tersenyum, menyerahkan catatan dan bersandar di kusen pintu.
"Hei, Ray."
Aku menoleh untuk melihat seorang pria jangkung, agak kurus tersenyum pada Ray dalam perjalanannya ke kelas.
"Jo," sapa Ray menganggukan kepala.
Mata Denn sedikit cerah ketika dia melihat ke arahku, dan dia tersenyum. "Hai, Bell."
"Hai," sapaku, terkejut karena dia tahu namaku. Aku pernah melihatnya di kelas, tapi kami belum pernah bertemu.
Denn melanjutkan ke tempat duduknya, bercanda dengan seseorang yang duduk di sampingnya. "Siapa itu?" tanyaku
Ray mengangkat bahu, tapi rahangnya tampak sedikit menengang. "Joshua Pangestu. Kami satu divisi di BEM
"Kamu ikut BEM?" Aku bertanya, ragu.
Kedua alisnya berkerut menatapku, "Iya bareng Gaffi, kamu nggak tahu?" aku menggelengkan kepala, ini dia hal lain dari dirinya yang menarik perhatianku. Aku benci ini.
Ray tersenyum manis, sangat manis. Dia mengangkat tangannya dan mengacak rambutku, "Sana masuk, jangan keluar kalau belum dapat nilai bagus." Aku berdecak sambil memutar mataku malas. Sebelum berbalik dan masuk ke dalam kelas.
"Bell," panggil Ray sekali lagi menhentikan langkahku untuk kembali menoleh ke arahnya.
"I'll see you very soon." []