Kami sedang duduk bersama, mengamati halaman nilaiku di sebuah sudut di depan perpustakaan.
Selama satu minggu penuh, Ray membantuku dalam banyak hal. Dia membantuku mengerjakan tugas makalah sejarah bisnis. Dia mengajariku soal matemarika bisnis, dan juga membantu mengerjakan tugas di beberapa mata kuliah lainnya.
"Hampir semua nilaimu A Bell, Bahkan IPK mu naik menjadi 3,50 kamu hampir menjadi mahasiswi cumlaude!" katanya sambil memelukku senang.
Matanya berbinar senang, juga bangga. Tapi kecanggungan menggelayutiku karena terlalu fokus pada pelukannya yang erat…. Dan hangat. Aku menelan ludah dan perlahan melerai pelukannya.
"Thank you Ray, aku nggak akan bisa mendapat nilai ini kalau bukan karena kamu." Aku mengambil jaket denim yang tergeletak di sampingku dan memberikannya pada Ray. Dia membantuku untuk memasukan laptop ke dalam tasku sebelum berdiri.
Kami berjalan melewati kerumunan mahasiswa lain yang sebagian besar adalah teman-teman satu kelasku di beberapa mata kuliah.
"Bella jadi mahasiswi cumlaude sekarang," kata Ray girang kepada mereka.
Aku hanya menggelenkan kepala heran, dan terkikik geli merasa malu pada tingkahnya. Mengabaikan tatapan penuh penasaran dari mereka.
Seiring berjalannya waktu, sebuah desas-desus tentang sebuah hubungan di antara aku dan Ray mulai terdengar. Reputasi Ray sebagai playboy di kampus sedikit meredup. Dia tidak lagi mengajak seorang wanita untuk menghabiskan malam bersamanya. Dia juga lebih sering menempeliku, mengikutiku kemanapun. Mengambil kelas yang jadwalnya hampir bersamaan dengan jadwalku.
Menjemputku di depan kelas, atau mengantarkanku ke depan kelas sebelum dia pergi ke kelasnya sendiri. Dia selalu duduk di sebelahku di kelas sejarah bisnis, menghabiskan makan siang denganku di kantin, dan beberapa kali makan malam.
Banyaknya waktu yang kami habiskan bersama di satu bulan belakangan ini, membuatku menyadari kalau apa yang selama ini aku pikirkan tentangnya salah besar. Aku bahkan sangat ingin memberitahu orang-orang kalau Ray tidak seburuk yang mereka pikirkan. Seperti yang aku pikirkan sebelumnya.
Ray meletakan jus manga di hadapanku, setelah kami menghampiri teman-teman yang lain di kantin. "Nggak usah dibeliin, aku bisa beli dan antri sendiri Ray," kataku sambil melepasakn jaketku dan duduk di hadapan Bagas.
"Cuma jus mangga Bell, nggak usah berlebihan." Dia menujulurkan jari telunjuknya dan menunjuk pipiku. Membuat Bagas mendengus sebal.
"Sekarang lo alih profesi jadi pengasuhnya Bella Ray? Perlu gue kasih pinjam seragam sekalian nggak atau minimal nametag." Ray menoleh dan memberinya tatapan sengit, sementara aku menjentikan jari tak sabaran di depan wajah Bagas, "Ray nggak butuh seragam, dia buka pengasuh gue." Aku ikut memberinya tatapan sengit.
"Wah, biasa aja dong Bell matanya, gue, kan, cuma bercanda." Dia mengangkat tangannya dan menunjukan kedua jarinya sebagai tanda damai.
"Gue biasa aja kok," kataku sambil mengerutkan kening. Merasa heran terhadap diri sendiri.
Aku melirik wajah Ray yang menampilkan ekspresi terkejut juga senang. "Nah, lo jangan macem-macem deh Gas, sekarang gue ada yang belain. Kamu mau makan apa Bell?" aku menggeleng, tapi Ray tetap berbalik, langkahnya belum menjauh dari tempat kami. Dia kembali menoleh ke arah Bagas dan memberinya pertingatan.
Ray nampak memesan sesuatu di salah satu boot makanan, lalu ikut bergabung dengan sekelompok kecil mahasiswa yang sedang merokok nggak jauh dari tempat dia memesan makanan sebelumnya.
Aku berusaha untuk sekuat tenaga untuk nggak memperhatikannya saat dia tertawa dan berbicara, hingga menarik perhatian mahasiswi yang selalu mengikutinya dan berusaha menggoda Ray.
"Lo liatin apa Bell?" tanya Bagas menginterupsi.
"Nggak ada, gue nggak liat apa-apa."
Dia menopang dagunya dengan sebelah tangan sambil menggelengkan kepala. "Tuh liat, perempuan-perempuan yang nggak ada malunya nempelin Ray. Lihat Si rambut merah. Dia mengusapkan jarinya ke rambutnya Ray sebanyak dia mengedipkan mata. Gue jadi penasaran, kenapa Ray belakangan jadi jarang meladeni, dia udah mulai bosan kayaknya ya?"
Gaffi mengangguk. "Memang nggak semua dia ladeni, bahkan hampir semua. Semua orang mengira dia brengsek, tapi jika mereka tahu seberapa besar kesabaran dia menghadapi setiap gadis yang berpikir kalau Ray akan langsung tergoda dan mengajaknya tidur. Padahal nggak semua perempuan yang menempeli Ray akan berakhir di tempat tidurnya. Percaya sama gue, dia jauh lebih sopan daripada diri gue sendiri."
"Kamu sopan kok sayang, kamu lebih sopan dari Ray." kata Monic, mencium pipinya.
Aku menggelengkan kepala kepada keduanya, lalu melihat jam di pergelangan tanganku. Aku ada kelas Sejarah Bisnis sepuluh menit lagi. Aku menghabiskan jus manga yang tadi Ray berikan, sebelum berdiri, dan pamit pergi kepada teman-temanku.
Ray sedang menghabiskan rokoknya di dekat lorong menuju ke gedung fakultasku, ketika aku melewatinya. "Sebentar Bell, aku antar."
"Kamu nggak perlu mengantarku ke setiap kelas Ray, aku tahu jalan."
Ray dengan mudah teralihkan oleh seorang wanita dengan rambut hitam panjang dan rok pendek yang berjalan melewatinya dan tersenyum padanya. Dia mengikutinya dengan matanya dan mengangguk ke arah gadis itu, membuang rokoknya.
"Aku akan menyusulmu nanti, Bell."
"Ya," kataku, memutar mataku saat dia berlari ke sisi gadis itu.
Kursi Ray tetap kosong selama kelas berlangsung, dan aku merasa sedikit kesal dengannya karena membayangkan dia yang sedang menghabiskan waktu dengan seorang wanita yang baru aja dia kenal, dibanding duduk mengisi kelas.
Bu Erni menyelesaikan kelas lebih awal dari biasanya. Tapi aku tetap bergegas, dan berjalan cepat menyebrangi halaman gedung, untuk menghampiri Feli. Karena baru sadar kalau aku harus mengembalikan catatan Ekonomi Makro yang aku pinjam sebelum kelasnya di mulai pada pukul tiga. Aku kembali melihat jam tanganku, dan mempercepat langkahku. Aku hanya punya waktu lima menit.
"Bella?"
Dennis berlari melintasi rerumputan untuk berjalan di sampingku. "Kurasa kita belum resmi berkenalan," katanya, mengulurkan tangannya. "Dennis Pangestu."
Aku meraih tangannya dan tersenyum. "Bella, Arabella Tahlula."
"Aku udah lihat daftar nilai mahasiwa terbaik, kamu ada di peringkat delapan. Selamat ya Bell." dia tersenyum, memasukkan tangannya ke dalam saku.
"Terima kasih. Itu karena Ray membantuku, kalau nggak namaku nggak akan pernah masuk ke dalam daftar itu. Trust me."
"Oh, apakah kalian …."
"Teman," jawabku cepat pada pertanyaanya yang menggantung.
Joshua mengangguk dan tersenyum. "Apakah dia memberitahumu ada pesta di House Circle akhir pekan ini?" House Circle adalah nama panggilan sebuah rumah besar yang biasa di jadikan tempat berkumpul suatu komunitas. Dalam kasusu ini BEM.
"Kami kebanyakan hanya berbicara tentang materi kuliah dan makanan." Dennis tertawa.
Saat kami sudah sampai di pintu gedung biru, Dennis bergeser hingga berjalan mundur menghadapku. "Kamu harus datang. Ini akan menyenangkan."
"Nanti deh aku tanya dulu sama Monic, dia datang atau nggak. Tapi aku memang belum ada rencana apa-apa sih. "
"Harus sama Monic?"
"Harus sama Monic, atau dia akan mengamuk karena aku pergi bersenang-senang sendirian."
"Ya udah kalau gitu. Sampai ketemu di sana Bell," katanya sebelum berbalik.
Aku melihatnya berjalan pergi, tubuhnya tinggi, kalau dilihat sekali lagi dia nggak terlalu kurus, tubuhnya terlihat lebih gagah dengan kemeja bergaris-garis dan celana jins. Dengan rambut yang di potong seperti perm.
Aku menggigit bibirku salah tingkah, nggak ada salahnya mencoba.
"Jangan dilihatin terus," kata Feli di telingaku.
"Dia manis, ya?" tanyaku, tak bisa berhenti tersenyum.
"Ya, dia lucu… dalam posisi misionaris yang rapi seperti itu."
"Fel!" Aku meringis, memukul bahunya karena gemas pada komentarnya yang nggak pernah jauh dari urusan ranjang. "Lo bawa catatan gue nggak?"
"Ya iyalah, emangnya mau ngapain lagi gue di sini? kelas kita, kan, nggak sama," kataku, menarik buku yang dia maksud dari tasku.
"Terima kasih kembali" katanya menyindir, yang hanya aku balas dengan cengiran.
Feli memasukan bukku catatananya ke dalam tas, "Air di asrama mati."
"Hah? Lo dari sana?" tanyaku.
"Ya kalau nggak dari mana dong gue tahu?" jawabnya sebal sambil menyampirkan tasnya kembali ke bahu.
"Gue mau ngungsi ke kosan cowok gue lo mau ikut?" kalau aku bilang iya, bukankah namanya bunuh diri?
"Nggak deh, gue skip." Aku melambai dan berbalik meninggalkan Feli, untuk kembali ke asrama.
***
"Air mati, listrik juga mati," kata Kiara begitu aku membuka pintu kamar.
"Bisa seharian, ada yang rusak dan petugas baru bisa datang menjelang malam," tambahnya.
Sejurus kemudian pintu kamar kami di ketuk, dan menampilkan wajah Monic yang merengut saat aku membukakan pintu untuknya. Dia masuk dan menjatuhkan diri begitu saja di atas tempat tidurku. "Gila ya? Udah bayar mahal, tapi nggak bisa mandi dan nggak bisa ngecharge ponsel. Katanya butuh waktu sampai listrik dan air bisa kembali nyala. Listriknya satu hari, airnya berhari-hari nggak tahu sampai kapan."
Kiara menghela nafas. "Berhenti mengeluh. Kenapa lo nggak tinggal dengan pacar lo aja? Bukannya secara praktis lo udah tinggal bareng?"
Monic menoleh cepat menatap Kiara, untuk sesaat aku mengira dia akan menyerang Kiara, minimal menarik rambutnya kencang, seperti yang sudah-sudah. Tapi tak disangka wajahnya malah berbinar senang. "Ide bagus, Ra. Kadang ada gunanya juga lo Ra."
Kiara tetap fokus pada buku d tangannya, nampak nggak peduli dengan kalimat Monic.
Monic lantas mengeluarkan ponselnya dan mengetik sebuah pesan dengan ketepatan dan kecepatan yang luar biasa. Tak butuh waktu lama sampai ponselnya kembali berdering, dan dia tersenyum padaku. "Kita akan tinggal di tempat Gaffi dan Ray sampai listrik dan air kembali menyala."
"Hah? Gue nggak ikut."
"Nope. Lo harus ikut atau lo akan tidur kepanasan, dan nggak mandi berhari-hari."
"I'm not invited."
"I'm inviting you. Gaffi udah bilang okey. Lo bisa tidur di sofa di ruang tengah, sofanya sofabed kok… atau lo tidur di kamar Ray, dia yang tidur di sofa."
"Yang benar aja deh? Ya kali gue usir yang punya rumah tidur di sofa."
Monic mengangkat bahu tak peduli. "Kalau begitu lo bisa tidur berdua di kamar kan?"
"Lo gila!" kataku nggak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
Dia memutar matanya malas. "Jangan pura-pura polos Bell, lagian kalian, kan, berteman? kalau dia belum mencoba apa pun sekarang, artinya dia nggak akan melakukan apapun pada lo."
"Kalian nggak pacaran?" tanya Kiara sama terkejutnya.
Aku hanya menghela napas, sambil memijat keningku yang sedikit berdenyut. "Hampir semua mahasiswa menggosipkan kalian, gue malah mikirnya lo udah tidur bareng."
"What?" kataku berteriak sambil menatap tak suka pada Kiara.
Dia hanya mengangkat bahu tak acuh, "Ray dikenal sebagai predator Bell. Jadi gue kaget sih kalau lo sampe belum di apa-apain."
Apa boleh aku menggantikan Monic untuk menarik rambut Kiara dengan kencang? []