"Kenapa bengong?" tanya Ray.
Aku memang berhenti di teras rumahnya saat melihat dia sudah duduk di atas motor gede. Aku hanya mampu berkedip saat melihat Ray berdecak tak sabaran, "Nggak usah takut ini cuma motor, aku janji nggak akan ngebut."
Bukan masalah mengebut, kalau dia ingin membawaku pergi mencari makan menggunakan motor itu dengan penampilanku sekarang. Aku yakin orang- orang akan mengira kalau Ray sedang melakukan aksi sosial.
Aku buru-buru berjalan menghampiri Ray, saat melihatnya hampir turun untuk menjemputku yang nggak kunjung bergerak. Lalu kembali mengernyitkan dahi saat membaca sebuah tulisan yang tertera di atas tangki motor yang besar.
Mungkin karena mengerti aku mengernyit dan memiringkan kepala untuk membaca tulisan yang sulit terbaca itu Ray menjelaskan tanpa diminta. "Harley night Rod is a queen. She's my queen. Kesayanganku, jangan dibuat lecet." Bukan aku yang mengendarai motornya kenapa aku yang diperingati.
"Aku pakai sandal jepit."
Sekarang giliran Ray yang mengernyitkan dahi menatapku, tak mengerti. "Aku pakai sepatu, terus kenapa? Kamu mau pakai sepatuku?" dia menyerahkan sebuah helm padaku saat aku menggelengkan kepala.
Ray memakai kacamata hitam sebelum mengenakan helm miliknya sendiri. Aku hampir terlonjak saat Ray menyalakan motor dan menarik pedal gas hingga membuat suara mesin motor menggeram.
Kedua tanganku terjulur ke belakang mencari pegangan sesaat setelah menaiki motor Ray. Aku nggak menemukan pegangan yang biasanya terpasang di bagian belakang motor. Lalu Ray meraih kedua tanganku dan menariknya hingga melingkari pinggangnya. "Nggak ada yang bisa kamu pegang selain aku Bell. Jangan lepas pelukanmu," katanya.
Dalam sekejap, motor yang kami tumpangi sudah bergerak cepat di tengah jalan raya. Aku lantas menunduk dan menyembunyikan wajahku di bahunya karena kecepatan yang dia tempuh nggak bisa di bilang pelan sama sekali. Bahkan hampir sama cepatnya dengan kereta cepat yang dulu pernah aku tumpangi, saat menemani Monic mengunjungi neneknya di Jepang.
Laju motornya baru melambat setelah motornya memasuki halaman parkir sebuah restaurant Italy. Tanpa membuang waktu, sesaat setelah dia memarkirkan motornya di halaman parkir restoran, aku langsung melompat turun dari atas motor.
"Are you insane?! Kamu bilang nggak akan ngebut!"
Ray hanya terkekeh, dia menurunkan standar motornya sebelum turun. " Kelepasan," katanya dia membantuku untuk membuka tali pengait pada helm. Merapihkan helaian rambut yang terlepas dari ikatan sebentar sebelum berbalik untuk mengurus dirinya sendiri.
"Kamu pikir kita di sirkuit? Ini, kan, jalan umum, kalau nabrak gimana?" dengan kesal aku menarik tali pengikat rambut dan membiarkan rambutku jatuh tergerai. Ray menatapku yang sedang sibuk merapikan rambut, tangannya terjulur dan membantuku merapikannya, "Aku nggak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu Bell." Lalu dia berjalan membuka pintu dan menahannya untukku.
Dengan kesal aku berjalan masuk mendahului Ray, mengabaikan senyum geli miliknya. Aroma pizza yang sedang di panggang menguar menusuk hidungku, membuat cacing-cacing di dalam perutku terbangun dan berteriak kelaparan.
Aku mengikuti Ray yang memilih meja di sudut restoran, menjauhi beberapa keluarga yang mengambil meja di tengah restoran juga beberapa mahasiswa di sudut lain. Ray memesan satu Loyang pizza, satu pasta dan dua minuman bersoda.
"Di tunggu ya Ray?" kata seorang pramusaji yang menuliskan pesanan kami. Aku melirik penampilannya yang mengenakan t-shirt hitam dengan nama restaurant di dada kirinya dan celana denim. Aku menelan ludah, dan merapikan helaian rambutku ke belakang telinga gugup. Tiba-tiba merasa malu dengan penampilanku sendiri. Pramusaji itu bahkan terlihat lebih rapi dari penampilanku.
"Kamu sering ke sini?" tanyaku, mengalihkan perhatian.
Mengabaikan pertanyaanku, Ray menopang kepalanya dengan kedua tangan sambil menatapku dalam, mengunci tatapanku. Sial jantungku belum cukup tenang setelah di bawa ngebut membelah jalan bersamanya tadi, sekarang dia sudah membuatnya bekerja keras lagi.
"Jadi Bell. Boleh kasih aku alasan, kenapa kamu selalu terlihat menghindari laki-laki. Atau hanya aku yang kamu hindari?"
"I think it's just you," kataku datar.
Dia tertawa, pelan. Tatapannya tak melepaskanku. "Aku bukan lagi sedang menyatakan cinta. Aku hanya penasaran. Kamu wanita pertama yang merasa jijik saat melihatku. Kamu nggak berusaha merayu dan nggak terpengaruh sama rayuanku. Aku bahkan tahu kalau kamu sedang sangat berusaha untuk nggak menarik perhatianku. Jadi? Apa sekarang kamu sedang bermain tarik ulur?"
"It's not my trick, Aku hanya tidak menyukaimu."
Setidaknya itu harapanku.
"Kamu tidak akan berada di sini jika kamu tidak menyukaiku."
Aku menghela napas lelah dan memasang wajah malas, "Aku nggak bilang kalau aku nggak menyukaimu sebagai teman. Aku hanya sedang menjelaskan padamu kalau aku bukan salah satu dari wanita-wanita yang rela melepaskan bajunya untukmu. Aku nggak tertarik."
Matanya melebar sesaat sebelumnya menyemburkan tawa terbahak-bahak. "Astaga Bell. You killed me. Oke kalau gitu. Kita harus berteman, kamu nggak boleh bilang nggak untuk yang satu ini."
"Aku tidak keberatan berteman, tapi itu tidak berarti kamu harus mencoba untuk membuatku melemparkan diri ke dalam jeratmu. I'm not gonna sleep with you."
"You not gonna sleep with me, I got it." Aku mencoba untuk tak tersenyum, tapi gagal.
Matanya kembali berbinar, "kamu boleh pegang kata-kataku. Aku nggak akan merayumu untuk melepaskan pakaianmu, kecuali kamu yang menginginkannya sendiri."
Aku meletakkan sikuku di atas meja dan menopang kepalaku seperti yang dia lakukan "Dan itu tidak akan terjadi, jadi kita bisa berteman."
Seringai nakal mempertajam wajahnya saat dia membungkuk sedikit lebih dekat. "Never say never," bisiknya.
"Jadi sekarang kamu boleh menceritakan tentang dirimu?" tanyaku. "Apakah kamu sudah lama menjadi Gallean Ray si petarung handal yang di takuti. Atau kamu baru mencobanya saat kamu kuliah di sini?" untuk pertama kalinya aku melihatnya merasa malu.
"Tidak. Adam memulai pertarungan gelap itu setelah pertarungan pertamaku. Lalu dia mulai membuat komunitas, dan mencoba untuk membuat koneksi dengan komunitas lain."
Jawaban singkatnya mulai menggangguku. "Kamu terlihat nggak mau memberi tahu apapun tentang dirimu padaku."
"Apa yang ingin kamu ketahui?"
"Pertanyaan biasa yang mendasar, dari mana asalmu, apa cita-citamu. Kenapa bisa sampai merantau berdua dengan Gaffi. Dan hal-hal lain semacamnya."
"Aku lahir dan tumbuh besar di Kota ini, aku memilih tinggal bersama Gaffi karena rumah Ayahku terlalu kecil untuk di huni lima laki-laki. Ibuku sudah lama meninggal. Ayahku sudah berhenti menjadi pemabuk, dia nggak lagi tempramental. Saudara laki-lakiku juga sudah berubah." Lalu dia berhenti seketika saat suara berbisik yang ramai terdengar dari ujung ruangan. Tempat di mana beberapa mahasiswa yang juga aku kenali duduk.
Sambil menghela napas, dia menarik laci di bawah meja kami untuk mengeluarkan peralatan makanan, dan meletakkannya di hadapanya dan aku. Dia sedikit menolehkan kepala dan melirik dari balik bahunya. Rahangnya sedikit menegang saat suara tawa yang terbahak-bahak terdengar dari dua meja yang ditempati mereka. Wajah Ray jelas nampak Manahan kesal.
"Aku pikir kamu bukan dari Kota ini," kataku mencoba mengalihkan perhatiannya.
Berhasil, dia kembali menoleh ke arahku, rahangnya yang mengeras kini mengulas senyum, "Aku lahir di sini."
"Kalau gitu kenapa kamu ambil jurusan hukum, tapi mengambil kelas ekstra di manajemen bisnis?" kedua alisnya tiba-tiba mengerut terlihat bingung. "Kenapa?"
Aku mengamati tato yang menutupi lengannya. "I'm just not expect it."
"Ayahku yang memilihkan jurusan itu untukku."
"Lalu ibumu?" untuk sesaat aku menyesali pertanyaanku.
"Ibuku meninggal ketika aku masih kecil," katanya terlihat santai.
"Aku...maaf," kataku sambil menggelengkan kepala.
Dia mengangkat bahunya santai. "Nggak masalah. Aku nggak mengingatnya. Aku baru berusia tiga tahun saat ibuku pergi."
"Jadi kalian empat bersaudara? Jadi dari sana kamu belajar bertarung?"
"Bisa jadi, aku belajar bertarung untuk melindungi diriku sendiri dari mereka. Mereka sering nggak peduli lagi pada siapa yang lebih tua dan muda. Kakaku yang paling tua Rezvan, lalu ada si kembar... Radit dan Randi, lalu adikku Rajit . Aku sering menjadi korban dari si kembar. Dari merekalah aku belajar bertarung, sebagian trik yang kugunakan pada keduanya ku gunakan di RedRing. Rajit si bungsu, tubuhnya lebih kecil dariku, tapi dia cepat. Dia satu-satunya yang bisa mendaratkan pukulan padaku, sekarang."
Aku menggelengkan kepalaku, tercengang memikirkan lima orang Ray yang berkeliaran di satu rumah. "Apakah mereka semua memiliki tato?"
"Kurang lebih. Kecuali Randi. Dia seorang eksekutif iklan di Kota Metropolis."
"Dan ayahmu? Dimana dia?"
"Di Kota ini," katanya. Kemudian rahangnya kembali mengeras, kali ini wajahnya bertambah kesal. Bersamaan suara tawa yang semakin menggema dari meja yang sama.
"Apa yang mereka tertawakan?" tanyaku, menunjuk ke meja yang gaduh. Dia menggelengkan kepalanya, jelas tidak ingin berbagi. Aku menyilangkan tangan dan dan bersidekap menatap Ray, sama kesalnya dengan dirinya, sebagian karena dirinya yang nggak berbagi, sebagian kesal karena kemungkinan-kemungkinan yang mungkin sedang mereka gosipkan. "Tell me."
"Mereka menertawakanku karena harus mengajakmu makan malam dulu. It's not my thing."
"Wrong." Lalu aku berkedip bingung dengan kalimatku sendiri.
Ray mengernyit melihat ekspresiku, "Dan aku takut mereka menertawakanmu yang terlihat bersamaku dengan pakaian seperti ini, dan mereka mengira aku akan tidur denganmu," gerutuku.
"Memangnya kenapa kalau aku sedang duduk bersamamu dengan pakaianmu?"
"Apa yang kita bicarakan?" tanyaku, menahan panas yang mulai menjalar di pipiku.
"Kamu. Kenapa aku ketemu sama kamu di kelas sejarah bisnis?" Dia bertanya.
Sebuah pertanyaan pengalihan yang aneh. "Karena aku mengambil jurusan manajemen bisnis, pintar."
"Sekarang gantian, giliran kamu yang cerita. Jadi kamu bukan dari Kota ini?"
Aku menggeleng, "Aku dari Ibu Kota, Metropolis."
"Kenapa pindah? Bukannya pendidikan di sana lebih baik? semua orang berebut untuk masuk universitas di sana."
Aku mengambil gelasku, dan menenggaknya. "Aku harus lari."
"Dari apa?"
"Orangtuaku."
"Oh. Bagaimana dengan Monic? Dia punya masalah orang tua juga?" aku kembali menggelengkan kepala. Monic adalah perbandingan terbalik dari hidupku.
"Tidak, orangtuanya hebat. Secara nggak langsung mereka telah membesarkanku. Aku tumbuh besar bersama Monic. Sebenarnya, alasan lain aku pindah ke Kota ini juga untuk menyusul Monic, untuk menjaganya."
Ray kembali mengangguk. "Jadi, kenapa memilih ke Kota ini?"
"Apa sekarang kamu beralih profesi menjadi pegawai sensus. Kayaknya cocok buatmu." Aku melengos, lalu menundukan kepala sebelum kembali meraih minumanku lagi.
Saat aku mengangkat kepala, senyuman itu kembali terukir di wajahnya, Senyuman yang terlihat aneh dan asing untukku. Tatapannya kembali mengunci mataku.
"Kamu terlihat nggak nyaman," katanya.
Memang. []