Chereads / My Sweet Friend / Chapter 4 - 4

Chapter 4 - 4

Monic mengetuk pintu kamarku tepat saat angka jarum jam menunjukan pukul tujuh malam. Ini kali pertama dia menjemputku tepat waktu. Saat aku membuka pintu kamarku, wajahnya langsung meringis melihat penampilanku.

"Ya ampun Bell, lo kayak gembel."

"Great!" kataku senang, merasa bangga terhadap penampilanku sekarang.

Rambut yang digulung ke atas hingga menyerupai sanggul yang berantakan, wajahku polos tanpa makeup, tak memakai kontak lensa, dan menggantinya dengan kacamata dengan bingkai hitam dan tebal. Mengenakan t-shirt usang dan celana olahraga berwarna pudar dan di lengkapi dengan sepasang sandal jepit.

Ide itu melintas di kepalaku sore tadi, saat aku sedang berusaha mencari alasan atau cara agar kedatanganku malam ini menjadi yang pertama dan terakhir. Dan terlihat nggak menarik di mata Ray atau bahkan semua orang adalah rencana yang paling baik yang bisa aku pikirkan. Aku yakin Ray akan berbalik dan mungkin pergi atau bisa jadi dia akan langsung mengusirku sesaat setelah aku tiba. Aku mengharapkan opsi yang kedua.

Aku mengikuti Monic berjalan menuju halaman parkir, dia menghela napas saat dia memutari mobilnya menuju sisi pengemudi, sambil menggelengkan kepalanya padaku, "Kenapa nggak sekalian pakai baju robek-robek? Atau karung goni sekalian. Memang lo nggak punya baju lain?"

Aku mengangkat bahu tak peduli, "Gue, kan, hanya mau ikut lo main ke rumah Gaffi dan Ray. Bukan mau ke pesta." Aku membuka pintu penumpang, dan masuk ke dalam mobil Monic, mengabaikan bibirnya yang mencebik.

"Lo makan nasi goreng sama gue aja, dandannya nggak gini-gini amat Bell. Minimal lo wangi. Ini lo kayak belum mandi dua hari tau nggak?" aku hanya nyengir meminta maaf.

"Well, I'm not trying to impress anyone," kataku

Monic kembali mendesah dan menggelengkan kepala, "Obviously."

Lima belas menit kemudian mobil yang kami tumpangi sudah terparkir di halaman rumah yang tak besar tapi juga tak kecil. Seperti seorang anak yang takut kehilangan induknya, aku berjalan mengikuti Monic, dan berdiri tepat di belakangnya saat kami sedang menunggu seseorang membukakan pintu. Gaffi tertawa sesaat setelah membuka pintu dan melihatku, "Lo kenapa? Abis di palak preman?"

"Dia lagi pura-pura jadi gembel, biar nggak kelihatan menarik," kata Monic.

Monic langsung masuk mengikuti Gaffi ke dalam kamarnya. Meninggalkan aku berdiri sendirian di ruang tamu. Aku kembali seperti orang yang salah tempat. Aku duduk di salah satu kursi single yang di letakan paling dekat dengan pintu, setelah melepaskan sandal jepitku.

Rumah ini nggak seperti yang aku bayangkan. Elemen logam dan Kayu mendominasi ruangan dengan cat dinding berwarna abu-abu dan terakota, lantai dari parket kayu, serta Lampu dengan aksen dari tembaga dan baja. Bahkan dengan lukisan-lukisan seorang wanita yang tanpa pakaian dengan bermacam gaya, juga rambu-rambu jalanan yang di pajang menghiasi dindingnya, seolah berhasil menyempurnakan rumah bergaya industrial yang mereka huni.

Untuk tempat tinggal seorang laki-laki bujangan seperti keduanya, rumah ini kelewat rapi dibanding kamar asramaku yang baru akan diganti spreinya kalau aku ingat. Semua perabotnya terlihat bersih dan rapi, tak ada bau pengap atau asam keringat yang yang membuat mual. Aku hanya mencium wangi kopi yang menguar dari pengharum ruangan.

"Akhirnya kamu datang juga, aku kira nggak jadi datang." Suara Ray mengalihkanku dari lukisan-lukisan yang terpajang. Dia menghempaskan punggungnya pada sofa panjang yang terletak di seberangku. Daripada suaranya, aku lebih tertarik dengan panggilannya yang kerap berubah-ubah. Lo-gue atau aku-kamu.

Aku tersenyum dan mendorong kacamataku yang melorot kembali ke atas pangkal hidung, menunggunya mengomentari soal penampilanku, dan berbalik kembali ke kamarnya. "Monic baru selesai mengerjakan makalah." Tak ada kernyitan, atau tatapan mencemooh dari Ray.

Belum.

"Omong-omong soal makalah, Kamu sudah mengerjakan makalah sejarah bisnis? Belum?"

Dia terlihat tak terganggu sama sekali, dia juga tak menelusuri penampilanku dari ujung kepala sampai ke kaki, seperti yang tadi Monic lakukan. Atau minimal tetawa seperti reaksi yang Gaffi berikan.

"Sudah?" tanyaku, setelah melihatnya menganggukan kepala.

"Aku menyelesaikannya sore ini."

"Dateline nya masih Rabu depan," kataku, terkejut.

"Terus kenapa? Memangnya apa sulitnya membuat makalah tentang sejarah bisnis yang nggak sampai menghabisi dua puluh halaman itu?"

"I'm procrastinator then," jawabku santai sambil mengangkat kedua bahuku tak peduli. "Aku mungkin nggak akan mengerjakannya sampai akhir pekan nanti," tambahku.

"Hhmm… kalau kamu butuh bantuanku, let me know." Aku menunggunya menyemburkan tawa, atau menunjukan sedikit guratan yang menandakan kalau dia sedang bercanda. Tapi wajahnya tetap terlihat serius.

"Bantuan apa? Makalah punyaku?"

"Aku dapat nilai A di mata kuliah itu," katanya, nadanya sedikit terdengar jengkel.

"Dia mendapatkan nilai A di hampir semua mata kuliah, He's smart and I hate it." Sahut Gaffi yang baru saja keluar dari dalam kamar sambil menggandeng tangan Monic, berjalan mendekati kami.

Kedua alis Ray terangkat saat melihat tatapanku yang ragu, "Kenapa? Kamu nggak percaya kalau laki-laki seperti aku, bertato, dan memilih menjadi petarung gelap untuk mencari uang. Bisa mendapatkan nilai bagus? Kamu pikir kalau kuliahku berantakan?"

"Kalau begitu kenapa memilih sebagai petarung gelap? Kenapa nggak mencoba untuk mengajukan beasiswa?" tanyaku.

"Aku ikut beasiswa, tapi nggak seratus persen. Ada uang buku, biaya hidup, dan beberapa hal lain yang harus aku pikirkan. Termasuk masa depan." Lalu tubuhnya maju ke depan dan dia menatapku tepat ke mata.

"So, if you need me, if you need my help. Just tell me. Hhmm?" tambahnya.

"I don't need your help. Termasuk soal tugas makalah." Aku ingin waktu berhenti, seharusnya aku nggak berada di tempat ini. seharusnya aku sudah kembali ke kamar kosku karena berhasil membuatnya tak terkesan. Harusnya aku berbalik pulang. Tapi, sisi baru dari dirinya yang baru aku ketahui menahanku.

Tiba-tiba rasa keingintahuanku mencuat, "Kenapa nggak cari pekerjaan lain? Part time di rumah makan cepat saji misalnya. Atau sebuah pekerjaan yang not extreme."

Ray mengangkat bahunya, "Ini cara paling mudah dan paling cepat untukku menghasilkan uang yang banyak. Dan itu nggak akan aku dapatkan kalau bekerja part time di rumah makan cepat saji."

"Nggak mudah juga, kamu harus memukul dan di pukul dulu baru dapat uang."

"Kenapa? Kamu khawatir?" dia mengedipkan sebelah matanya, aku berdecak sebal sementara dia tertawa. "I'm good to this job, kalau mereka menyerang aku cukup menghindar, nggak sulit kok."

Aku tertawa sinis, "Caramu menjelaskan terdengar seperti seolah-olah semua orang bisa melakukan hal yang kamu lakukan. Kalau gitu untuk apa ada pertarungan kalau mudah dilakukan?"

"Because I'm good to this job. Memangnya kamu nggak dengar tadi?"

Aku mendengus dengan memutar mataku malas, "What are you? The karate kid? Di mana kamu belajar bertarung?"

Aku mencoba untuk menahan ekspresiku sedatar mungkin saat sudut mataku melihat Monic dan Gaffi saling bertukar pandang. Begitupun dengan Ray dia seperti tak terpengaruh wajahnya tetap datar.

"Ayahku pemabuk, dan pemarah. Ketiga saudara laki-lakiku berperilaku sama brengseknya. Aku sudah terlatih sejak kecil."

Oh, aku yakin sekarang kedua telingaku pasti memerah karena malu.

"Jangan. Jangan lihat aku dengan tatapan kasihan. Aku nggak perlu dikasihani." Aku menggigit bibirku salah tingkah, lalu sedetik kemudian helaian rambutku terjatuh dan terlepas dari ikatan. Aku reflek merapihkannya ke belakang telinga.

Untuk beberapa saat ada keheningan yang canggung mengisi kami.

"By the way… I like your style." Suara Ray kembali memecahkan keheningan, "Belum pernah ada wanita yang datang ke rumahku dengan penampilan seperti kamu."

Well finally.

"Aku datang ke sini karena terpaksa dan di paksa. Aku nggak punya waktu pergi ke salon hanya untuk membuatmu terkesan."

Dia tersenyum, manis bukan aneh, entahlah aku tak bisa mengartikan senyuman itu. Tapi matanya berbinar senang. Aku nggak tahu bagaimana cara dia membagi senyumnya dengan wanita lain, atau bagaimana cara dia menatap wanita lain untuk merayu dan mendapatkan yang dia inginkan.

Aku tak mau terpengaruh.

Tapi aku sudah terpengaruh.

"Aku sudah terkesan, kamu nggak perlu pergi ke salon. Kamu tahu? aku nggak pernah memohon pada wanita manapun untuk datang ke rumahku. Hanya kamu."

Apa itu pujian? Aku mual. "I'm pretty sure." Tanpa perlu pembuktian aku juga tahu kalau para wanita itu akan dengan senang hati melemparkan diri pada Ray. Daya tariknya memang luar biasa, tapi sayangnya aku terjebak. Penampilan dan sikapku sekarang nggak menolong sama sekali. Aku harus merubah strategi.

Monic meraih remote tv, dan menyalakannya, "Serial yang lagi gue tonton hari ini tayang. Kita nonton Netflix aja. Nggak masalah kan?"

Ray berdiri, "Gue mau cabut, mau cari makan. Kamu lapar nggak Bell?"

"Aku sudah makan," jawabku.

"Lo belum makan. Mana sempat makan orang lo tadi – " dia terdiam saat aku meliriknya tajam. "Tadi udah makan pizza, sama Kiara. Sebelum kita pergi." Aku hanya meringis, mendengar jawabannya yang nggak membantu sama sekali.

Seperti nggak mendengar Ray berjalan melintasi ruangan, dia masuk ke dalam kamar dan kembali lagi dengan jaket denim yang sudah dia kenakan lalu berjalan menuju pintu, langkahnya terhenti, lalu menoleh ke arahku. "Kenapa bengong? Ayo."

"Ayo kemana?"

"Kemana aja, kalau kamu makan pizza kita bisa ke restoran yang jual pizza."

Dia kembali berjalan ke arahku, lalu menarik tanganku dan memintaku untuk berdiri. "Aku nggak mau kemana-mana, bajuku nggak banget, aku kayak gembel." Entah kenapa aku menyesal sudah berpakaian seperti ini.

Ray tersenyum, dia membungkuk dan mendekatkan wajahnya dengan wajahku, terlalu dekat bahkan ujung hidungnya hampir menyentuh hidungku.

"You look beautifull Bell, as always," bisiknya. []