Chereads / My Sweet Friend / Chapter 3 - 3

Chapter 3 - 3

Aku dan Monic juga Gaffi berpisah setelah makan siang yang cukup gaduh, dan menuju kelas soreku. Aku melirik jam di pergelangan tanganku, sudah jam tiga, dan sinar matahari masih menyengat. Aku berjalan dengan cepat untuk menghindari sinar matahari.

Saat memasuki kelasku, aku nggak bisa merasa lebih lega, ketika aku melihat wajah-wajah asing yang berganti. Keputusan untuk pindah menyusul Monic adalah keputusan yang tepat. Kali pertama untukku berjalan ke suatu tempat tanpa mendengar bisikan-bisikan orang-orang yang tahu – atau mengira kalau mereka tahu – apapun tentang masa laluku.

Nggak ada lagi lirikan orang-orang yang ingin tahu, nggak ada lagi rumor yang berdesis, nggak ada lagi rasa belas kasihan terhadap hidupku. Yang tersisa hanya Arabella, yang kini hampir jatuh hati.

Aku meletakan tas ransel sebelum mengeluarkan laptop dari dalamnya. Saat aku berbalik Ray duduk di sampingku.

"Wah, kalau gitu gue nggak perlu mencatat. Tinggal minta lo kirim aja ke email gue kan?" katanya santai sambil mengigiti pulpen, dengan senyum yang kembali membuat jantungku berdegup.

Tapi aku menyembunyikannya dengan mengernyit dan menatapnya dengan sebal tentu, "Gue ingat kalau lo nggak pernah ikut kelas ini."

"Jadi apalagi yang lo ingat tentang gue? anyways, sekalipun gue nggak ikut kelas ini bukan berarti gue nggak bisa duduk di dalam kelas ini," katanya sambil menganggukan kepala kepada segerombolan wanita yang berjalan melintasi baris meja kami.

"Kalau gitu lo nggak akan mendapatkan email apapun dari gue," kataku sambil menyalakan laptop di hadapanku.

Ray bersandar pada kursi, tubuhnya maju ke depan mendekati wajahku. Bahkan terlalu dekat, sampai aku dapat merasakan hembusan napasnya di pipiku. "Maaf, apa gue pernah menyinggung lo? Atau dengan tanpa sengaja telah menyakiti hati lo?" aku menghela napas lalu menggelengkan kepala.

"Terus kenapa lo menghindari gue? lo selalu kelihatan jijik dan marah setiap kali melihat gue."

"Gue nggak akan menghabiskan malam di atas tempat tidur lo, berhenti merayu gue. Percuma. Gue nggak tertarik." Aku berusaha untuk menjaga suaraku tetap tenang.

Perlahan senyum terukir di wajahnya, " gue nggak pernah mengajak seorang wanita tidur di atas tempat tidur gue. Dan gue nggak berniat mengajak lo juga." Lalu kepalanya mendongak menatap langit-langit kelas.

"Masa sih? Termasuk si pirang yang tadi mengejar lo di kantin? Atau satu di antara segerombolan cewek-cewek yang baru aja lewat. Dengar Ray. Gue nggak tahu niat dan tujuan lo ikut kelas ini dan mengambil tempat duduk di samping gue, sementara banyak kursi yang masih kosong." Mataku melirik gerombolan pria yang juga baru memasuki kelas.

"Tapi apapun itu, gue nggak tertarik, gue nggak tertarik dengan gaya lo, dengan ketampanan lo, ataupun dengan tato yang memenuhi tangan dan dada lo. Jadi apapun yang sedang lo lakukan sekarang berhenti untuk mencoba menarik gue tidur bareng lo, lo sepupu Gaffi, dan gue menghormati Gaffi sebagaimana gue menghormati Monic. Don't even try, oke?"

"Oke," jawabnya santai sambil mengangkat kedua bahunya tak peduli.

Keras kepala.

"Kenapa lo nggak ikut Monic untuk datang ke rumah? Cuma nongkrong biasa gue janji nggak akan menyeret lo ke kamar untuk tidur bersama." Dia bilang janji, tapi tubuhnya tetap berusaha untuk merapat ke tubuhku.

"Then what are you doing now?" tanyaku sambil menunjuk tangannya yang sudah merangkul bahuku.

Ray tertawa terbahak-bahak. Tapi kepalanya menggeleng tanpa berusaha melepaskan tangannya dari bahuku, " datang aja, gue nggak akan merayu lo. Janji."

"I'll think about it." Aku menghela napas lelah. Lelah terhadap diriku sendiri. Don't you think about it Bella.

Bu Erni, dosen yang mengisi kelas Sejarah Bisnis, telah memasuki ruangan. Ray sudah mengalihkan perhatiannya ke depan kelas, tangannya sudah tak lagi tersampir di bahuku. Seulas senyum masih menghiasi wajahnya, membuat lubang di kedua pipinya terlihat semakin dalam. Semakin dia tersenyum, semakin aku ingin membencinya, karena senyum itu yang sejak kemarin nggak lepas dari dalam kepalaku.

Bu Erni mulai menyalakan prompter di depan ruangan, dan memulai kelasnya. Biasanya sepanjang kelas berlangsung aku nggak pernah kehilangan fokus, tapi kali ini sejak Ray meletakan tangannya di bahu gue, fokus tak lagi datang dan berteman.

"Sampai sini ada yang bisa jelasin ke saya, apa yang menjadi penyebab orang-orang malas membaca?" tanya Bu Erni di tengah kelas.

"Dia lagi menyindir seseorang," bisik Ray. "Gue tahu siapa, tapi lo nggak perlu tahu siapa."

"Ssst," kataku, mengetik setiap kata yang Bu Erni sampaikan melalui prompter.

Ray menyeringai dan bersantai di kursinya. Seiring berjalannya waktu, dia terus berganti-ganti posisi antara menguap dan bersandar di lenganku untuk melihat monitorku. Aku berusaha berkonsentrasi untuk mengabaikannya, tetapi kedekatannya dan otot-otot yang menonjol dari lengannya membuatnya sulit. Dia mengambil gelang kulit hitam di pergelangan tangannya memainkannya sepanjang waktu sampai Bu Erni membubarkan kami.

Aku bergegas keluar kelas dan menyusuri lorong. Tepat ketika aku merasa yakin bahwa aku berhasil membuat jarak dan melarikan diri dari Ray. Dia sudah kembali berdiri di sampingku.

"Jadi gimana?" dia bertanya, sambil mengenakan kacamata hitamnya.

Seorang wanita berambut cokelat dengan tubuh mungil melangkah di depan kami, wajahnya berbinar dengan mata terbelalak dan penuh harapan. "Hei, Ray." Suaranya terdengar manja, dengan jari-jari yang memainkan rambutnya.

Aku berhenti, dan mengambil langkah mundur, lalu berjalan mengitarinya. Aku pernah melihatnya, bahkan pernah mendengarnya berbicara dengan nada normal di area umum Kampus. Nada suaranya terdengar jauh lebih dewasa dari sekarang, jadi aku tahu kalau yang dia lakukan sekarang itu hanya sedang menggoda Ray.

Ray sudah kembali berdiri di sampingku dengan rokok yang sudah menyala di tangannya. Aku melirik ke belakang untuk memastikan kalau wanita tadi nggak lagi mengikutinya. "Sampai di mana kita tadi? Oh… jadi gimana?"

Aku meringis. "Gimana apanya?

"Lo mau main ke rumah nggak?"

"Kalau gue bilang iya, apa lo akan berhenti ikutin gue sekarang?" tanyaku, dengan langkah yang kembali terhenti. Kali ini aku menghadap ke arah Ray sepenuhnya.

Dia ikut berhenti, wajahnya tampak berpikir dan mempertimbangkan sesuatu. Lalu tak lama kemudian kepalanya mengangguk. "Ya."

"Kalau begitu Gue akan datang."

"Kapan?" tanyanya sekali lagi.

Aku menghela nafas. "Malam ini. Gue akan datang malam ini."

Ray tersenyum puas, dia berbalik dan berjalan mendahuluiku. Tapi kemudian langkahnya kembali terhenti, dan kembali berbalik. "Sampai ketemu nanti malam Bell." Kepalaku kini berdenyut mendengar cara Ray memanggil namaku.

Lembut.

Aku berbelok dan berjalan ke arah perpustakaan. Dan menemukan Monic bersama Feli sedang berdiri di luar perpustakan. Feli adalah temanku di beberapa kelas yang aku ikuti, bersama dengan Monic juga tentu.

"Ray? Gallean Ray? Astaga, Bell, sejak kapan lo mulai bermain dengan api?" kata Feli dengan nada yang jelas nggak setuju.

Monic menyuruput habis minuman nya, sebelum membuangnya ke tempat sampah yang terdekat dengan kami. "Semakin lo nolak Ray, dia akan semakin menjadi. Ray nggak biasa dengan penolakan. Jadi gue yakin dia nggak akan berhenti."

"Terus menurut lo gue harus apa? Tidur dengannya?" Monic mengangkat bahu. "Paling nggak lo nggak akan membuang waktu lebih, kan?" Aku menghela napas, rasanya ingin sekali aku menarik rambutnya dengan keras.

"Gue bilang sama dia kalau gue akan datang malam ini ke rumahnya." Gue melirik Monic dan Feli yang saling bertukar pandang.

"Kenapa? Dia berjanji untuk berhenti mengganggu, kalau gue bilang ya. Dan gue akan pergi ke sana bareng lo nanti malam." Gue menunjuk Monic dengan dagu.

Dia mengangguk gugup, wajahnya masih nampak terkejut. "Lo…. Beneran mau datang?"

Aku tersenyum dan berjalan melewati mereka masuk ke dalam perpustakan, bertanya-tanya apakah Ray akan menepati janjinya untuk berhenti mencoba merayuku. Dia tidak sulit untuk ditebak, aku tahu dia melihatku sebagai tantangan, atau untuk memastikan kalau aku cukup tidak menarik untuk menjadi teman yang baik. Aku nggak yakin yang mana.

Tapi aku yakin kalau keduanya mengganggu pikiranku sekarang. []