"Apa kau mulai mengkhianatiku, Seon?" Introgasi Regan.
Pria itu menatap sang asisten yang tengah berdiri tidak jauh darinya. Hati Regan merasa dikhianati karena Seon mengatakan hal yang tidak ingin diketahui oleh sang Ibu. Sangat jelas dari raut wajah yang ia tunjukan pada sang asisten.
"Aku tidak mengkhianatimu. Aku hanya mengatakan kebenaran, itu saja."
Regan berkacak pinggang, napas yang ia hembuskan terasa berat mengartikan ia tengah kesal.
"Huh! Kau … sekarang aku harus bagaimana?"
"Ya, cari wanita dan kenalkan pada Nyonya."
"Huh! Sepertinya kau benar-benar ingin mati, ya?"
Seon mengatupkan mulutnya hingga membuat suara kretekan. "Sepertinya Uganda lebih baik daripada kau mengirimku ke neraka."
Regan mengerutkan keningnya sesaat kemudian dia tertawa diikuti oleh senyum Seon. "Aku cukup mengenalkannya saja, bukan? Bukan berarti aku harus menikahinya. Hm, kau harus mencari seorang wanita yang bisa kuajak bertemu Mama. Dan ingat, bukan wanita penggila uang. Pastikan itu."
Seon menganggukan kepalanya. Ia tahu jika Regan tidak ingin kejadian yang sama terulang, semuanya menginginkan fasilitas yang ia inginkan, tidak sedikit memilih untuk mengancam bahkan berpura-pura hamil, hal itu sangat membuat Seon kesulitan untuk menyingkirkan para wanita-wanita itu.
"Apa aku punya jadwal lagi?" tanya Regan sambil meletakan ponselnya di atas meja.
Seon begitu sigap melihat tab di tangannya dan memeriksa, sesaat kemudian ia menggelengkan kepala.
"Tidak. Semua meeting telah dibatalkan tadi."
"Siapa yang membatalkan. Kurang ajar sekali mereka," geram Regan meregangkan dasi miliknya.
"Kau yang membatalkannya," jelas Seon membuat Regan melihat ke arah sang asisten dengan tatapan bingung.
"Aku? Kapan?" tanyanya.
Helaan napas pendek terdengar kemudian disusul dengan jawaban Seon.
"Akh. Ternyata aku yang membatalkannya." Ekspresi tak bersalah yang diperlihatkan Regan membuat Seon mengepal sebelah tangannya, tidak ada permintaan maaf tetapi hanya ada rasa bodo amat yang ditunjukan oleh atasannya itu. "Jika begitu, aku punya acara untuk makan malam dengan Mama. Siapkan semuanya, aku ingin yang terbaik."
Regan terlihat sangat antusias, ia ingin menyediakan makan malam bersama dengan sang Ibu karena telah lama tidak bertemu.
"Hm. Tidak biasanya Mama akan datang ke Indonesia, apa ada sesuatu terjadi?" batinnya sambil mengetuk-ngetuk meja kerjanya.
Sayangnya, hal itu tidak bertahan lama saat kelebatan foto Aam yang dilihatnya tadi tiba-tiba mengganggu.
"Sial. Kenapa aku tiba-tiba memikirkan wanita itu," umpatnya sambil melihat ponselnya.
Terlihat foto Anna yang saat ini tengah duduk sambil tertawa. Foto beberapa tahun yang lalu. "Lihat saja, akan kubuat kau bertekuk lutut di hadapanku." Regan tersenyum sambil mengelus lembut layar ponselnya seakan ia tengah mengelus pipi Anna. "Akan kupastikan itu terjadi." Regan lagi-lagi menegaskan jika ia mampu membuat Anna jatuh hati padanya.
Ddrrr …
Sebuah deringan ponsel membuat Regan mendengkus karena kesal.
"Apa kau menemukannya?" tanya Regan saat ia mengangkat panggilan telepon.
"Tentu. Apa yang tidak bisa kutemukan, lagi pula apa yang kau minta berada di dalam wilayahku, hal seperti ini sangat kecil tapi kau tahu kan—"
"Katakan apa yang kau temukan."
"Eits. Sabar dong, aku tebak. Apa kelebihan wanita ini? kenapa kau begitu penasaran tentangnya? Bahkan kau mencari tahu hal kecil seperti ini."
"Aku tidak berniat bercanda denganmu. Katakan dia tinggal di lantai berapa."
"Dia tinggal di lantai bawah penthouse milikmu, sepertinya dia cukup lama di Indonesia," jelas pria di seberang telpon sambil melihat tab miliknya.
"Oke. Thanks."
"Huh?! Kau bercanda? Kau tidak akan mentraktirku minum?"
"Tidak. Terima kasih." Regan Ramayang seketika menutup telponnya.
Seon yang baru saja masuk menatap Regan dengan bingung. "Aku sudah mempersiapkan malam bersama Nyonya."
"Thanks." Regan Ramayang segera menelpon sang Ibu karena begitu bahagia akan makan malam bersama dengan ibunya. "Hallo, Ma. Aku sudah menyiapkan makan malam. Aku akan meminta Seon menjemputmu, berdandanlah dengan sangat cantik."
"Makan malam?"
"Ya! Aku tadi meminta Seon untuk menyiapkannya. Kita berdua sudah lama tidak makan malam."
"Baiklah. Mama akan beristirahat terlebih dulu."
Regan langsung mematikan ponselnya, dan kembali mengecek dokumen yang telah disediakan oleh Seon beberapa saat lalu untuk diperiksa olehnya. Dokumen-dokumen tersebut cukup membuatnya memijat kepala, karena cukup banyak.
Ia tidak tahu, jika ia mendapatkan tumpukan dokumen hanya dalam sekejap saja. "Aku harus menyelesaikannya sebelum makan malam," batinnya sambil memijat tengkuk leher yang terasa tegang.
Satu persatu dokumen dibaca olehnya.
Ranjang berukuran big size, tubuh Anna tengah terbaring sambil membaca beberapa artikel yang telah diberikan oleh Kavin padanya. Serta beberapa dokumen yang perlu dia tanda tangani. Kegiatannya harus terhenti, saat ponselnya berdering menampilkan nama Naura.
"Ya, ada apa, Na?" Ciri khas seorang Anna saat mengangkat panggilan dari Naura. Beberapa saat tidak terdengar suara di seberang telpon membuat Anna mengerutkan keningnya. Ia mengecek layar ponsel melihat jika dia masih terhubung dengan Naura. "Na, ada apa? Cepat katakan!" Anna mencoba tegas.
"I-itu—"
"Itu apa? Kalau bicara jangan setengah-setengah. Aku tidak suka, ya, kau selalu menggantung perkataan seperti itu."
"I-itu-mereka membatalkan pesanan kita."
"Pesanan? Apa kita memesan sesuatu?" tanya Anna sambil mencoba mengingat apa yang dia pesan hingga Naura menghubunginya memberitahukan jika pesanannya dibatalkan.
"Menyewa satu untuk makan malam." Naura akhirnya bisa lega mengatakan apa yang tengah mengganjal sejak tadi. Walaupun, ia tahu jika Anna tidak akan marah padanya.
Sejak Anna terdiam. "Apa? Kok bisa?" suara Anna terdengar begitu kesal setelah Naura mengatakan apa yang terjadi. "Bukankah sudah memesannya sebulan sebelum kita datang? Kenapa mereka membatalkannya begitu saja."
Naura menghela napas pelan. "S-seseorang telah membatalkannya."
"Siapa? Siapa yang berani membatalkannya?" tanya Anna dengan nada sedikit marah.
"Pemilik restoran! Dia ingin memakainya untuk kepentingan pribadi."
Mendengar hal itu membuat Anna sedikit kesal, ia tidak percaya seseorang tidak profesional seperti itu dalam bekerja. Begitu seenaknya tiba-tiba membatalkan pesanan yang telah dipesan sebulan yang lalu.
"Telpon resepsionisnya. Katakan, mereka harus bersikap profesional pada tamu. Jika mereka masih keukeuh tetap memakainya, buat artikel yang membahas jika restoran tersebut tidak profesional pada pelanggan. Berikan review jelek dengan pelayanan mereka."
"T-tapi …."
"Lakukan saja, Naura."
Mendengar semua yang dikatakan oleh Anna padanya, ia tidak bisa membantah apapun. Anna bahkan menutup telepon secara sepihak membuat Nuara lagi-lagi menghela napas.
"Sialan. Lebih baik tutup saja sekalian, jika seenak jidat membatalkan pesanan pelanggan. Tidak professional. Jika bukan restoran yang menyediakan seluruh masakan yang aku ingin cicipi, aku tidak akan memesannya apalagi mengetahui pelayanan yang mereka lakukan, sangat-sangat tidak baik." Anna begitu emosi, ia bahkan beberapa kali menyumpah-serapahi pemilik restoran tersebut. "Lihat saja, apa yang bisa aku lakukan."