Mata Anna menatap pria yang berada di hadapannya penuh dengan kebencian. Tidak akan pernah berkurang, melainkan bertambah setiap detiknya. Tangannya dikepal begitu erat, agar meredam emosi yang saat ini dirasakan saat melihat pria di hadapannya itu.
Anna segera berlalu tetapi pergelangan tangannya ditahan oleh Hans. Ia ingin segera pergi dari sana.
"Lepaskan—"
"Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau menjelaskan alasan kenapa kau melakukannya."
Hans menatap tajam ke arah Anna, ia menuntup jawaban dari wanita di hadapannya. Setelah 5 tahun, akhirnya mereka bertemu dan keadaan terasa begitu canggung.
"Lepaskan!" tegas Anna sambil menghempaskan tangannya, agar terlepas dari cengkereman tangan Hans. "Tidak ada yang perlu dijelaskan," seru Anna dengan nada tegas.
Anna bergegas beranjak pergi dari sana, meninggalkan Hans lagi-lagi dia dicegat oleh pria itu.
"Apa maumu? Apa yang kau inginkan?" tanya Anna. "Kau ingin aku menjelaskan apa yang terjadi? Aku sudah mengatakannya padamu, tapi apa yang aku dapat? Ketidakpercayaan, dan juga penghinaan dari keluargamu," tegas Anna membuat Hans terdiam. "Dan sekarang kau menuntutku untuk menjelaskan semuanya? Persetan dengan itu," ucap Anna.
Hans tidak bisa berkata-kata, ia terdiam! Ia bahkan tidak tahu, jika Anna telah pergi dari hadapannya, telah jauh sulit untuk mengejar wanita itu. Mematung, ia hanya bisa terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh wanita yang masih berada di hatinya.
"Aargh!" teriak Hans sambil menendang apapun yang ada di sana, ia begitu frustasi.
Anna yang sudah berada di dalam mobil segera beranjak pergi dari sana, ia tidak bisa membiarkan dirinya diikuti oleh Hans. Stir mobil, digenggamnya dengan erat, rasa amarah bercampur jadi satu. Anna segera memarkirkan mobil di pinggir jalan.
"Aarggh! Sialan. Kenapa bertemu dengan pria brengsek itu," umpat Anna sambil memukul setir mobil. Ia tidak bisa menahan lagi, kekesalan. "Harusnya aku tidak datang ke tempat sialan itu. Apa yang aku pikirkan, kenapa datang ke tempat itu," umpat Anna.
Ia terus mengumpat tentang dirinya yang begitu bodoh. Anna berusaha untuk mengontrol dirinya yang telah diliputi oleh amarah, ia tidak bisa membiarkan emosi membuatnya menjadi kehilangan kendali.
Kaca mobil diturunkan membuatnya terkejut, sekelilingnya begitu gelap, ia tidak menyadari hari telah gelap membuatnya segera menghidupkan mobil dan pergi dari sana.
Di dalam mobil, ia masih terus menerus memikirkan pertemuannya dengan mantan kekasihnya. Ia tidak pernah membayangkan, pertemuannya dengan pria itu.
"Sialan, kau Hans. Kau bertanya kenapa aku melakukannya? Otakmu selama ini, kau taruh di mana? Apa setelah menikah dengan wanita itu, kau jadi tambah bodoh," umpat Anna. "Apa yang kulakukan? Kenapa aku malah memikirkan pria brengsek itu?" umpat Anna sambil mengelengkan kepala.
Deringan ponsel membuatnya pikirannya teralihkan. Ia segera mengambil earphone miliknya dan mengangkat telpon yang masuk.
"Ya, Naura," seru Anna saat mengangkat telpon.
"Kau di mana? Kenapa tidak mengangkat telponku? Ini sudah jam berapa, kenapa belum juga kembali?" tanya wanita di seberang sana, membuat Anna tersenyum kecil.
Ia sangat menyukai Naura, wanita yang umurnya jauh di bawahnya. Naura seperti kucing terlihat begitu mengemaskan baginya, tetapi ia adalah gadis yang telah menemaninya beberapa tahun terakhir. Walaupun Nuara sering mengomelinya, tetapi gadis itu hanya memikirkan kondisi Anna.
"Kenapa kau hanya diam?" tanya Naura yang tidak mendengar jawaban dari Anna.
"Kau tidak perlu menungguku," jawab Anna.
"Tidak perlu menunggumu? Apa yang kau katakan? Apa kau tahu, ini jam berapa jika terjadi sesuatu bagaimana? Ini bukan Seoul, kau tidak bisa seenaknya pergi," omel wanita di seberang sana. Namun, panggilannya ditutup oleh Anna membuatnya mengomel.
Anna mengebrak meja saat Anna mematikan panggilan secara sepihak membuat pria di hadapannya terkejut.
"Apa yang terjadi?" tanya Kavin melihat raut wajah Naura yang begitu kesal.
"Kenapa dia selalu begitu, selalu saja mematikan telpon secara tiba-tiba. Aku belum selesai bicara." Naura begitu kesal.
Kavin hanya bisa menghela napas pelan, ia tidak ingin ikut campur.
"Sebaiknya kau kurangi sikapmu seperti itu, dia bukan anak kecil. Dia tahu jalan pulang, dan juga dia sudah dewasa, dia bahkan membesarkanmu lima tahun ini," ucap Kavin, akhirnya ia membuka suara, membuat Naura menatap tajam ke arahnya.
Daripada memikirkan tentang wanita di hadapannya, Kavin memilih untuk focus dengan berkas yang ada di sampingnya.
Tok … tok … tok …
Sebuah ketukan membuatnya melihat kea rah pintu, memperlihatkan sang asisten berada di sana.
"CEO perusahaan Yvhan, ingin makan malam bersama kita," ucap asisten Kavin membuatnya mengerutkan kening.
Bolpoin yang berada di tangannya di letakan di atas meja. "Apa yang kau katakan barusan?" tanya Kavin mencoba untuk meyakinkan apa yang dikatakan oleh sang asisten, jika dia tidak salah dengar.
"Regan Ramayang, CEO perusahaan Yvhan mengundang untuk makan malam," ucap sang asisten mencoba untuk menegaskan apa yang dikatakannya sebelumnya.
"Regan Ramayang?" tanya Naura melihat ke arah Kavin.
"Kau tidak salah? Apa pria itu benar-benar mengundangku makan malam?" tanya Kavin mengukir senyumnya. Ia mengenal bagaimana pria itu, ia sangat sulit untuk bertemu dan kini pria itu mengundangnya makan malam hal itu sangat tidak masuk akal.
"Dia ingin meminta maaf, tentang pembatalan—" Perkataan asisten Kavin terhenti karena atasannya seketika tertawa membuat Naura yang berada di sana, terkejut.
"Jadi ini masalah artikel yang membuat harga saham mereka turun, ia pasti ingin tahu bagaimana bisa saham perusahaannya tiba-tiba turun," seru Kavin menyandarkan tubuhnya di kursi.
Pria itu tertawa membuat sang asisten mengerutkan keningnya. Ia bahkan tidak tahu apa yang dipikirkan oleh sang bos.
"Pak …" panggil assisten membuat Kavin menghentikan tawanya sejenak.
"Ah, terima saja undangan makan malam itu," ucap Kavin membuat Naura terkejut, ia tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh pria itu.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menerima undangan makan malam itu, jangan berbuat seenaknya apalagi Anna tidak ada," ucap Naura membuat pria di hadapannya mengerutkan kening.
"Apa maksudmu? Kau ingin mengatakan jika aku melewati batasanku?" tanya Kavin dengan nada sedikit tinggi.
"Ya," jawab Naura membuat Kavin melonggarkan dasi miliknya.
"Dengar, ya, Naura. Di sini, aku yang membuat keputusan saat Presdir Anna tidak ada di sini. Aku telah dipercaya untuk mengelola perusahaan ini, jadi keputusan yang kuambil adalah hakku," tegas Kavin.
"Tapi—"
"Kau tidak memiliki hak untuk melarangku," ucap Kavin kembali menegaskan perkataannya itu.
Naura terdiam, pria di hadapannya adalah pria yang telah dipercaya oleh Anna untuk mengelola perusahaan cabang, benar apa yang dikatakan Kavin, dirinya tidak berhak untuk ikut campur.