Kesal tidak bisa mendengar apa yang Mas Fathan bicarakan aku memutuskan menghubungi Irma. Pesanku tidak dibalas.
*
Hari ini aku berkunjung ke kontrakan Irma. Di mana gadis itu. Kontrakannya terlihat sepi. Beberapa kali mengetuk pintu, tidak ada sahutan dari dalam. Mungkin dia sedang keluar.
Aku melihat seorang ibu di halaman rumah samping. Tetangga Irma.
(Irma, kamu di mana?) Aku mengirim pesan.
(Di rumah, Kak) jawab Irma. Tentu saja aku tahu dia berbohong. Karena aku kini berada di depan kontrakannya.
(Jujur, atau Kakak bilang kamu sama Tante Sena)
Hening. Pesan yang kukirim pada Irma hanya cek list biru. Sudah dibaca tapi tidak dibalas.
"Numpang tanya, Dik. Irma ke mana, ya?" tanyaku pada perempuan remaja yang tengah menyiram bunga, tetangga Irma.
"Oh, Kak Irma. Tadi naik ojol kuning kayaknya, Bu. Kalau ngak salah megang-megang perut gitu, baru aja pergi. Tergesa-gesa. Sakit--mungkin."
"Siapa, Nda?" Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam. Sepertinya ibu si remaja ini.
"Ini, Mah. Cari Kak Irma," jawabnya. Ibu anak itu menghampiri.
"Oh, Irma. Tadi dia sakit. Saya sempat liat ke sebelah. Tadi saya saranin ke dokter dekat sini aja. Dokter Suryo. Coba Nda antarin si Ibu ke praktek Dokter Suryo. Siapa tau Irma di sana. Ngak coba chat atau telpon, Bu. Ibu siapanya Irma, ya?" Celotehan emak ini sedikit rempong, tapi melambangkan keperdulian. Aku suka tipe emak-emak begini.
"Saya Tantenya, Bu. Satu kampung dengan Irma. Hapenya Irma ngak diangkat. Mungkin sibuk," jawabku sengaja tidak mengatakan kalau Irma sebenarnya sudah membaca pesan tapi tidak membalas.
Ada apa dengan gadis itu?
"Ya, udah Nda, Antarin gih! Kasian si Ibu. Siapa tau Irmanya kenapa-napa kita malah ngak tau."
Aku dan anak remaja itu menuju praktek dokter yang dimaksud.
Ini dokter kandungan. Mengapa Irma ada di sini.
"Kak Nay." Irma gelagapan melihatku datang. Ia duduk sendiri di ruang tunggu.
"Kamu ngapain periksa ke dokter kandungan. Resign mendadak. Telpon ngak diangkat, sekarang ... kamu sedang tidak membuat Tante Sena malu kan Irma?" berondongku mencecar Irma.
Gadis itu diam menunduk saja. Wajahnya pucat.
"Aduh." Irma meringis memegang perutnya. Ia tampak seperti orang yang hendak pingsan. Aku kaget. Satu orang perawat baru datang langsung memegangi Irma.
"Bawa masuk, Bu," saran perawat.
Akhirnya aku dan perawat itu membawa Irma masuk ke ruang praktek. Padahal masih ada pasien di dalamnya.
Setelah nyeri yang dirasakan Irma sedikit reda, aku meminta dokter untuk membawanya ke rumah sakit langganan keluargaku.
Irma menolak dengan berbagai alasan. Tapi dokter menyarankan bahkan memberi surat rujukan. Bagaimana mungkin Irma mual-mual bahkan muntah. Tensinya ngedrop.
Dokter Spesialis langgananku sangat kuyakin dapat memecahkan teka-teki semua ini. Sampai di tempat, dokter langsung cek keadaan tensi dan suhu tubuh Irma
Sesekali aku menangkap pandangan kosong dari tatap mata indahnya.
Gadis yang dulu ceria kenapa kini seolah seperti mayat hidup saja, seperti tengah menghadapi misteri kematian mendadak seseorang pada sebuah gedung tua.
Begitulah yang kurasakan dari sorot mata gadis ini. Gadis? Apakah dia hamil. Seperti pikiranku. Atau ada sesuatu yang sedang dialaminya yang tidak kuketahui. Kalau dia hamil, otomatis tidak gadis lagi.
Irma masih bungkam, sementara aku dibuat penasaran apa yang sedang terjadi padanya.
"Tidurlah!" perintahku pada Irma yang terlihat tak berdaya. Kaki mungil miliknya kunaikkan ke atas bantal panjang ranjang pasien.
Ia hanya mengangguk pasrah. Meraih bantal yang sengaja kubeli online dekat dari rumah, langsung diantar menuju rumah sakit, masih terlihat jelas bibir dan wajah yang pucat, pandangan pasrah pada apa yang ia derita.
Ada apa dengan Irma?
Setelah kuperbaiki letak bantal di posisi nyaman. Aku kembali ke ruang dokter, sengaja tak membawanya ke dokter umum.
Dokter spesialis penyakit dalam lulusan Universitas bergengsi di Jerman, bertugas pada sebuah rumah sakit ternama. Kebetulan kenal akrab denganku. Aku dan dokter Meri kerap satu pengajian di sebuah organisasi kemasyarakatan.
Dulu, dokter tersebut kawan dekat mama ketika masih kecil. selain mengambil spesialis penyakit dalam, Ia juga pernah mangkal menjadi mahasiswi psikologi, sedikit banyak pasti mengetahui apa yang tengah dialami oleh Irma. Untuk itu ia kubawa kemari.
"Bagaiamana kondisinya, Mom?" tanyaku tak sabaran.
"Kita sudah melakukan yang terbaik Nay, bagian radiologi sebentar lagi akan menjawab kondisinya pada kita," jawab dokter Meru yang akrab kupanggil Mom.
"Ada sedikit yang ingin saya sampaikan sama kamu, Nay." Mimik serius mengunci mataku pada wajah dokter Meri.
"Suaminya dimana?" tanya dokter Meri mengecilkan suaranya walau tak ada manusia di ruangan ini kecuali aku dan dia. Irma berada di ruang inap. Jelas tak akan bisa mendengar apa yang kami bicarakan.
"Suaminya? Maksud Mommy?"
"Suaminya ke mana?"
"Dia gadis, Mom."
"Apa dia gadis? Tapi dia hamil."
"Apa?" Kali ini aku yang kaget luar biasa. Walau sudah memprediksi sebelumnya, tetap saja aku menahan napas sejenak mendengar berita yang dokter Meri sampaikan.
"Dia mengalami trauma," bisik dokter Meri.
"Tapi bicaranya normal saja, Mom. Tidak seperti dalam pengaruh traumatik."
"Kamu hanya perlu memancing kalimat dari mulutnya, selebihnya ia akan mengutarakan sendiri isi hatinya, cobalah peluk pelan-pelan, Jangan menjudge. Lindungi dia. Bisa jadi ia korban pemerkosaan, menurut kamu dia bicara normal. Justru dengan bicara normal kita tidak bisa tau apa sebenarnya yang terjadi padanya." Lanjut dokter Meri menjelaskan.
"Maaf mom, apakah berpura-pura normal ada hubungannya dengan kehamilannya?" tanyaku penasaran.
"Tentu saja," jawabnya menambah teka-teki di kepalaku.
"Dengan siapa Irma berhubungan akhir-akhir ini. Cobalah cek. Jangan sampai kecolongan. Kasian psikologis--nya."
Aku mengumpulkan keterangan dokter Meri. Kemudian masuk ke dalam ruang rawat inap. Kata dokter Meri Irma tidak perlu dirawat. Besok pagi sudah bisa keluar. Psikiater akan datang ke rumahnya saja.
Berjalan menuju tempat Irma berbaring. Kutatap lekat wajah lugu itu. Ia tengah chatingan denagan seseorang. Siapa?
Apa aku harus menelpon Gebi? Aku pusing memikirkan ini semua.
Tidak sadar aku sudah berada di belakangnya.
(Saya janji, Pak.)
Hanya sebatas itu chat yang terbaca.
Sebentar. Pak?
Degg.
Mas ... Fathan?
Irma chatingan dengan Mas Fathan. Apa-apaan ini?
Astaghfirullah.
Kutatap lekat layar pipih yang berada di tangannya. Benar! Itu nomor Mas Fathan suamiku. Tentu saja aku sangat hafal.
Apa yang terjadi tuhan? Apa Mas Fathan menghamili Irma.
"Mas Fathan?"
Lisanku lepas mengucapkan nama itu. Irma menoleh, refleks menyembunyikan benda ajaib yang berhasil membuat dia gelagapan, wajahnya berubah ketakutan.
Irma, ada apa denganmu? Katakan!
Tidakkah kau ingin berbagi? Kutatap lekat manik matanya. Mencari celah apa yang disembunyikan wanita ini.
"Apa suamiku mengancammu?" tanyaku spontan.
Irma hanya menunduk lalu menggeleng.
Aku meringis kecewa, meninggalkan Irma terpaku lama menyadari ada yang salah atas perbuatannya.
"Kak Nay. Ma-maaf, e-tadi Pak Fathan ha-ha hanya menanyakan kondisi Irma pasca resign."
"Aku tidak menyuruh kamu menjelaskan," jawabku santai. Walau sebenarnya kepalaku mendadak dingin dan jantungku berdetak tak karuan.
"Geb, ke rumah sekarang. Ada yang urgen aku bicarakan? Plis."
"Riez rewelkah?"
"Bukan, ini tentang suamiku dan OG bernama Irma."
"Siap. Aku meluncur sekarang."
Ponsel yang terbuka dari casingnya kututup gegas. Melirik Irma tajam.
"Kita ke rumahku sekarang!" perintahku berkacak pinggang.
"Malik kamu segera ke rumah sakit ...."
Menelpon Malik dengan tergesa, agar Irma tidak bisa kabur di jalan. Sekalian meminta penjelasan pada Malik tentang Irma selama ini. Dia kepala OG dan OB di perusahaan. Pasti mengetahui semuanya.
Aku menutup kembali ponsel. Menunggu kedatangan Malik.