"Kamu kan tau, Sayang. Aku tidak akan menceraikan Naysila."
Degg.
Apa katanya. "Sayang"
Sebenarnya siapa selingkuhan suamiku. Si Nenek lampir Nola atau Irma--Perempuan lugu yang kubawa dari kampung ibu. Tapi, rekaman ini jelas menggambarkan Nola dan Mas Fathan punya hubungan. Aku yakin ada sesuatu antara Irma-Nola dan Fathan. Apakah kehamilan Irma ada hubungannya dengan mereka berdua. Sudah pasti jawabannya--ya. Tapi apa?
Jangan-jangan yang memperkosa Irma orang yang Fathan kenal atau Nola kenal. atau keduanya saling mengenal.
Fix.
Aku benci. Rasa yang selama ini kupertahankan. Luka yang pernah Bambang torehkan kembali terkuak pedih. Nanah itu sudah mengering lalu basah kembali. Dulu Bambang hanya seorang pacar. Berkhianat tidak separah benci yang kurasa saat ini.
Benci sekaligus jijik dengan suamiku sendiri.
Sakit, Tuhan!
Apa selama ini aku belum mengenal sepenuhnya suamiku? Mengapa cinta mempermainkan. Pacaran dengan Bambang aku begitu setia. Ia selingkuh dengan teman kerjaku sendiri. Bahkan saling menyentuh di depan mata ini.
Fathan datang dengan pesonanya membalut luka. Aku terperdaya. Tuhan ... ini sakit!
Acap kulihat Fathan sholat di mushola pada lantai dasar berseberangan dengan ruang kerjaku. Membuat aku menganggap dia sosok sholeh yang religius. Aku jadi teringat Karin. Teman seprofesi, kami akrab satu tim bagian akunting. Dia yang mendukungku memilih Mas Fathan, Karin jualah yang mengatakan lelaki itu baik dan religius.
Daripada memilih Bambang meskipun kaya tapi penjahat wanita. Di mana Karin sekarang? Setelah mendapat pelecehan dari Bambang yang dulu kuanggap sempurna gadis itu resign dari tempat kerja. Aku dan Bambang putus hingga kini tidak lagi pernah berkomunikasi.
Ternyata sekarang Mas Fathan dan Bambang sama saja, tidak lebih dari penjahat wanita.
Menyebutnya dengan Mas pun kini aku enggan. Fathan ... kau jahat!
"Bukan cuma tidak akan, Sayang. Tapi tidak bisa. Aku tidak bisa menceraikan, Naysila."
"Kenapa tidak bisa? Bukankah kamu bilang aku wanita yang paling kamu cinta?"
"Dia mau ke mana kalau aku ceraikan. Kamu tau, kan, dia hanya anak yatim piatu, yang disekolahkan oleh orangtua asuh, donatur tetap panti tempat dia tinggal dulu."
"Itu artinya kamu mencintai dia."
"Tidak, Sayang. Aku menikahi Naysila karena perjanjian yang sudah kami sepakati dengan Bambang."
Innalilahi ... apa katanya? Perjanjian.
Bambang?
Aku dibuat sebagai notes sebuah perjanjian. Apa maksud semua ini.
Menggigit bibir. Perih. Ini lebih dari sakit yang kutanggung saat putus dari Bambang. Lebih sakit dari bullian kalimat anak yang tak punya orangtua. Lebih pedih dari kalimat apapun itu.
Aku meringis. Menahan hati mendengar lanjutan rekaman itu.
"Perutku akan terus membesar, aku tidak mau anak ini lahir tanpa ayah. Papi sudah sangat percaya kalau si biang kerok itu yang menghamiliku. Kamu tau, Mas. Laki-laki pengacau itu diusir Papi dari rumah. Aku sama mama bahagia banget. Akhirnya aku bakal jadi pewaris tunggal kekayaan Papi."
"Kamu memang hebat, Sayang. Hmmmp ...."
Entah apa kalimat selanjutnya. Hanya terdengar bisik-bisikan yang tidak jelas. Apa keheningan suara dari rekaman android pintar Neha sedang menunjukkan tingkah mereka yang lain di belakang layar.
Memijit pelipis, tenggorakan cekat, sebongkah batu rasa menyumbat aliran kerongkonganku. Sesak sekali.
Kali ini Gebi benar. Aku sepertinya belum jatuh cinta terlalu jauh pada suamiku sendiri. Sakit? Tentu saja. Berbuat anarkis bukan tipe Naysila. Apalagi cara Fathan mendapatkanku dulu, mendekat kecewa ditinggal Bambang. Aku menerimanya agar segera move on dari Bambang.
Tapi, pengkhianatan tetaplah menimbulkan kekecewaan tersendiri, kekecewaan yang amat sangat menyakitkan. Padahal, usai pernikahan kami masih sebatas usia pertumbuhan jagung.
Apa maksud Fathan mengatakan tidak bisa dan menyangkut pautkan Bambang dalam hal ini? Kami tidak memiliki anak. Seharusnya memudahkan ia menceraikanku. Apakah rumahtangga yang kubangun suatu kompromi kesepakatan.
"Nay, pliss percaya sama aku. Bertahun-tahun pacaran kamu belum kenal karakterku, Nay. Aku ngak selingkuh. Apalagi cuma sama Karin. Jelas ngak sebanding dengan harus melepaskan kamu. Plisss ... Aku mohon, percayalah!"
"Pengkhianatan adalah hal yang paling aku benci Bapak Sultan Bambang yang terhormat. Apa karena aku tidak suka kau jamah sebelum kau halalkan lalu kau melampiaskan napsumu pada teman seprofesiku?" tanyaku lantang di depan beberapa karyawan.
Bambang terbelalak--malu. Aku menunjuk mukanya sambil menendang angin tepat di depannya dengan sepatu high heels pemberian darinya juga. Karin hanya menunduk. Cih! Sama-sama munafik.
Mengucapkan kalimat itu aku mengumpulkan oksigen begitu banyak di dada agar napas ini keluar tanpa hambatan. Sejak kejadian itu. Aku tidak pernah lagi menemui Bambang. Lebih tepatnya tidak pernah bertemu dengannya.
Sampai detik telingaku mendengar hasil rekaman Neha. Artinya selama ini pernikahanku dengan Fathan ada sesuatu keganjilan.
'Notes Kesepakatan'
Nauzubillah.
Kalau mereka, si Nola lampir dan Fathan saling mencintai. Mengapa Fathan harus mempertahankan hubungan denganku, tidak ada feedback alias tidak saling mencintai.
Astaghfirullah. Aku mengusap dada.
Tega sekali mereka. Jangan-jangan dia bukan hanya berhubungan dengan Nola si nenek lampir. Tapi juga telah memperkosa Irma. Bisa saja, bukan?
Penjahat wanita berbalut sikap baik, bertopeng rajin ibadah padahal hanya kamuflase alias pencitraan semata. Sungguh ia lantas jadi presiden saja, atau elite politik yang aku malas membahas kehidupannya. Ini sangat menyakitkan.
Sebentar!
Tidak mungkin Mas Fathan yang memperkosa Irma. Kalau iya, pasti nenek lampir itu sudah hoyong tujuh keliling.
Artinya Irma diperkosa laki-laki lain yang ada hubungannya dengan Fathan dan Nola. Kalau tidak, mana mungkin mereka berdua peduli pada gadis itu, sampai harus dibawa ke hotel agar tidak bisa kutemui.
Misterius sekali. ck ... ck.
Dadaku bergemuruh hebat. Aku meremas bilik jantung. Napas sesak rasanya. Awas kamu, Fathan! Kau belum kenal siapa Naysila.
Sekarang, PR-ku begitu banyak. Aku telanjur mengadopsi baby Riez. Irma hamil, Tante Sena pasti kecewa berat denganku, dan kini Fathan selingkuh dengan sekretarisnya yang mirip dengan kuntilanak lagi kehilangan anak.
"Mbak ngak papa?" Neha menggenggam tanganku. Tatapan empat mata di depan sendu dan penuh rasa iba padaku. Andai Gebi di sini. Apa aku menelpon dia saja. Tapi, Malik melarang. Malik ada benarnya juga. Jika sosok baik seperti Fathan bisa berbuat seperti itu.
Apa aku harus mempercayai Gebi yang hanya seorang teman. Walau persentase khianat tidak mungkin ada di diri Gebi. Jikapun ada aku beri hanya nol sekian persen. Tapi, aku harus jalani ini sendiri. Terkadang safety pada diri itu satu keharusan. Dengan tidak melibatkan Gebi mungkin lebih baik.
Bismillah.
Akan kuselidiki siapa suamiku?
Tenang, Fathan! Akan kubuka topengmu. Jika di balik topeng itu ada manusia bermuka Gorilla.
"Sakit banget ya, Mbak dikhianati suami. Saya ngak mau jadi pelakor lagi, Mbak. Saya dah taubat. Saya akan bantu mbak buat nenek lampir itu sengsara." Neha mengusap-usap pundakku.
Semoga saja Neha beneran taubat dan mau membantuku. Aku melihat ketulusan di mata Neha. Aku yakin dia sudah taubat. Dipermalukan, dijambak di depan umum. Sungguh lebih sakit dari dikhianati suami.
Bahkan kabarnya orangtua Neha meninggal dunia sebab jantungan karena ada perempuan yang datang ke rumahnya memaki-maki ibu Neha. Hanya karena masalah sang putri terlibat drama perpelakoran.
Aku tidak pernah menanyakan kejadian itu pada Neha. Namun, aku menangkap ketulusan dari matanya. Membuktikan ia sudah benar-benar taubat nasuha.
Apa aku menelpon Mama mertua saja? Menceritakan tentang putra tunggal mereka. Mamah Desi dan Papa Denis. Pasangan paling baik yang pernah kutemukan. Tante Yona adik mertua paling bungsu saja baik sekali padaku. Apa aku harus minta bantuan Tante Yona juga?
Mereka semua orang baik. Pasti sangat kecewa jika mengetahui putra yang mereka bangga-banggakan. Laki-laki yang memulai karir dari nol itu mampu meraih kursi manager satu yang digadang-gadang akan meraih tampuk kekuasaan lebih besar lagi ternyata bermain 'affair' dengan wanita seksi, sekretaris merangkap penghibur malamnya.
Pantas Fathan berubah akhir-akhir ini.
Jangan! Bisa panjang urusannya. Hatiku menolak melibatkan mertua. Ini tidak baik. Sungguh aku tidak ingin mengecewakan mereka.
Sekian menit kami berlima hening. Hanya terdengar helaan napas dan denting jari di atas meja.
"Artinya Irma saat ini masih di hotel itu?" tanyaku memecah keheningan.
"Saya sempat dengar Bu Nola bilang ke Pak Fathan kalau Irma akan diasingkan sampai anaknya lahir. Pak Fathan juga menelpon seseorang bernama Sena. Katanya Irma mau pindah tugas ke cabang perusahaan dengan gaji naik tiga kali lipat." Keterangan dari Rubi mengejutkanku.
Waw. Fathan curi start. Jadi Tante Sena sudah mengetahui perihal Irma yang akan diungsikan. Tentu saja tidak mengetahui alasan di baliknya. Tapi, mengapa Tante Sena tidak menghubungiku?
"Oke teman-teman. Saya sangat berterimakasih telah membantu. Untuk saat ini cukup sampai di sini saja. Buat RObi dan Boni aku akan memakai jasa kalian lagi suatu hari. Tapi jasa yang ini cukup sampai di sini." Aku mengeluarkan amplop memberikan pada mereka berdua.
Mataku beralih pada Malik.
"Mbak jangan bayar saya. Saya ikhlas bantu, Mbak. Suatu hari mbak akan tau alasan saya membantu, Mbak. Zahra salah satu alasan dari ribuan alasan lainnya." Aku tersenyum membalas ucapannya.
Aku paham maksud Malik.
Mataku beralih pada Neha.
"Apalagi saya, Mbak. Jangan pernah bayar sepersen pun. Anggap saja ini tebus dosa saya pada para wanita yang pernah saya kecewakan. Sungguh hati saya tidak nyaman dengan semua yang saya alami, Mbak. Dengan membantu Mbak saya harap malaikat mencatat kebaikan ini."
Lagi-lagi aku menangkap ketulusan dari mata Neha. Aku mengucapkan terimakasih banyak pada mereka. Malik berinisiatif mengantarkanku.
Tentu saja aku menolak. Takutnya Fathan sudah di rumah. Kemudian curiga dengan Malik yang mengantarkan aku. Meskipun hari-hari biasa Fathan mengetahui aku akrab dengan istri Malik.
*
"Itu ... Mamah udah pulang. Ba ...." Kudengar Tante Yona sedang bermain dengan Riez. Lebih tepatnya mendiamkan Riez yang mungkin sedang rewel.
Melihat aku datang, Tante Yona langsung menyongsong kedatangan. Memindahkan Baby Riez ke gendonganku.
Seperti biasa Riez akan langsung diam setelah kugendong.
"Kamu kalau ada apa-apa telpon Tante saja, Nak. Tante suka banget ngerawat Riez. Dia ngak rewel. Anaknya baik banget. Kalau bagus bentar doank."
"Iya, Tante. Sepertinya Nay bakal sering minta bantuan Tante. Karena ada sedikit kerjaan di luar."
"Iya gak papa, Nak. Tante paham, kamu itu sudah biasa kerja. Pasti bosan di rumah terus. Ngak coba buat usaha saja Nay."
Tante Yona kayak cenayang. Bisa baca apa yang tengah kupikirkan. Tentu saja aku mau buat usaha. Sekaligus mewanti-wanti saat pernikahan ini akan berakhir aku tidak terlantar di jalanan.
Kutatap Riez yang menggeliat memamerkan senyum manisnya. Ucapan Alhamdulillah memenuhi rongga.
Senyum Riez mampu menghilangkan segala kegalauan. Untung ada Riez. Aku bisa menyembunyikan masalah di depan Tante Yona.
"Nay tadi Kak Desi nanyain. Kapan akikahan Riez diadakan. Mereka mau kemari."
Ah, iya. Aku sampai melupakan momen ini. Rencana akikahan Riez.
"In sya Allah Minggu Tante. Nay minta bantuan Tante lagi ya."
"Iya, Nak gak papa. Kan udah Tante bilang kali Nay butuh sesuatu. Hubungi Tante aja."
"Iya, Nte. Makasih banyak."
"Tante pamit, oh ya ada yang lupa. Untung belum keluar jauh, itu lo Nay, pakaian yang sudah disetrika tadi udah Tante masukin ke lemari. Pembantu kamu sekadar masukin baju ke lemari aja--ngak bisa."
"Ya udah, makasih ya, Tante. Besok Nay nasehatin orangnya."
"Tante pulang, hai Riez cucu Oma. Oma muda pulang dulu ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Setelah Tante Yona pergi. Aku membawa Riez ke kamarnya. Baru saja kakiku melangkah masuk ke dalam kamar Riez.
Mataku menangkap sesuatu. Meraih bungkusan di atas nakas. Sedikit gemetar aku membukanya