Chereads / Misteri Pembunuhan di Rumah Pijat / Chapter 11 - Berita Buruk

Chapter 11 - Berita Buruk

Memijit pelipis kecil aku memikirkan alasan untuk Tante Sena.

"Hallo. Assalamualaikum," ucap dari seberang mengagetkan aku. Ternyata tanpa sadar aku sudah menekan nomor Tante Sena dan panggilan tersambung.

"Nay udah menemukan Irma. Tante tenang ya. Dia baik-baik saja. Nay akan jaga Irma. Jika tidak keberatan Tante bisa datang ke sini. "

"Da-datang ke sana?" tanyanya bernada kawatir. Nada itu justru menambah rasa curigaku.

"Tapi tidak usah dipaksa. Nay akan selesaikan masalah Irma secepatnya. Pokoknya Tante tidak usah cemas, kawatir atau lainnya," ucapku sengaja meralat saran pertama.

Kudengar Tante Sena menghela napas. Semoga perkataanku jelas dan sebagai seorang ibu dia tidak lagi mencemaskan Irma. Namun aku berharap apa yang ia katakan selanjutnya menjadi acuan berpikir.

"Baiklah, Nay. Tante percaya sama kamu. Kamu anak baik dari dulu juga sangat baik. Rini adalah adikku yang sangat baik. Aku yakin dia melahirkan gadis baik sepertimu. Tadi Fathan menelpon Tante, katanya Irma pindah tugas si perusahaan cabang, tidak lama Irma justru menelpon mengatakan tidak bisa pulang dalam waktu yang lama. Sebagai ibu yang melahirkan Irma, hal ini membuat Tante curiga. Perasaan Tante sedang terjadi sesuatu pada putri Tante." Aku terdiam mendengar Tante Sena menyebut nama mama juga mendetailkan curiga seorang ibu.

"Nay, kamu masih di situ." Suara Tante Sena mengembalikan atensiku.

"Ya, Tante."

"Tante mohon jaga Irma. Dia anak perempuan satu-satunya. Adik-adiknya sangat butuh bantuan materi dari Irma. Kalau terjadi sesuatu dengan Irma tante tidak tau lagi pada siapa memohon bantuan. Selama ini ekonomi kami sangat terbantu dari uang hasil kiriman Irma."

Kekawatiranku ternyata salah. Tidak mungkin Fathan dan Tante Sena kompromi. Setiap kalimat yang tante sena keluarkan lebih kepada kata prihatin. Bahkan ia kerap memuji-muji mama.

Meskipun tidak pernah melihat mama secara langsung. Aku tetap perih mengingat diri ini besar di panti tanpa kehangatan seorang ibu. Ah, Riez! Aku mendadak menatap Riez. Bayi tanpa mengenal ibu kandungnya.

"Kita sama sayang, berjuang tanpa wanita yang melahirkan kita," bisikku pelan ke telinganya. Ia menggeliat. Seolah mengerti, membuka lebar mulutnya tergelak tawa kecil.

Ah, Riez kamu begitu menggemaskan.

Aku berjanji akan melimpahkan semua kasih sayang pada Riez. Hidup tanpa orangtua itu sungguh menyakitkan. Mama meninggal usai melahirkanku. Papa pergi menikah lagi saat usiaku lima tahun. Sejak bayi berada di Panti. Aku jarang bersua papa. Terakhir bersua papa ketika ia izin menikah lagi.

Sejak saat itu aku tak lagi pernah bersua dengannya. Hanya kabar kematiannya mampir di telinga. Akhirnya aku menjadi gadis yatim piatu di atas dunia. Sebatang kara tanpa saudara.

Keberuntunganku hanya satu. Aku memiliki fisik yang jarang wanita punya. Cantik, mulus, dengan tubuh proporsional. Bahkan tak jarang orang-orang menyamakan aku mirip dengan Cut Meyriska. Istri dari seorang aktor tampan Roger Danuarta.

Naysila dengan wajah sempurna tapi tiada keluarga itulah aku.

Sejak memiliki orangtua asuh tak lain saudara dari Pak Hartono sang pemilik perusahaan. Pak Hartono adalah Ayah kandung mantan pacarku Bambang Hartono.

Aku mengenyam pendidikan yang sangat layak hingga bangku perguruan tinggi. Mama dan papa meninggal dunia saat aku lulus sidang akhir. Sungguh hari yang sangat menyakitkan. Meskipun tidak tinggal dengan mereka. Tapi, sebagai orangtua asuh. Mereka sudah berkorban banyak untuk kehidupanku.

Setetes bening mengalir di pipi. Mengenang titik-titik proses kehidupan hingga aku bersuamikan Muhammad Fathan. Nama yang cukup baik. Namun tidak cukup untuk menjadi pribadi yang baik.

Aku menyeka paksa bulir yang mengambang di sudut mata.

Papa Boy. Entah mengapa ia tega menitipkan aku di panti. Padahal ia bisa saja mengasuhku jika memang sayang, bukan? Entahlah. Aku terlalu lelah dengan skenario hidup. Hingga tak pernah memikirkan mengapa Allah memberi takdir hidup begitu rumit untukku.

Tapi, Allah sangat sayang padaku. Aku yakini itu. Dengan mengirimkan malaikat seperti Papa Denis dan Mama Nesa untuk menjadi orangtua asuh yang sangat baik. Hingga aku menjadi bagian keluarga Hartono. Benar-benar dianggap keluarga.

Meskipun pada akhirnya aku tidak berjodoh dengan Bambang. Sang pewaris tunggal perusahaan besar yang bergerak di bidang limbah seluruh Indonesia bahkan dunia. Sekarang aku harus dihadapkan pada kenyataan lain. Bambang selingkuh lalu membuat kesepakatan dengan Fathan untu menikahiku.

Entah apa kongsi Bambang dan Fathan. Aku yakin akan segera mengetahuinya.

Sebentar! sepertinya ada yang terlewat dari otakku.

Papa Denis?

Ya ... Ya. Pantasan aku sangat familiar dengan lelaki misterius itu. Dia mirip Papa Denis. Sangat mirip. Astaga aku baru ingat. Apa ini sebuah kebetulan?

Mendadak jantungku bergemuruh. Papa Denis mengadopsi aku karena mereka tidak punya anak. Atensiku menyuruh mengambil album kecil yang kerap kubuka di dalam laci nakas.

Deg.

Jantungku berirama cukup kencang. Kudekatkan wajah Riez dengan Papa Denis dan Mama Nesa. Juga foto bayi dalam bandul itu.

Tidak salah lagi. Lelaki misterius alias Farhan sangat mirip dengan Papa Denis jika harus kukatakan ini kebetulan. Pantas saja baru pertama bersua aku merasa sangat familiar. Tapi, Papa dan Mama … mereka tidak punya anak? Siapa Farhan? Siapa Riez?

Benarkah lelaki misterius itu ayah dari Riez? Apa hubungannya dengan Papa dan mama asuhku?

Mencerna puzzle di kepala. Aku menekan tombol nomor Malik. Belum tersambung vibrasi ponsel lebih dulu kurasakan di tangan. Astaga ternyata aku menutup perbincangan dengan Tante Sena.

"Ya, Tante?

"Nay. Kamu dari tadi diam aja, makanya tante matikan telpon ulang lagi," ucapnya mengembalikan kesadaranku. Tante Sena benar. Aku lupa kalau sedang bicara dengannya.

"Oke Tante, tante tenang. Irma segera kembali." Berbagai kalimat penenang aku lontarkan. Agar secepatnya mengklik power merah di ponsel.

Huh. Akhirnya aku menutup komunikasi dengan Tante Sena. Baru saja ponsel kuletak di atas nakas. Kembali rebahan. Suara getar kembali terdengar.

Tittt.

Dering vibrasi dari ponselku menampilkan seruas nama sahabat tercinta. Gebi.

"Eh, Geb.!"

"Nay kamu di mana?"

"Di rumah. Kenapa, Geb?"

"Riez bersamamu?"

"Ya iyalah masa bareng Bambang," jawabku mencoba melucu. Tapi Gebi tidak tertawa. Ini aneh. Biasanya dia langsung menangkap kata jika aku mencoba melawak, apalagi menyangkut si mesum Bambang. Aku sudah lama move on. Walau keputusan memilih Fathan dulu ditentang sendiri oleh Gebi. Menurut sahabatku itu Bambang lelaki baik. Gebi orang pertama tidak percaya saat aku mengatakan tentang kebejatan Bambang pada Karin.

"Ngak lucu, Nay. Aku mode serius," ujar Gebi benar-benar bernada serius.

"Suara kamu kayak orang panik. Kenapa Geb?"

"Aku lagi di rumah Mak Jum, ramai banget warga ngumpul."

"Ngapain main di sana, ada bayi lagi? kamu mau angkat bayi? lagian gadis plus jomblo masa sih pengen punya bayi," ujarku masih mencoba berkelakar.

"Bukan … ini menyeramkan. Serius lo, Nay."

"Seseram apa sih, sampai suara kamu gemetar begitu."

"Makanya aku bela-belain nelpon kamu. Polisi juga ramai, rumah pijat Mak Jum dikelilingi police line."

"Astaga, apa yang terjadi di sana, Geb. Bukannya Mak Jum sudah menjadi ahli pijat belasan tahun."

"Ya kamu benar tapi sesuatu terjadi di sana."

"Pasti sangat mengerikan sampai suara kamu gemetar. Kamu mencemaskan, Riez?"

"Ada cewek gantung diri di dapur Mak Jum. "

"Apa?"

"Mak Jum digiring ke kantor polisi dengan tuduhan praktek aborsi. Aku harap kamu sudah menyelesaikan administrasi baby Riez."

"Lah ... kan emang udah selesai."

"Tapi belum kamu ambil dari capil."